Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Ketika Malaikat tak Bersayap pun Terbang Pergi

Ketika Malaikat tak Bersayap pun Terbang Pergi

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: rawmavy.deviantart.com)
Ilustrasi. (Foto: rawmavy.deviantart.com)

dakwatuna.com – Waktu begitu cepat berlalu. Ia tak pernah rela berhenti, walau untuk sejenak. Waktu tak pernah peduli, pada perasaan setiap insan, yang memintanya untuk kembali

***

“Jika di hadapkan padanya antara hidup dan kematian, pastilah ia akan memilih mati agar kita tetap hidup.”

Seringkali aku mendengar kalimat itu keluar dari mulut orang-orang. Bagiku rasanya tidak terlalu berlebihan kalimat tersebut untuk menggambarkan betapa besar kasih sayang seorang ibu kepada anaknya. Seorang ibu adalah malaikat tanpa sayap bagi anak-anaknya. Ia yang telah berjuang dengan gigih membawa kita kemana pun selama sembilan bulan. Ia yang berjuang antara hidup dan mati saat melahirkan kita,

Aku termenung menatap gemericik hujan dari jendela kamarku. Lantunan lagu ‘Bunda’ yang keluar dari speaker laptop terus terdengar, menambah syahdu nyanyian hujan di sore ini. Aku percaya, bahwa setiap tetes air langit yang turun adalah Rahmat-Nya, dan aku meyakini bahwa Sang Khaliq selalu memberi jalan bagi hamba yang memang mencari-Nya.

Dalam heningnya suasana kamar, aku teringat perjalanan beberapa tahun yang lalu. Tidak mudah untuk melewati semuanya. Sendiri berteman sepi, tanpa belaian lembut malaikat tanpa sayap. Sosok pahlawan dunia akhirat, yang selalu siap berkorban untuk para buah hatinya. Bunda. Seketika anganku mengembara menuju dimensi 15 tahun yang lalu.

“Assalamualaikum Ibuuuuuu…” teriakku dari depan rumah.

“Wa’alaykumsalam, eh anak Ibu sudah pulang. Ayo masuk, ganti baju terus makan ya, Ibu sudah masak di meja makan.” Sambut Ibu dengan lembut.

“Siap komandan.” Jawabku dengan nada mengikuti prajurit-prajurit yang menerima titah dari atasannya.

Ibu. Sosok malaikat tanpa sayap, yang selalu bangun tidur lebih awal dari seisi rumah lainnya. Ia menjadi guru terbaik yang tak pernah digaji oleh anak-anaknya, menjadi pelayan yang sering terlupa dihargai oleh seisi rumah, menjadi pembantu yang tak pernah dibayar, menjadi baby sitter yang paling setia menemani, dan juga menjadi dokter yang dengan telaten merawat keluarganya.

Sesekali ia menjelma menjadi harimau galak, berlari mengejar dan menghalau musuh agar tak mengganggu anak-anaknya. Ketika ia dengan lihainya menjadi seekor kelinci yang melompat-lompat mengelilingi kebun, mencari wortel untuk makan sehari-hari. Hanya tawa dan jerit lucu yang ingin didengarnya dari kisah-kisah yang tak pernah absen didongengkannya. Kantuk dan lelah tak lagi dihiraukan, walau harus menyamarkan suara menguapnya dengan auman harimau. Atau berpura-pura si nenek sihir terjatuh dan mati sekadar untuk bisa memejamkan mata barang sedetik.

Sungguh semua itu terlalu berharga untuk dilalui. Rasa bahagia yang selalu membuncah ketika sedang bersama dia. Bahkan sang waktu selalu terasa lebih cepat berjalan, membuat kami tak punya banyak kesempatan melakukan hal bahagia lainnya.

Namun semua rasa bahagiaku itu berubah sejak beberapa tahun silam, beliau pergi. Pergi jauh meretas ruang dan waktu, menembus dimensi lain. Meninggalkan aku dan keluargaku. Detik itu pun akhirnya aku mulai memahami, bahwa ksatria tertangguh pun dapat terjatuh, bahkan hingga berdarah-darah.

Sudah beberapa bulan Ibu terbaring lemah di tempat tidur. Dalam kondisi sakit, Ibu tetap berusaha memberikan pelayanan terbaik bagi anak-anaknya. Walau tidak semua aktivitas seperti biasa dapat Ia lakukan. Hanya beberapa aktivitas saja yang bisa Ia lakukan

Saat senja tiba. Ketika keriput di tangan dan wajah mulai berbicara tentang usianya. Ia pun sadar, bahwa sebentar lagi masanya kan berakhir. Hanya satu pinta yang sering terucap dari bibirnya,

“Jadilah kalian anak-anak yang cerdas, yang membanggakan Ibu, Ibu akan melihat kalian dari surga-Nya dan Bila ibu meninggal, ibu ingin anak-anak ibu yang memandikan. Ibu ingin dimandikan sambil dipangku kalian.”

Entah mengapa kalimat itu terdengar magis di telingaku. Kalimat Ibu senja itu, tidak seperti biasanya. Meski saat itu usia kubaru 7 tahun, tapi aku bisa merasakan kalimat yang begitu merasuk ke dalam hati, terngiang-ngiang tak mau pergi, dan terus menghantui pikiran ini. Kami mengerti, bahwa kalimat itu adalah isyarat dari Ibu, karena Ia terlalu di sayang Allah.

Kami bagai anak ayam yang kehilangan induknya, ketika Ibu meninggal. Tidak aku dengar lagi suara lembut yang menjadi alarm tidur bagi kami. Tidak aku lihat lagi senyum hangat yang menyapa kami di pagi hari. Tak pernah aku rasakan lagi sarapan buatan tangannya. Tak kudapati lagi usap halus tangannya, yang mengusap kening kami ketika lelah pulang sekolah menghampiri.

Tidak banyak kenangan yang aku lalui dengan Ibu. Mungkin ini salah satu penyebabnya, semua kenangan yang terlewatkan dengan beliau menjadi sangat berharga, suka maupun duka tak akan pernah kulupa. Entah sampai kapan akan kusimpan semua tentangnya. Kusimpan dengan sangat rapi, di kedalaman ruang hati, yang tak akan kuberi, sekalipun pada anak menteri.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mahasiswi semester 3 jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan di Politeknik Negeri Jakarta. Suka sekali membaca namun belum percaya diri untuk menulis.

Lihat Juga

Di-Follow Penduduk Langit

Figure
Organization