Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Rahasia Separuh Agamaku

Rahasia Separuh Agamaku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Pernikahan (ilustrasi). (depokpost.com)
Pernikahan (ilustrasi). (depokpost.com)

dakwatuna.com – “Fabiayyi ‘ala irabbikuma tukadziban…”

‘Arsy berguncang di awal senja Jumat, 29 Sya’ban 1435 Hijriyyah. Hari itu tepat 27 Juni 2014 genaplah separuh agamaku.

Aku tahu, dalam tatapan beberapa pasang mata di senja itu hanya sepasang mata teduhmu yang menunduk mengalirkan sungai kecil. Riuh rendah bocah-bocah kecil berlarian di pelataran masjid tak mampu mengalahkan gemuruh dadaku kala itu.

Kucoba pelankan istighfar. Memohon banyak-banyak ampunan. Berharap tak ada lafal akad yang terlewat. Saat kuucap syahadat, badanku berguncang hebat. Dadaku naik turun. Aku bersaksi tiada Ilah selain Allah..

Lima detik berikutnya adalah hal yang paling mendebarkan sepanjang hidup. Menyebut nama manismu, menyertai nama ayahmu, melagukan Ar-Rahman, lalu mengucap sendu mahar yang ahh.. yang tak seberapa dibanding dengan mendapatkan bidadari shalihah, yaitu… kamu isteriku.

“Fabiayyi ‘ala irabbikuma tukadziban…”

Lalu tak ada hijab lagi di antara kita. Dua manusia yang terlahir untuk bersama. Tak ada praduga bahkan rencana sekalipun untuk kita merenda keluarga. Ya.. tak ada yang menduga, kau dan aku yang akan bersanding di kursi pelaminan pagi itu.

Tertakjub aku pada gaun berurai manik abu-abu yang kau kenakan pagi itu. Senada dengan jilbabmu yang menjuntai panjang, kau langkahkan kaki mendekatiku. Hatiku tak saja berdebar tapi membuncah tak keruan. Ini kah yang disebut cinta? Oh..Rabbi..

Entah mengapa pagi itu tak henti-henti kusunggingkan senyum. Sedikit ingin melirik kekasih halalku. Engkau, yang tiada hubungan darah denganku mulai saat ini akan mendampingiku. Dan kelak, Insya Allah akan menjadi madrasah pertama untuk anak-anakku. Namun, mengapa aku jadi malu?

Seminggu sebelum acara itu, aku mengenalmu. Ta’aruf Islami yang kuharap menjadi titik awal ikhtiar untukku mengenapkan separuh dien. Meski masih samar untukku tahu banyak tentangmu. Namun karena agama Allah dengan mantap, hati ini memilihmu. Kala itu sejenak tatapan kita beradu. Lisan kelu, namun seolah hati berkirim pesan, “Engkaulah separuh agamaku.”

“Fabiayyi ‘ala irabbikuma tukadziban…”

Kutembakkan pandangan ke semua penjuru tamu undangan yang hadir pagi itu. Mereka datang. Hal apakah yang lebih membahagiakan dibanding doa-doa yang tulus mengalir dalam persaudaraan di atas nama Allah? Semoga doa-doa tulus itu berpendar dan memayungi atap kehidupan kalian pula.

Lalu tatapanku menyudut. Seorang lelaki berpakaian rapi berjalan beriringan dengan perempuan yang kutahu dia isterinya. Melambaikan tangan dari kejauhan. Terimakasih. Walau jarak jauh yang memisahkan, kalian tetap hadir.

“Fabiayyi ‘ala irabbikuma tukadziban…”

Seorang Ustadz muda menyinggahi panggung kecil di samping panggung pengantin. Tausiyahnya membuatku menenggelamkan mata. Jauh.. jauh.. aku terlempar ke sebuah bangunan putih. Puskesmas Sekaran, di kota Semarang. Sore itu dengan sedikit berlari ku temui sosok Muslimah yang sudah bersiap menuju motornya. Hari terakhirku mendaftarkan diri untuk program S2 ku di UGM. Syarat terakhir yang belum kupenuhi. Surat sakti yang kuharap akan menjadi salah satu jembatanku merengkuh asa, menggapai cita, menaklukan semesta.

“Maaf. Tidak bisa, ini sudah sore. Lagipula di kantor sudah tidak ada orang.”

Allahu Akbar. Mendadak bumi jadi sempit. Aku harus mendapatkan surat Keterangan Sehat itu. Harus.

“Apakah tidak bisa diusahakan, Mbak? Saya butuh sekali untuk kepentingan studi Saya.”

Ia hanya diam. Membetulkan jaket cokelatnya.

“Baiklah. Akan saya bantu.” Jawabnya lembut namun tegas.

Kau tahukan duhai hati? Mataku berbinar, kalimat itu teduh dan menenangkan gelisahmu, syukur tetiba meluncur.

“Subhanallah.. terima kasih Mbak, maaf merepotkan.” Ia tersenyum. Tatapan kami beradu sejenak. Lalu Ia lebih memilih bergegas melakukan apa yang kuminta. Kutunggu ia, lebih tepatnya menunggu surat sakti itu. Tinta sudah ia goreskan, tanpa menoleh kepadaku Ia bertanya, “Antum liqa’ nggak?”

Pertanyaannya aneh memang. Atau mungkin saja penampilanku yang bermain morse, sehingga Ia tahu?

“Iy..iya Mbak.”

Ia sodorkan secarik surat Keterangan Sehat itu. “Ini suratnya gratis. Saya PJ acara tarhib Ramadhan 1434 H di Kecamatan Gunung Pati, untuk acara besok saya masih kekurangan orang. Saya minta tolong bantuan Antum.”

“Baik Mbak. Saya akan jarkom ke teman-teman.”

Selesai. Tak ada percakapan dan pertemuan lagi setelah hari itu.

“Prinsip berkeluarga…” begitu ujar Hasan Al Banna, “Adalah saling menyempurnakan, saling menolong, saling mengasihi, dan saling membesarkan hati untuk menanggung beban hidup.”

“Fabiayyi ‘ala irabbikuma tukadziban…”

Cinta.. sore itu 27 Juni 2013, tahukah kau? Aku ini pemuda yang berdebar menunggu Surat Keterangan Sehat sore itu. Muslimah yang baik itu pun ada dan nyata. Dia ada di sini. Sekarang Ia duduk paling dekat denganku, tampak anggun dengan gaun cantik bermanik abu-abu.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Muslimah, yang baru saja memasuki seperlima abad usia. Sangat tertarik dengan buku dan anak-anak. Kini berkecimpung di dunia pendidikan anak usia dini. Di samping itu menulis juga hal yang sangat digandrungi.

Lihat Juga

Din Syamsuddin: Agama Harus di Praktekkan dalam Kehidupan Sehari-hari

Figure
Organization