Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Fiqih Islam / Fiqih Ahkam / Halal dan Haram Tentang Musik (Bag. 1)

Halal dan Haram Tentang Musik (Bag. 1)

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (inet)
ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Pembahasan ini hanya membatasi pada musik saja, bukan nyanyiannya. Inilah alat hiburan yang paling terkenal sejagat, paling tua, dan paling banyak peminatnya, tua, muda, pria, wanita, awam, bahkan yang disebut sebagai ulama. Pro dan kontra apakah musik itu sesuatu yang haramkan atau dihalalkan oleh syariat Islam terus menerus terjadi. Sudah sangat banyak ulama Islam membahasnya, dari zaman ke zaman, di berbagai belahan bumi kaum muslimin, yang kesimpulannya adalah tidak ada kata final dan kesepakatan di antara mereka. Banyak yang berpendirian haram sesuai dalil yang mereka yakini jelas, tegas, dan shahih, dan banyak pula yang meyakini mubah dengan dalil yang mereka juga yakini jelas, tegas, dan shahih.

Para ulama seperti Imam Abu Yusuf, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam An-Nawawi, Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz, Syeikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Syeikh Muhammad bin Shalih Utsaimin, Syeikh Abdullah Nashih ‘Ulwan, dan lainnya berdiri pada pihak yang mengharamkannya, baik melalaikan atau tidak, keharamannya karena benda dan musiknya itu sendiri, bahkan di antara mereka ada yang membuat karya khusus untuk memfatwakan keharamannya.

Keharaman itu berlaku bagi pemain, pendengar, dan yang hadir dalam majelis musik (konser), berikut ini keterangannya:

ذهب الفقهاء إلى أن الاستماع إلى المعازف المحرمة حرام، والجلوس في مجلسها حرام

Para ahli fiqih berpendapat bahwa mendengarkan alat-alat musik yang diharamkan adalah haram, dan duduk di dalam majelis alat-alat musik juga haram. (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 38/178)

Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah Rahimahullah mengatakan:

العود والطنبور وسائر الملاهي حرام، ومستمعها فاسق

‘Uud (alat musik petik), tamburin, dan semua alat musik adalah haram, dan menjadi pendengarnya adalah fasiq. (Ighatsatul Lahfan min Mashayyidisy Syaithan, 1/248)

Beliau – dan Beliau adalah ulama yang sangat bersemangat dalam memfatwakan keharaman musik dan nyanyian- juga mengatakan:

قلت: مذهب أبى حنيفة فى ذلك من أشد المذاهب، وقوله فيه أغلظ الأقوال. وقد صرح أصحابه بتحريم سماع الملاهى كلها، كالمزمار، والدف، حتى الضرب بالقضيب، وصرحوا بأنه معصية، يوجب الفسق، وترد به الشهادة، وأبلغ من ذلك أنهم قالوا: إن السماع فسق، والتلذذ به كفر، هذا لفظهم، ورووا فى ذلك حديثاً لا يصح رفعه

قالوا: ويجب عليه أن يجتهد فى أن لا يسمعه إذا مر به، أو كان فى جواره

وقال أبو يوسف، فى دار يسمع منها صوت المعازف والملاهى, أدخل عليهم بغير إذنهم، لأن النهى عن المنكر فرض”، فلو لم يجز الدخول بغير إذن لامتنع الناس من إقامة الفرض

قالوا: ويتقدم إليه الإمام إذا سمع ذلك من داره، فإن أصر حبسه وضربه سياطاً، وإن شاء أزعجه عن داره

Aku (Ibnul Qayyim) berkata, “Madzhab paling keras dalam masalah ini adalah madzhabnya Abu Hanifah, dan pendapatnya dalam masalah ini adalah pendapat yang paling tegas. Sahabat-sahabatnya telah menerangkan tentang keharaman mendengarkan semua alat musik seperti seruling, rebana, bahkan sampai memukul batang pohon sekali pun. Mereka menerangkan bahwa hal itu adalah maksiat, pelakunya adalah fasiq, kesaksiannya tertolak, dan lebih tegas dari itu mereka mengatakan: mendengarkan musik adalah fasiq, menikmatinya adalah kufur, itulah lafazh perkataan mereka, dan mereka meriwayatkan hadits (sebagai dasar pendapatnya, pen) namun tidak shahih sebagai hadits yang berasal dari nabi.

Mereka mengatakan: wajib bagi seseorang untuk bersungguh-sungguh tidak mendengarkan musik jika melewatinya, atau ketika musik itu ada pada tetangganya.

Abu Yusuf mengatakan, jika di sebuah rumah terdengar suara musik maka masuklah ke rumah itu tanpa izin mereka, sebab mencegah kemungkaran adalah wajib. Seandainya tidak diizinkan masuk, niscaya manusia tidak akan bisa menjalankan kewajiban nahi munkar tersebut.

Mereka mengatakan: jika imam mendengarkan musik dari rumah seseorang, maka ia mesti mendatanginya. Jika dia melawan maka imam mesti menahannya dan memukulnya dengan pecut, bahkan jika dia mau, dia boleh diusir dari rumahnya.” (Ighatsatul Lahfan, 1/227)

Sedangkan Imam Ibnu Hazm, Imam Ibnul ‘Arabi, Imam Ibnu Thahir Al-Maqdisi, Imam Al-Ghazali, Syeikh Ali Ath-Thanthawi, Syeikh Ahmad Syurbashi, Syeikh Muhammad Al-Ghazali, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi, dan lainnya berdiri pada pihak yang membolehkannya, kecuali jika sudah melalaikan, dan dicampur hal-hal yang diharamkan, dan di antara mereka ada yang membuat karya khusus tentang Nyanyian dan Musik untuk menguatkan pendapat kebolehannya, seperti Imam Al-Ghazali dan Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi.

Bagi mereka haramnya musik adalah karena sebab yang lainnya, yaitu melalaikan, jika tidak maka tidak apa-apa. Berikut ini keterangannya:

نص بعض الفقهاء على أن ما حرم من المعازف وآلات اللهو لم يحرم لعينه وإنما لعلة أخرى: فقال ابن عابدين: آلة اللهو ليست محرمة لعينها بل لقصد اللهو منها، إما من سامعها أو من المشتغل بها، ألا ترى أن ضرب تلك الآلة حل تارة وحرم أخرى باختلاف النية؟ والأمور بمقاصدها

Perkataan sebagian ahli fiqih, bahwa keharaman alat-alat musik dan permainan itu bukan karena bendanya yang haram, tetapi karena adanya ‘ilat (sebab) yang lain. Ibnu ‘Abidin berkata, “Alat-alat permainan itu bukanlah haram semata-mata permainannya, tetapi jika karenanya terjadi kelalaian baik bagi pendengar atau orang yang memainkannya, bukankah Anda sendiri menyaksikan bahwa memukul alat-alat tersebut kadang dihalalkan dan kadang diharamkan pada keadaan lain karena perbedaan niatnya? Menilai perkara-perkara itu tergantung maksud-maksudnya.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, 38/169)

Bahkan kelompok yang membolehkan ini, sampai taraf membolehkan musik sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit jika dalam keadaan darurat. Perhatikan ini:

Imam Syihabuddin Ar-Ramli Rahimahullah menjelaskan:

نَعَمْ لَوْ أَخْبَرَ طَبِيبَانِ عَدْلَانِ بِأَنَّ الْمَرِيضَ لَا يَنْفَعُهُ لِمَرَضِهِ إلَّا الْعُودُ عُمِلَ بِخَبَرِهِمَا وَحَلَّ لَهُ اسْتِمَاعُهُ كَالتَّدَاوِي بِنَجِسٍ فِيهِ الْخَمْرُ، وَعَلَى هَذَا يُحْمَلُ قَوْلُ الْحَلِيمِيِّ يُبَاحُ اسْتِمَاعُ آلَةِ اللَّهْوِ إذَا نَفَعَتْ مَنْ مَرِضَ: أَيْ لِمَنْ بِهِ ذَلِكَ الْمَرَضُ وَتَعَيَّنَ الشِّفَاءُ فِي سَمَاعِهِ

Ya, seandainya ada dua dokter yang adil mengabarkan bahwa jika ada orang sakit yang penyakitnya tidak bisa disembuhkan kecuali dengan mendengarkan ‘uud (musik alat petik sejenis Kecapi), maka kabar itu boleh diamalkan dan halal mendengarkannya sebagaimana berobat dengan najis yang di dalamnya terdapat khamr. Atas dasar ini, mesti dipahami perkataan Al-Hulaimi bahwa bolehnya mendengarkan alat musik jika bermanfaat bagi penyakit, yaitu bagi orang yang memang secara khusus penyakitnya bisa disembuhkan dengan mendengarkannya. (Nihayatul Muhtaj fi Syarhil Minhaj, 8/297)

Sementara ulama lain –seperti Syeikh Asy-Syubramalisi- mengatakan:

آلة اللهو قد يباح استعمالها بأن أخبر طبيب عدل مريضا بأنه لا يزيل مرضه إلا سماع الآلة، ولم يوجد في تلك الحالة إلا الآلة المحرمة

Dibolehkan menggunakan alat musik bagi orang yang sakit dengan rekomendasi dari dokter yang adil, dalam keadaan memang penyakitnya itu tidak bisa hilang kecuali dengan mendengarkannya, dan tidak ditemukan dalam keadaan seperti itu sebagai obat lain kecuali alat-alat musik yang diharamkan itu. (Hasyiah Asy-Syubramalisi ma’a Nihayatil Muhtaj, 3/385)

Kita lihat, sangat berbeda antara kelompok satu dibanding lainnya, dengan perbedaan yang begitu jauh. Wallahul Musta’an!

Sebagian ulama mengatakan, bahwa telah terjadi kesepakatan ulama jika alat-alat musik dimainkan bersamaan (semacam orkestra) maka itu diharamkan. Ada pun pembolehan sebagian ulama madzhab Syafi’i –seperti Imam Al-Ghazali- adalah jika alat musik itu dimainkan sendirian (satu alat saja), itu pun masih ditentang oleh yang lainnya.

Berikut ini keterangan Imam Ibnul Qayyim –mengutip dari Imam Ibnu Ash-Shalah:

وقد حكى أبو عمرو بن الصلاح الإجماع على تحريم السماع، الذى جمع الدف والشبابة. والغناء. فقال فى فتاويه:

وأما إباحة هذا السماع وتحليله، فليعلم أن الدف والشبابة والغناء إذا اجتمعت، فاستماع ذلك حرام، عند أئمة المذاهب وغيرهم من علماء المسلمين. ولم يثبت عن أحد- ممن يعتد بقوله فى الإجماع والاختلاف- أنه أباح هذا السماع، والخلاف المنقول عن بعض أصحاب الشافعى إنما نقل فى الشبابة منفردة، والدف منفرداً، فمن لا يحصل، أو لا يتأمل، ربما اعتقد خلافاً بين الشافعيين فى هذا السماع الجامع هذه الملاهى، وذلك وهم بين من الصائر إليه، تنادى عليه أدلة الشرع والعقل، مع أنه ليس كل خلاف يستروح إليه، ويعتمد عليه، ومن تتبع ما اختلف فيه العلماء، وأخذ بالرخص من أقاويلهم، تزندق أو كاد

Abu Amr bin Ash-Shalah menyebutkan adanya ijma’ tentang keharaman mendengarkan rebana, klarinet, dan nyanyian secara bersamaan. Beliau berkata dalam Fatawi-nya:

Ada pun tentang kebolehan dan kehalalan mendengarkannya, maka ketahuilah bahwa rebana, klarinet, dan nyanyian jika dimainkan bersama-sama maka itu haram menurut para imam madzhab dan selain mereka dari kalangan ulama kaum muslimin. Tidak ada satu pun keterangan pasti dari ulama yang ucapannya bisa diperhitungkan, baik dalam masalah ijma’ dan ikhtilaf, yang membolehkan mendengarkannya.

Perbedaan yang dinukil dari sebagian pengikut Syafi’i adalah dalam masalah klarinet jika dimainkan sendiri, dan rebana dimainkan sendiri. Bagi mereka yang tidak memahami dan merenungkannya, mungkin meyakini bahwa perselisihan di antara Syafi’iyyin ini adalah dalam masalah mendengarkan musik jika dimainkan bersamaan. Padahal itu jelas kekeliruan yang bertentangan dengan dalil syariat dan logika.

Di samping itu tidak semua perselisihan bisa kita cari-cari yang mudah lalu kita mengikuti hal itu, sebab barang siapa yang mengikuti perselisihan ulama lalu dia mencari-cari yang ringan dari pendapat-pendapat mereka, maka itu telah atau hampir zindik. (Ighatsatul Lahfan, 1/228)

Perkataan Imam Ibnu Ash-Shalah yang terakhir, merupakan kritikan keras bagi mereka yang memilih pendapat yang enak-enak, yang ringan-ringan, di antara pendapat yang melarang dan mengharamkan. Perkataan ini mesti dipahami bahwa sikap itu didasari oleh pelakunya karena hawa nafsu, bukan didasari ilmu dan hujjah. Ada pun memilih pendapat ulama yang lebih ringan, mudah, dan mubah, di tengah pendapat ulama lain yang mengharamkannya, jika didasari hujjah yang kuat, tidaklah itu hal tercela, justru itulah sikap yang mesti diikuti, yaitu mengikuti dalil yang lebih kuat. Sebab keshalihan seseorang dalam beragama, dan kehati-hatiannya terhadap dosa, tidaklah ditentukan seberapa banyak dia mengharam-haramkan sesuatu, atau dia mengikuti pendapat ulama yang mengharamkan sesuatu. Sebagaimana kebijaksanaan seseorang juga tidaklah ditentukan oleh seberapa banyak dia memboleh-bolehkan sesuatu, semuanya mesti dikembalikan kepada dalil dan kaidah ilmu yang shahih.

A. Alat Musik Dalam Alquran dan Sunnah

Alat musik, baik dengan istilah umumnya seperti Al-Ma’azif, Alatul Malahiy, dan Alatuth Tharbi, tidak akan kita temukan dalam Alquran. Kita bisa menemukannya dalam kitab-kitab tafsir sebagai perkataan ahli tafsir saja, bukan firman Allah Taala, sebagaimana yang nanti akan kami uraikan. Begitu pula dengan istilah yang lebih khusus seperti Ad-Duf (rebana), Asy-Syababah (klarinet), Al-‘Uud (kecapi), At-Thambur (tamburin), dan semisalnya, juga tidak ada dalam Alquran sedikit pun.

Ada pun dalam As-Sunnah, istilah Al-Ma’azif begitu banyak tertera dalam berbagai hadits dalam bentuk penceritaan yang beragam, dan diriwayatkan oleh banyak imam-imam hadits.

Alatul Malahiy juga tidak ada dalam hadits, kecuali hanya dalam bentuk judul bab saja. Seperti kitabnya Imam Ibnu Abi Ad-Dun-ya, Dzammul Malahiy (Kecaman untuk alat-alat musik), atau kitabnya Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra, dalam Bab Maa Ja’a fi Dzammil Malahiy minal Ma’azif wal Mazamir wa Nahwiha (Bab tentang celaan untuk alat-alat musik, seruling, dan semisalnya). Alatuth Tharbi juga tidak kita temukan dalam hadits-hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

B. Apa itu Al-Ma’azifالمَعَازِف?

Al-Ma’azif merupakan jamak dari Al-Mi’zaf – المعزف, dari kata ‘azafa, yang artinya berpaling. Para ulama kita mendefinisikannya secara beragam.

Imam Ibnul Qayyim mengatakan:

أن المعازف هى آلات اللهو كلها، لا خلاف بين أهل اللغة فى ذلك

Al-Ma’azif adalah semua alat musik, dan tidak ada perselisihan pendapat para ahli bahasa atas hal itu. (Ighatsatul Lahfan, 1/260)

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:

وهي آلات الملاهي ونقل القرطبي عن الجوهري أن المعازف الغناء والذي في صحاحه أنها آلات اللهو وقيل أصوات الملاهي وفي حواشي الدمياطي المعازف الدفوف وغيرها مما يضرب به

Itu adalah alat-alat musik. Al-Qurthubi menukil dari Al-Jauhari bahwa Al-Ma’azif adalah nyanyian, dan yang tertera dalam kitab Shihah-nya bahwa itu adalah alat-alat musik, dan ada yang mengatakan suara-suara yang melalaikan. Dalam Hawasyi Ad-Dimyathi disebutkan bahwa Al-Ma’azif adalah rebana dan alat lainnya yang termasuk alat musik pukul. (Fathul Bari, 10/55)

Imam Ibnu Hajar juga menyebut bahwa Al-Ma’azif adalah:

وهي المزاهر والات الملاهي

Itu adalah seruling dan alat-alat musik. (Ibid, 1/156)

Imam Abul Faraj Al-Jauzi mengatakan:

وَأما المعازف فَهِيَ الملاهي المصوتة

Ada pun Al-Ma’azif, dia adalah suara yang melalaikan. (Kasyful Musykil, 4/145)

Berkata Imam Adz-Dzahabi Rahimahullah:

اسم لكل آلات الملاهي التي يعزف بها، كالزمر، والطنبور، والشبابة، والصنوج

“Nama untuk semua alat-alat musik yang dimainkan, seperti seruling, tamborin, syabaabah (sejenis seruling juga), simbal (sejenis alat musik).” (Siyar A’lam An-Nubala, 21/158)

Imam Abul ‘Ala Al-Mubarkafuri mengatakan:

وَهِيَ الدُّفُوفُ وَغَيْرُهَا مِمَّا يُضْرَبُ كَذَا فِي النِّهَايَةِ وَقَالَ فِي الْقَامُوسِ الْمَعَازِفُ الْمَلَاهِي كَالْعُودِ وَالطُّنْبُورِ

Itu adalah rebana dan alat musik pukul lainnya, sebagaimana di sebutkan dalam An-Nihayah. Ada pun dalam Al-Qamus, Al-Ma’azif Al-Malahi adalah kecapi dan tamburin. (Tuhfah Al-Ahwadzi, 6/377-378)

Maka, bisa kita simpulkan dari penjelasan ulama, Al-Ma’azif adalah semua alat musik, seperti kecapi, rebana dan semua alat musik yang dipukul, seruling, dan lainnya.

Selanjutnya kami paparkan kedua pihak antara yang mengharamkan dan membolehkan beserta alasan masing-masing pihak, beserta deretan nama-nama ulama di masing-masing golongan.

C. Bersama Para Ulama Yang Mengharamkan

Berikut ini adalah hujjah pihak yang mengharamkan alat-alat musik:

  1. Dari Alquran

Dalam Alquran, kita tidak akan temui ayat yang secara jelas dan tegas membicarakan alat musik, baik memainkan dan mendengarkannya. Namun yang akan kita temui adalah banyak ayat yang mengecam segala bentuk permainan dan perkataan yang melalaikan, sehingga dengan menggunakan pendekatan tafsir –baik salaf dan khalaf- mereka mengartikannya sebagai musik, nyayian, dan lagu. Artinya, bukan dari ayat itu sendiri yang secara apa adanya, tersurat (manthuuq), menunjukkan kata-kata musik atau istilah lainnya tentang musik seperti alatuth tharbi, Al-malaahi, dan Al-ma’aazif, tetapi penyebutan musik itu berasal dari interpretasi (tafsir) para mufassir dan ulama, yang memungkinkan terjadinya tafsir-tafsir yang lain selain musik, seperti yang akan kita lihat nanti.

Sebagai contoh surat Al-Baqarah ayat 102:

وَلَمَّا جَاءَهُمْ رَسُولٌ مِنْ عِنْدِ اللَّهِ مُصَدِّقٌ لِمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيقٌ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ كِتَابَ اللَّهِ وَرَاءَ ظُهُورِهِمْ كَأَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُونَ وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُوا الشَّيَاطِينُ

Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (Kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah) dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan …. (Al-Baqarah: 101-102)

Firman-Nya yang berbunyi: … dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan.

وهي المعازف واللعب وكل شيء يصد عن ذكر الله

Itu adalah alat-alat musik, permainan, dan semua hal yang menghalangi manusia dari mengingat Allah. (Imam Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jami’ul Bayan, 2/316. Imam Ibnu Abi Hatim, Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 1/186. Imam Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-‘Azhim, 1/346. Imam As-Suyuthi, Ad-Durul Mantsur, 1/234. Imam Asy-Syaukani, Fathul Qadir, 4/270)

Ayat lainnya: Surat Luqman ayat 6:

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْتَرِي لَهْوَ الْحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ بِغَيْرِ عِلْم

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan (Luqman: 6)

Apa yang dimaksud perkataan tidak berguna (lahwul hadits)? Di sebutkan dalam Al-Akhbar Al-Musnadah, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Itu adalah alat musik dan penyanyi.” (Tafsir As-Sam’ani, 4/226)

Sementara Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, Jabir bin Abdillah, ‘Ikrimah, Al-Hasan, Mujahid, dan mayoritas ahli tafsir mengatakan ayat ini turun tentang nyanyian. Bahkan Abdullah bin Mas’ud bersumpah atas hal itu. Al-Hasan mengatakan juga: Al-ma’aazif (alat-alat musik). Sementara Adh Dhahak mengatakan itu adalah syirik kepada Allah. Ibnu Juraij mengatakan itu adalah drum (bedug). Abdullah bin Sahl At-Tastari mengatakan: itu adalah berdebat tentang agama dan kebatilan. Qatadah mengatakan bahwa maksudnya adalah ucapan orang-orang Quraisy yang mempermainkan Islam, dan kebiasaan mereka dengan hal-hal yang batil. (Ibid. Lihat juga Imam Ibnu ‘Athiyah, Tafsir Alquran, 4/345, Imam Al-Qurthubi, Al-Jaami’ Liahkamil Quran, 14/52)

Ayat lainnya:

وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِندَ الْبَيْتِ إِلاَّ مُكَاء وَتَصْدِيَةً فَذُوقُواْ الْعَذَابَ بِمَا كُنتُمْ تَكْفُرُونَ

Shalat mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. (Al-Anfal : 35)

Ini merupakan kecaman atas kebiasaan Arab jahiliyah, yang melakukan ibadah dengan cara “hiburan” yaitu bersiul dan tepuk tangan. Maka, melalui pendekatan qiyas aula, jika bersiul dan tepuk tangan saja merupakan hal yang buruk dan dikecam, apalagi nyanyian dan musik.

Demikianlah dalil-dalil Alquran yang dianggap mengharamkan musik. Masih ada beberapa ayat lainnya, tetapi ayat-ayat tersebut lebih pas kita bahas ketika membahas Nyanyian dan Lagu.

  1. Dalil-Dalil dari As-Sunnah

Berikut ini adalah hadits-hadits yang menjadi hujjah haramnya musik.

Hadits pertama:

وَقَالَ هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ: حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ خَالِدٍ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يَزِيدَ بْنِ جَابِرٍ، حَدَّثَنَا عَطِيَّةُ بْنُ قَيْسٍ الكِلاَبِيُّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ غَنْمٍ الأَشْعَرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنِي أَبُو عَامِرٍ أَوْ أَبُو مَالِكٍ الْأَشْعَرِيُّ، وَاللَّهِ مَا كَذَبَنِي: سَمِعَ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ, “لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ، يَسْتَحِلُّونَ الحِرَ وَالحَرِيرَ، وَالخَمْرَ وَالمَعَازِفَ

Berkata Hisyam bin ‘Ammar, berkata kepada kami Shadaqah bin Khalid, berkata kepada kami Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, berkata kepada kami ‘Athiyah bin Qais Al-Kilabi, berkata kepada kami Abdurrahman bin Ghanam Al-Asy’ari, dia berkata: berkata kepadaku ‘Amir atau Abu Malik Al-Asy’ari, Demi Allah tidaklah dia membohongi aku: dia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

Di antara umatku akan ada suatu kaum yang menghalalkan zina, sutera, khamr (minuman keras), dan alat-alat musik. (HR. Bukhari No. 5590)

Hadits ini, bagi kelompok ini adalah SHAHIH (valid) dan SHARIH (jelas), shahih karena diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, dan Ahlus Sunnah telah ijma’ bahwa Shahih Bukhari adalah kitab paling Shahih setelah Alquran. Sharih (jelas) karena nabi tegas mengatakannya bahwa jika “akan datang masa-masa umatnya menghalalkan” berarti dahulu hal itu diharamkan.

Imam Ibnu Hazm Rahimahullah mendhaifkan hadits ini karena Imam Bukhari menulisnya secara mu’allaq, yaitu terputus sanadnya. Menurutnya Imam Bukhari tidak meriwayatkan hadits ini secara langsung dari Hisyam bin Ammar, terbukti dengan apa yang ditulis oleh Imam Bukhari sendiri, “Berkata Hisyam bin Ammar …”, bukan “Dari Hisyam bin Ammar …”, maka menurut Imam Ibnu Hazm kalimat Berkata Hisyam bin Ammar menunjukkan Beliau tidak mendengarkan langsung dari Hisyam bin Ammar, sehingga Imam Ibnu Hazm menolak keshahihan hadits ini.

Namun, para ulama telah mengkritik keras Imam Ibnu Hazm. Di antara yang paling bersemangat dan tajam adalah Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ighatsatul Lahfan, katanya:

هذا حديث صحيح، أخرجه البخارى فى “صحيحه” محتجاً به، وعلقه تعليقاً مجزوماً به

Hadits ini shahih, dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya, beliau menjadikannya sebagai hujjah, dan Beliau meriwayatkannya secara mu’allaq namun bernilai jazm (pasti lagi tegas).”

Lalu Beliau melanjutkan:

ولم يصنع من قدح فى صحة هذا الحديث شيئاً، كابن حزم، نصرة لمذهبه الباطل فى إباحة الملاهى، وزعم أنه منقطع، لأن البخارى لم يصل سنده به. وجواب هذا الوهم من وجوه:

Sedikit pun pihak yang mencacat hadits ini tidaklah bisa berbuat apa-apa, seperti Ibnu Hazm, dia dalam rangka membela pendapatnya yang batil dalam membolehkan alat musik, telah mengira hadits ini terputus (munqathi’) karena Imam Bukhari tidak menyambungkan sanadnya. Ada beberapa sisi untuk menjawab keraguan ini (lalu Ibnul Qayyim menyebut lima alasan)[1] …. (Lihat Ighatsatul Lahfan, 1/259)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengomentari Imam Ibnu Hazm, katanya:

فزعم بن حزم أنه منقطع فيما بين البخاري وهشام وجعله جوابا عن الاحتجاج به على تحريم المعازف وأخطأ في ذلك من وجوه والحديث صحيح معروف الاتصال بشرط الصحيح

Ibnu Hazm menyangka bahwa hadits ini terputus sanadnya antara Al-Bukhari dan Hisyam, lalu dia menjadikannya itu sebagai jawaban atas hujah pengharaman alat-alat musik. Beliau keliru dalam hal ini di banyak sisi, hadits ini shahih, dikenal bersambung sanadnya sesuai syarat hadits shahih. (Fathul Bari, 10/52)

Hadits kedua:

عَنْ أَبِي أُمَامَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ, “إِنَّ اللهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَهُدًى لِلْعَالَمِينَ، وَأَمَرَنِي رَبِّي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ وَالْأَوْثَانِ وَالصُّلُبِ، وَأَمْرِ الْجَاهِلِيَّة

Dari Abu Umamah, dia berkata: Bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Sesungguhnya Allah mengutusku sebagai rahmat dan petunjuk bagi semesta alam, Rabbku telah memerintahkan aku untuk membinasakan alat-alat musik, seruling, berhala, salib dan perkara jahiliyah … (HR. Ahmad No. 22307, Ath-Thayalisi No. 1230, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir No. 7803, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 6108)

Hadits yang mulia ini menunjukkan bahwa alat-alat musik hendak dihancurkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, itu menunjukkan kebenciannya terhadapnya serta keharaman hukum atasnya. Tetapi, hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah, sebab dhaif jiddan (sangat lemah – invalid text), sebagaimana dikatakan Syeikh Syu’aib Al-Arnauth, lantaran ada dua perawi yang dhaif yaitu Faraj bin Fadhalah dan ‘Ali bin Yazid. (Ta’liq Musnad Ahmad, 36/646)

Hadits ketiga:

عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فِي هَذِهِ الأُمَّةِ خَسْفٌ وَمَسْخٌ وَقَذْفٌ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَتَى ذَاكَ؟ قَالَ: إِذَا ظَهَرَتِ القَيْنَاتُ وَالمَعَازِفُ وَشُرِبَتِ الخُمُورُ

 

Dari ‘Imran bin Hushain, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Akan datang pada umat mereka ditenggelamkan, rupa mereka berubah, dan dilempari batu.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, kapan hal itu terjadi?” Beliau bersabda, “Ketika nampak penyanyi wanita, musik-musik, dan diminumnya khamr.” (HR. At-Tirmidzi No. 2212, katanya: hadits ini gharib. Ar-Ruyani dalam Musnadnya No. 132, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir No. 5810. Lafazh ini milik At-Tirmidzi. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ No. 5467)

Hadits ini menceritakan masa depan umat Islam yang kelam, yakni ketika musik, biduanita, dan khamr meraja lela. Ini menunjukkan bahwa musik adalah hal diharamkan bahkan disetarakan dengan khamr.

Hadits keempat:

عَنْ أَبِي مَالِكٍ الْأَشْعَرِيِّ، عَنْ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ, لَيَشْرَبَنَّ أُنَاسٌ مِنْ أُمَّتِي الْخَمْرَ, يُسَمُّونَهَا بِغَيْرِ اسْمِهَا, وَتُضْرَبُ عَلَى رُءُوسِهِمُ الْمَعَازِفُ, يَخْسِفُ اللهُ بِهُمُ الْأَرْضَ, وَيَجْعَلُ مِنْهُمْ قِرَدَةً وَخَنَازِيرَ

Dari Abi Malik Al-Asy’ari, dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bersabda:

“Manusia di antara umatku akan benar-benar minum khamr, mereka menamakannya dengan bukan namanya, dipukulkan di hadapan mereka alat-alat musik, Allah membenamkan mereka di bumi, dan menjadikan sebagian mereka sebagai kera dan babi.” (HR. Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra No. 17383 dan 20989, dengan tambahan: mughanniyat (biduanita), Ibnu Majah No. 4020, Ath-Thabarani, Al-Kabir No. 3419. Dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam Ghayatul Maram No. 402)

Hadits kelima:

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللَّهَ حَرَّمَ عَلَيَّ، أَوْ حُرِّمَ الْخَمْرُ، وَالْمَيْسِرُ، وَالْكُوبَةُ

Sesungguhnya Allah haramkan atasku, atau diharamkan khamr, judi, dan Al-Kubah. (HR. Abu Daud No. 3696.. Abu Ya’la No. 2729, Al-Baihaqi, As-Sunan Al-Kubra No. 20991. Dishahihkan oleh Imam Ibnu Hibban. (Tuhfatul Muhtaj Ila Adillatil Minhaj No. 1792), Syeikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah No. 2425. Syeikh Syu’aib Al-Arnauth (Ta’liq Musnad Ahmad, 4/280). Syeikh Husein Salim Asad dalam Musnad Abu Ya’la mengatakan: para perawinya tepercaya).

Imam Abu Daud berkata: Sufyan bertanya kepada Ali bin Badzimah tentang Al-Kubah, dia menjawab: Ath-Thabl – drum/gendang. (Sunan Abi Daud No. 3639). Sementara Imam Ibnu Abi Syaibah mengatakan Al-Kubah adalah Al-‘Uud– kecapi. (Al-Mushannaf No. 24080). Imam Ibnul Atsir mengatakan: Al-Kubah adalah Ath-Thablush Shaghir – gendang kecil. (Jami’ul Ushul, 5/97). Imam Ahmad bertanya kepada Yahya bin Ishaq, apa itu Al-Kubah? Beliau menjawab: Thabl – drum. (Al-Badrul Munir, 9/649). Imam Muhammad bin Katsir mengatakan, Al-Kubah adalah dadu menurut bahasa penduduk Yaman. (Imam Abu ‘Ubaid, Gharibul Hadits, 4/278)

Hadits keenam:

Dari Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ اللهَ حَرَّمَ عَلَيْكُمِ الْخَمْرَ، وَالْمَيْسِرَ، وَالْكُوبَةَ

Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kalian khamr, judi, dan Al-Kubah. (HR. Ahmad No. 2625, Syeikh Syu’aib Al-Arnauth mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad, 4/381. Al-Baihaqi dalam Al-Adab No. 628)

Hadits ketujuh:

Dari Abdullah bin ‘Amr Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَهَى عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ وَالْكُوبَةِ وَالْغُبَيْرَاءِ

Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang khamr, Al-Kubah, dan Al-Ghubaira.

(HR. Abu Daud No. 3685. Abu Daud mengatakan bahwa menurut Imam Abu ‘Ubaid, Al-Ghubaira adalah minuman keras yang terbuat dari perasan Jagung. Di dalam sanadnya terdapat Al-Walid bin ‘Abdah, Imam Al-Mundziri mengatakan: Walid bin ‘Abdah menurut Imam Abu Hatim adalah: majhul (tidak dikenal). Ibnu Yunus mengatakan dalam Tarikh Al-Mishriyin bahwa Walid bin ‘Abdah adalah pelayannya Abdullah bin Amr bin Al-‘Ash, Yazid bin Habib meriwaytkan hadits darinya, dan hadits ini ma’lul – memiliki cacat. Lihat Mukhtashar, 5/268-269. Namun dishahihkan oleh Syeikh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah No. 1708)

Hadits kedelapan:

Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu mengatakan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallambersabda:

صوتان ملعونان في الدنيا والآخرة مزمار عند نعمة ورنة عند مصيبة

“Ada dua suara yang dilaknat di dunia dan akhirat; suara seruling ketika mendapatkan kenikmatan dan raungan ketika musibah.” (HR. Al-Bazzar No. 7513, Alauddin Al-Muttaqi Al-Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 40661, 40673. Syeikh Al-Albani menghasankan. Lihat Shahih At-Targhib wat Tarhib No. 3527. Imam Al-Haitsami mengatakan: para perawinya terpercaya. Lihat Majma’uz Zawaid, 3/13. Dihasankan pula oleh Syeikh Abdul Malik bin Abdullah Duhaisy dalam tahqiqnya terhadap kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah-nya Imam Dhiya’uddin Al-Maqdisi No. 2200. Sementara Imam Al-Munawi mengatakan: isnadnya shahih. Lihat At-Taisir bi Syarhil Jaami’ Ash-Shaghir, 2/95)

Kata laknat di sini, menunjukkan haramnya hal tersebut dilakukan. Bahkan Imam Al-Qurthubi dan Imam Ibnu Taimiyah mengatakan –seperti yang dikutip Imam Al-Munawi:

بل فيه دلالة على تحريم الغناء فإن المزمار هو نفس صوت الإنسان يسمى مزمارا كما في قوله لقد أوتيت مزمارا من مزامير آل داود انتهى

Bahkan dalam hadits ini terdapat petunjuk haramnya nyanyian, sebab seruling itu sejenis dengan suara manusia, dan suara tersebut dinamakan dengan seruling sebagaimana dalam sabdanya (tentang suara Abu Musa Al-Asy’ari ketika membaca Alquran, pen), “Engkau telah diberikan seruling di antara seruling-seruling keluarga Daud.” Selesai. (Imam Al-Munawi, Faidhul Qadir, 4/210)

Hadits kesembilan:

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الْجَرَسُ مَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ

Lonceng adalah seruling-seruling syetan. (HR. Muslim No. 2114, Abu Daud No. 2556, An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra No. 8761)

Celaan ini untuk lonceng, padahal suaranya masih sederhana, apalagi untuk alat musik yang mendayu-dayu dan mempengaruhi hati dan jiwa?

D. Komentar Para Ulama Yang Mengharamkan

Berikut ini adalah komentar para ulama yang mengharamkan musik.

  1. Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma

Beliau mengatakan:

الدف حرام والمعازف حرام والكوبة حرام والمزمار حرام

“Rebana adalah haram, Al-ma’azif adalah haram, gendang adalah haram, dan seruling adalah haram.” (HR. Al-Baihaqi, 10/222. Dari jalan Abdul Karim Al-Jazari dari Abu Hasyim Al-Kufi. Syeikh Al-Albani mengatakan: isnadnya shahih. Lihat Tahrim Alat Ath-Tharb, Hal. 92. Cet. 3, 1426H-2005M. Muasasah Ar-Rayyan)

  1. Abdullah bin ‘Umar Radhiallahu ‘Anhuma

Imam Az-Zaila’i Rahimahullah menceritakan:

وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ رَأَى فِي يَدِ بَعْضِ النَّاسِ شَيْئًا مِنْ الْمَعَازِفِ فَكَسَرَهُ فِي رَأْسِهِ

Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar bahwa Beliau melihat di tangan sebagian orang adanya alat-alat musik, lalu Beliau menghancurkan alat-alat itu di hadapannya. (Tabyinul Haqa-iq, 5/238)

Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah menyebutkan:

وَرَوَى نَافِعٌ، قَالَ: سَمِعَ ابْنُ عُمَرَ مِزْمَارًا، قَالَ: فَوَضَعَ إصْبَعَيْهِ فِي أُذُنَيْهِ، وَنَأَى عَنْ الطَّرِيقِ، وَقَالَ لِي: يَا نَافِعُ، هَلْ تَسْمَعُ شَيْئًا؟ قَالَ: فَقُلْت: لَا. قَالَ: فَرَفَعَ إصْبَعَيْهِ مِنْ أُذُنَيْهِ، وَقَالَ: كُنْت مَعَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فَسَمِعَ مِثْلَ هَذَا، فَصَنَعَ مِثْلَ هَذَا

Nafi’ meriwayatkan, katanya: Ibnu Umar mendengar suara seruling, lalu dia menutup kedua telinganya dengan jarinya, lalu dia menjauh dari jalan dan berkata kepadaku, “Wahai Nafi’, apakah kamu masih mendengar suaranya?” Aku menjawab, “Tidak.” Lalu Ibnu Umar melepaskan jarinya dari kedua telinganya. Lalu Ibnu Umar berkata: Dulu aku bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia mendengar suara ini, dan dia melakukan seperti ini (maksudnya menutup telinga, pen).” (Al-Mughni, 10/154)

Namun hadits yang disebut Ibnu Umar tersebut adalah dhaif. Imam Ibnu Qudamah mengatakan, “Diriwayatkan oleh Al-Khalal melalu dua jalur, juga diriwayatkan oleh Abu Daud dalam Sunan-nya, katanya: hadits ini munkar.” (Ibid)

  1. Umar bin Abdul ‘Aziz Radhiallahu ‘Anhu

Imam Al-Auza’i mengatakan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada Umar bin Al-Walid, di antara bunyi suratnya:

وَإِظْهَارُكَ الْمَعَازِفَ وَالْمَزَامِيرَ بِدْعَةٌ فِي الْإِسْلَامِ

“ … penyebaranmu terhadap alat-alat musik dan seruling, itu adalah bid’ah dalam Islam …” (Imam An-Nasa’i, As-Sunan Al-Kubra No. 4421)

  1. Imam Al-Hasan Al-Bashri Radhiallahu ‘Anhu

Beliau mengatakan:

ليس الدفوف من أمر المسلمين في شيء وأصحاب عبد الله يعني ابن مسعود كانوا يشققونها

“Rebana sama sekali bukan berasal dari budaya kaum muslimin, dan para sahabat Abdullah bin Mas’ud merobek-robeknya.” (Tahrim Alat Ath-Tharb, Hal. 103-104)

  1. Imam Muhammad bin Al-Hasan Rahimahullah

Beliau adalah murid sekaligus kawan Imam Abu Hanifah, katanya:

لَا يَنْعَقِدُ بَيْعُ هَذِهِ الْأَشْيَاءِ؛ لِأَنَّهَا آلَاتٌ مُعَدَّةٌ لِلتَّلَهِّي بِهَا مَوْضُوعَةٌ لِلْفِسْقِ، وَالْفَسَادِ فَلَا تَكُونُ أَمْوَالًا فَلَا يَجُوزُ بَيْعُهَا

Tidak boleh berkumpul untuk membeli benda-benda ini (alat-alat musik), karena ini alat-alat yang biasanya dipakai untuk melenakan dan merupakan zona kefasikan dan kerusakan, maka janganlah menjadikannya sebagai harta kekayaan, dan tidak boleh melakukan jual-beli barang tersebut. (Imam Al-Kisani, Bada’i Ash-Shana’i, 5/144)

  1. Imam Asy-Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu

Al-Qadhi Abu Thayyib menceritakan:

وحكي عن الشافعي أنه كان يكره الطقطقة بالقضيب ويقول وضعته الزنادقة ليشتغلوا به عن القرآن

Diceritakan dari Imam Asy-Syafi’i, bahwa Beliau membenci mengetuk-ketuk batang pohon dan mengatakan itu adalah perbuatan orang zindiq yang dengannya orang menjadi lalai dari Alquran. (Imam Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulumuddin, 2/269)

Imam Asy-Syafi’i berkata:

وَلَوْ كَسَرَ لَهُ طُنْبُورًا أَوْ مِزْمَارًا أَوْ كَبَرًا فَإِنْ كَانَ فِي هَذَا شَيْءٌ يَصْلُحُ لِغَيْرِ الْمَلَاهِي فَعَلَيْهِ مَا نَقَصَ الْكَسْرُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ يَصْلُحُ إلَّا لِلْمَلَاهِي فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ وَهَكَذَا لَوْ كَسَرَهَا نَصْرَانِيٌّ لِمُسْلِمٍ أَوْ نَصْرَانِيٌّ أَوْ يَهُودِيٌّ أَوْ مُسْتَأْمَنٌ أَوْ كَسَرَهَا مُسْلِمٌ لِوَاحِدٍ مِنْ هَؤُلَاءِ أَبْطَلْت ذَلِكَ كُلَّهُ

Seandainya seseorang menghancurkan tamburin, seruling, atau gendang, yang jika benda-benda ini difungsikan selain alat musik maka dia mesti membayar ganti rugi, tetapi jika benda-benda ini fungsinya hanyalah sebagai alat musik, maka dia tidak usah mengganti rugi. Demikian pula jika yang menghancurkan adalah seorang Nasrani terhadap milik seorang muslim, atau dilakukan oleh Yahudi, kafir musta’min, atau orang Islam yang menghancurkan milik mereka, maka semua itu adalah batil (tidak usah diganti rugi, pen). (Al-Umm, 4/225)

Imam Asy-Syafi’i menganggap bahwa alat-alat musik yang fungsinya memang hanya untuk musik, maka ketika dihancurkan tidak ada kewajiban ganti rugi, siapa pun pelakunya dan pemiliknya.

Imam Abul Hasan Al-Muhamili Rahimahullah mengatakan tentang sikap madzhab Syafi’i tentang menjual alat musik:

ويُكره بيع الخشب ممن يتخذ الملاهي، مثل: الطُّنبور ، والطّبل وما شابه ذلك، والبيع صحيح؛ لإمكان أن يستعمله في غيره

Hal yang dibenci menjual kayu untuk dijadikan alat musik seperti tamburin, gendang, dan semisalnya. Menjualnya memang sah jika untuk difungsikan selain untuk itu (musik). (Al-Lubab fil Fiqhisy Syafi’i, 1/245)

  1. Imam Ibnu Nujaim Al-Hanafi Rahimahullah

Beliau berkata:

وَفِي الْمِعْرَاجِ الْمَلَاهِي نَوْعَانِ مُحَرَّمٌ وَهُوَ الْآلَاتُ الْمُطْرِبَةُ مِنْ غَيْرِ الْغِنَاءِ كَالْمِزْمَارِ سَوَاءٌ كَانَ مِنْ عُودٍ أَوْ قَصَبٍ كَالشَّبَّابَةِ أَوْ غَيْرِهِ كَالْعُودِ وَالطُّنْبُورِ لِمَا رَوَى أَبُو أُمَامَةَ أَنَّهُ – عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ – قَالَ «إنَّ اللَّهَ بَعَثَنِي رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ وَأَمَرَنِي بِمَحْقِ الْمَعَازِفِ وَالْمَزَامِيرِ» وَلِأَنَّهُ مُطْرِبٌ مُصِدٌّ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ تَعَالَى وَالنَّوْعُ الثَّانِي مُبَاحٌ وَهُوَ الدُّفُّ فِي النِّكَاحِ وَفِي مَعْنَاهُ مَا كَانَ مِنْ حَادِثِ سُرُورٍ وَيُكْرَهُ فِي غَيْرِهِ

Tingkatan hukum alat-alat musik ada dua jenis, Pertama. Yang diharamkan yaitu alat-alat musik untuk nyanyian yang dimainkan tanpa lagu seperti seruling, sama saja baik yang terbuat dari kayu atau rotan, seperti klarinet atau alat lainnya seperti kecapi, tamburin, berdasarkan riwayat dari Abu Umamah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Allah mengutusku sebagai rahmat bagi semesta alam dan memerintahkan aku menghancurkan alat-alat musik dan seruling”, karena itu merupakan nyanyian yang dapat menghalangi ingatakn kepada Allah Taala.

Kedua, yang dibolehkan yaitu rebana dalam pernikahan, semakna dengan ini adalah kondisi apa saja berupa peristiwa yang menyenangkan, dan dimakruhkan rebana diluar waktu ini. (Al-Bahru Ar-Ra-iq, 7/88)

  1. Imam Abul Ma’ali Al-Bukhari Al-Hanafi Rahimahullah

Beliau mengatakan:

وفي فتاوى أهل سمرقند استماع صوت الملاهي كالضرب بالقصب، وغير ذلك من الملاهي حرام، وقد قال عليه السلام: استماع الملاهي معصية والجلوس عليها فسق والتلذذ بها من الكفر

Dalam Fatawa Ahli Samarqandi disebutkan bahwa mendengarkan suara hiburan seperti memukul rotan dan alat hiburan lainnya adalah haram. Sebagaimana sabda nabi: mendengarkan alat hiburan adalah maksiat, duduk mendengarkannya adalah fasiq, menikmatinya adalah kufur. (Al-Muhith Al-Burhani, 5/369)

Imam Ibnul Qayyim mengatakan hadits yang dimaksud ini tidaklah sampai Rasululah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam.

  1. Imam Abu Abdillah Zainuddin Abdul Qadir Al-Hanafi Rahimahullah

Beliau menuliskan:

اسْتِمَاع الملاهي وَسَمَاع صَوت الملاهي كلهَا حرَام فَإِن سمع بَغْتَة فَهُوَ مَعْذُور ثمَّ يجْتَهد أَن لَا يسمع مهما أمكنه

Mendengarkan secara sengaja alat-alat musik, semuanya adalah haram, sedangkan mendengarkannya secara tidak diduga hal itu dimaafkan, kemudian hendaknya dia bersungguh-sungguh untuk tidak mendengarkannya sebisa mungkin. (Tuhfatul Muluk, Hal. 238)

10. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki Rahimahullah

Beliau mengatakan:

وَقِيلَ هِيَ جَائِزَةٌ فِي النِّكَاحِ، وَلَا يَلْزَمُ مِنْ جَوَازِهَا جَوَازُ كِرَائِهَا وَالرَّاجِحُ أَنَّ الدُّفَّ وَالْكَبَرَ جَائِزَانِ لِعُرْسٍ مَعَ كَرَاهَةِ الْكِرَاءِ، وَأَنَّ الْمَعَازِفَ حَرَامٌ كَالْجَمِيعِ فِي غَيْرِ النِّكَاحِ فَيَحْرُمُ كِرَاؤُهَا

Dikatakan: boleh dimainkan dalam pernikahan. Pembolehan itu tidaklah lantas boleh juga disewakan. Pendapat yang lebih kuat adalah rebana dan gendang itu boleh dimainkan ketika pesta, namun makruh menyewanya, sesungguhnya semua alat-alat musik haram dimainkan di luar nikah, maka haram juga menyewa di luar nikah. (Hasyiah Ad-Dasuqi ‘Ala Syarhil Kabir, 4/18)

11. Imam Abu Muhammad Al-Qairuwani Al-Maliki Rahimahullah

Beliau mengatakan:

ولا يحل لك أن تتعمد سماع الباطل كله ولا أن تتلذذ بسماع كلام امرأة لا تحل لك ولا سماع شيء من الملاهي والغناء

Tidak dihalalkan bagimu menyengaja mendengarkan kebatilan (kesia-siaan) semuanya, dan jangan pula menikmati suara ucapan perempuan, itu tidak halal bagimu, dan tidak pula halal mendengarkan alat-alat musik dan nyanyian. (Imam Abu Muhammad Al-Qairuwani, Ar-Risalah, Hal. 154)

12. Imam Ibnu Rusyd Al-Maliki Rahimahullah

Beliau mengatakan:

ولا يجوز تعمد حضور شيء من اللهو واللعب، ولا من الملاهي المطربة كالطبل والزمر وما كان في معناه

Tidak boleh menyengaja hadir ke tempat hiburan, permainan, dan juga alat-alat musik yang diiringi nyanyian, seperti seruling, dan apa-apa yang semakna. (Al-Muqaddimat, 3/462)

Tapi Beliau juga mengatakan:

ورخص من ذلك في النكاح الدف وهو الغربال باتفاق، والكبر والمزهر على ثلاثة أقوال: إباحتها جميعا، وكراهتهما جميعا، وإباحة الكبر دون المزهر، قيل: للنساء دون الرجال، وقيل: للنساء والرجال. واختلف هل هو من قبيل المباح الذي يستوي فعله وتركه، أو هو من قبيل المباح الذي تركه أحسن من فعله وبالله التوفيق

Diringankan musik pada pernikahan seperti rebana, menurut kesepakatan ulama, ada pun gendang dan kecapi ada tiga pendapat: 1. boleh semua, 2. makruh keduanya, 3. membolehkan gendang, tapi tidak bagi kecapi. Ada yang mengatakan: boleh bagi wanita, laki-laki tidak. Ada yang bilang: boleh bagi wanita dan laki-laki juga. Juga terdapat perbedaan, apakah dari sisi kebolehannya itu sama saja antara memainkan dan meninggalkannya, ataukah meninggalkannya lebih baik dibanding memainkannya. (Ibid)

13. Imam Al-Haramain Asy-Syafi’i Rahimahullah

والبداية في هذا الفن بتحريم المعازف والأوتار، وكلها حرام، وهي ذرائع إلى كبائر الذنوب. وفي اليراع وجهان. ولا يَحْرم ضربُ الدف إذا لم تكن عليه جلاجل، فإن كان، فوجهان. وكان شيخي يقطع بتحريم

Awal dari masalah ini adalah pengharaman atas alat-alat musik, senar, dan semua alat musik, hal itu merupakan tindakan preventif dari dosa-dosa besar. Pada klarinet ada dua pendapat. Tidak diharamkan memukul rebana jika tidak terdapat lonceng, jika ada lonceng, maka ada dua pendapat, sedangkan guruku menilainya itu haram. (Nihayatul Mathlab fi Dirayatil Madzhab, 19/22)

14. Imam An-Nawawi Asy-Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan:

آلَاتُ الْمَلَاهِي كَالْبَرْبَطِ وَالطُّنْبُورِ وَغَيْرِهِمَا، وَكَذَا الصَّنَمُ وَالصَّلِيبُ، لَا يَجِبُ فِي إِبْطَالِهَا شَيْءٌ، لِأَنَّهَا مُحَرَّمَةُ الِاسْتِعْمَالِ، وَلَا حُرْمَةَ لِتِلْكَ الصَّنْعَةِ

Alat-alat musik seperti tamburin dan lainnya, begitu pula berhala dan salib, tidaklah ada kewajiban ganti rugi apa pun ketika membatalkannya (dalam jual beli, pen), sebab itu adalah benda-benda yang diharamkan untuk dimanfaatkan dan itu bukanlah benda yang terhormat. (Raudhatuth Thalibin, 5/17)

Tegas Imam An-Nawawi mengatakan alat-alat musik adalah benda Al-muharramah (yang diharamkan). Beliau juga mengatakan:

ويكره الغناء بلا آلة وسماعه ويحرم استعمال آلة من شعار الشربة كطنبور وعود وصنج ومزمار عراقي وإسماعها لا يراع في الأصح. قلت: الأصح تحريمه والله أعلم

Dimakruhkan mendengarkan nyanyian yang tanpa alat musik. Diharamkan memainkan dan mendengarkan alat musik yang biasa dipakai sebagai simbol para peminum seperti tamburin, kecapi, shanju, seruling Iraq dan mendengarkannya tanpa yara’. Aku berkata: yang benar yara’ (semacam seruling) adalah haram. Wallahu A’lam . (Minhajuth Thalibin, 1/345)

15. Imam Al-Ghazali Asy-Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan:

المعازف والأوتار حرَام لِأَنَّهَا تشوق إِلَى الشّرْب وَهُوَ شعار الشّرْب فَحرم التَّشَبُّه بهم وَأما الدُّف إِن لم يكن فِيهِ جلاجل فَهُوَ حَلَال ضرب فِي بَيت رَسُول الله صلى الله عَلَيْهِ وَسلم

وَإِن كَانَ فِيهِ جلاجل فَوَجْهَانِ وَفِي اليراع وَجْهَان وَالأَصَح أَنه لَا يحرم والمزمار الْعِرَاقِيّ حرَام لِأَنَّهُ عَادَة أهل الشّرْب

Alat-alat musik dan senar adalah haram, sebab hal tersebut dapat membangkitkan seseorang untuk minum (khamr), dan itu merupakan syi’arnya para peminum, dan diharamkan menyerupai mereka. Ada pun rebana jika tidak ada lonceng maka itu boleh, itu pernah dimainkan di rumah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, tapi jika ada loncengnya maka ada dua pendapat, dan jika memiliki yara’ (semacam seruling) juga ada dua pendapat, dan yang benar adalah tidak diharamkan, sedangkan seruling Iraq adalah haram karena itu biasa dimainkan oleh para peminum khamr. (Al-Wasith fil Madzhab, 7/350)

Kita lihat Imam Al-Ghazali mengharamkan semua alat musik dan yang memiliki senar (gitar, biola, kecapi, ukolele, harpa, dan semisalnya), kecuali untuk rebana, beliau membolehkannya, termasuk rebana yang memiliki lonceng dan yara’ Beliau memilih tidak mengharamkannya, kecuali seruling Iraq. Imam Zakaria Al-Anshari menyebut yara’ adalah Asy-syababah – klarinet.

16. Imam Abul Hasan Al-Mawardi Asy-Syafi’i Rahimahullah

Beliau mengatakan:

فَأَمَّا الْحَرَامُ: فَالْعُودُ وَالطُّنْبُورُ وَالْمِعْزَفَةُ وَالطَّبْلُ وَالْمِزْمَارُ وَمَا أَلْهَى بِصَوْتٍ مُطْرِبٍ إِذَا انْفَرَدَ

Ada pun musik yang diharamkan adalah kecapi, tamburin, gendang, seruling, dan suara nyanyian apa saja yang melalaikan biar pun sendirian. (Al-Hawi Al-Kabir, 17/191)

17. Imam Ibnu Taimiyah Al-Hambali Rahimahullah

Beliau mengatakan:

فَأَمَّا الْمُشْتَمِلُ عَلَى الشَّبَّابَاتِ وَالدُّفُوفِ المصلصلة فَمَذْهَبُ الْأَئِمَّةِ الْأَرْبَعَةِ تَحْرِيمُهُ.

Ada pun musik yang mencakup klarinet dan rebana maka madzhab imam yang empat mengharamkannya. (Majmu’ Al-Fatawa, 11/535)

18. Imam Ibnu Qudamah Al-Hambali Rahimahullah

Beliau menegaskan musik ada tiga hukum, haram, mubah, dan makruh, berikut ini rinciannya:

فِي الْمَلَاهِي: وَهِيَ عَلَى ثَلَاثَةِ أَضْرُبٍ؛ مُحَرَّمٌ، وَهُوَ ضَرْبُ الْأَوْتَارِ وَالنَّايَاتُ، وَالْمَزَامِيرُ كُلُّهَا، وَالْعُودُ، وَالطُّنْبُورُ، وَالْمِعْزَفَةُ، وَالرَّبَابُ، وَنَحْوُهَا، فَمَنْ أَدَامَ اسْتِمَاعَهَا، رُدَّتْ شَهَادَتُهُ؛ لِأَنَّهُ يُرْوَى عَنْ عَلِيٍّ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ – عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَنَّهُ قَالَ: «إذَا ظَهَرَتْ فِي أُمَّتِي خَمْسَ عَشْرَةَ خَصْلَةً، حَلَّ بِهِمْ الْبَلَاءُ» . فَذَكَرَ مِنْهَا إظْهَارَ الْمَعَازِفِ وَالْمَلَاهِي

Tentang musik, ada tiga jenis: Diharamkan, yaitu memainkan musik yang bersenar, semua jenis seruling, kecapi, tamburin, mi’zafah, rebab, dan semisalnya. Barang siapa yang rutin mendengarkannya maka dia tertolak kesaksiannya. Sebab diriwayatkan dari Ali bin Thalib Radhiallahu ‘Anhu, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “jika muncul pada umatku 15 hal, maka bencana halal bagi mereka,” lalu nabi menyebutkan salah satunya adalah alat-alat musik dan hiburan. (Al-Mughni, 10/153)

Ada pun jenis yang boleh adalah rebana pada saat pernikahan dan hari-hari yang menyenangkan, diluar itu makruh. Katanya:

وَضَرْبٌ مُبَاحٌ؛ وَهُوَ الدُّفُّ؛ فَإِنَّ النَّبِيَّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ: «أَعْلِنُوا النِّكَاحَ، وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفِّ» . أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ. وَذَكَرَ أَصْحَابُنَا، وَأَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ، أَنَّهُ مَكْرُوهٌ فِي غَيْرِ النِّكَاحِ؛ لِأَنَّهُ يُرْوَى عَنْ عُمَرَ، أَنَّهُ كَانَ إذَا سَمِعَ صَوْتَ الدُّفِّ، بَعَثَ فَنَظَرَ، فَإِنْ كَانَ فِي وَلِيمَةٍ سَكَتَ، وَإِنْ كَانَ فِي غَيْرِهَا، عَمَدَ بِالدُّرَّةِ. وَلَنَا، مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «أَنَّ امْرَأَةً جَاءَتْهُ، فَقَالَتْ: إنِّي نَذَرْت إنْ رَجَعْت مِنْ سَفَرِك سَالِمًا، أَنْ أَضْرِبَ عَلَى رَأْسِك بِالدُّفِّ. فَقَالَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: أَوْفِ بِنَذْرِك» . رَوَاهُ أَبُو دَاوُد

وَلَوْ كَانَ مَكْرُوهًا لَمْ يَأْمُرْهَا بِهِ وَإِنْ كَانَ مَنْذُورًا. وَرَوَتْ الرُّبَيِّعُ بِنْتُ مُعَوِّذٍ، قَالَتْ: «دَخَلَ عَلَيَّ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – صَبِيحَةَ بُنِيَ بِي، فَجَعَلَتْ جُوَيْرِيَّاتٌ يَضْرِبْنَ بِدُفٍّ لَهُنَّ، وَيَنْدُبْنَ مَنْ قُتِلَ مَنْ آبَائِي يَوْمَ بَدْرٍ، إلَى أَنْ قَالَتْ إحْدَاهُنَّ: وَفِينَا نَبِيٌّ يَعْلَمُ مَا فِي غَدٍ. فَقَالَ: دَعِي هَذَا، وَقُولِي الَّذِي كُنْت تَقُولِينَ» مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Jenis yang mubah adalah, memukul rebana, karena Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, “Beritakanlah pernikahan dan pukullah rebana.” (HR. Muslim). Sahabat-sahabat kami (Hambaliyah), dan sahabat-sahabat Syafi’i (Syafi’iyah) menyebutkan bahwa rebana makruh jika diselain pernikahan, sebab diriwayatkan dari Umar bahwa jika dia mendengar suara rebana maka dia bangun dan memandanginya, tapi jika itu terjadi dalam pesta maka Beliau diam. Bagi kami, apa-apa yang diriwayatkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa ada seorang wanita datang kepadanya dan berkata: Saya bernadzar jika engkau (nabi) pulang dari safar dalam keadaan selamat saya akan memainkan rebana dihadapanmu. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab, “Penuhi nadzarmu.” (HR. Abu Daud)

Seandainya itu (memukul rebana, pen) makruh tentu nabi tidak akan memerintahkannya untuk memukulnya, walaupun itu dalam bentuk nadzar. Ar-Rubayyi’ binti Mu’awwidz mengatakan, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke rumahku pada pagi hari, maka ada dua budak wanita yang memukul-mukul rebana, lalu menyenandungkan lagu tentang peristiwa ayah-ayah kami saat perang Badar, sampai salah satu di antara mereka berkata: di tengah kita hadir seorang nabi yang mengetahui hari esok. Rasulullah bersabda, “Tinggalkan kata-kata itu, katakanlah yang lainnya yang ingin kau katakan.” (Ibid)

Imam Ibnu Qudamah menjelaskan musik yang makruh, yaitu jika dimainkan oleh kaum laki-laki, sebab itu merupakan penyerupaan terhadap wanita dan banci. Menurutnya, kaum wanitalah yang memainkan rebana sebagaimana riwayat-riwayat yang ada, bukan kaum laki-laki.

Berikut ini penjelasannya:

أَمَّا الضَّرْبُ بِهِ لِلرِّجَالِ فَمَكْرُوهٌ عَلَى كُلِّ حَالٍ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا كَانَ يَضْرِبُ بِهِ النِّسَاءُ، وَالْمُخَنَّثُونَ الْمُتَشَبِّهُونَ بِهِنَّ، فَفِي ضَرْبِ الرِّجَالِ بِهِ تَشَبُّهٌ بِالنِّسَاءِ، وَقَدْ لَعَنَ النَّبِيُّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ. فَأَمَّا الضَّرْبُ بِالْقَضِيبِ، فَمَكْرُوهِ إذَا انْضَمَّ إلَيْهِ مُحَرَّمٌ أَوْ مَكْرُوهٌ، كَالتَّصْفِيقِ وَالْغِنَاءِ وَالرَّقْصِ، وَإِنْ خَلَا عَنْ ذَلِكَ كُلِّهِ لَمْ يُكْرَهْ؛ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِآلَةٍ وَلَا بِطَرِبٍ، وَلَا يُسْمَعُ مُنْفَرِدًا

Ada pun laki-laki memukul rebana, itu makruh dalam segala keadaan. Karena dahulu itu dimainkan oleh kaum wanita. Itu merupakan kebancian dan peniruan terhadap kaum wanita.Maka, laki-laki yang memainkan rebana itu adalah tasyabbuh terhadap wanita. Dan, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah melaknat kaum laki-laki yang menyerupai kaum wanita.

Sedangkan memukul batang pohon makruhnya jika dibarengi hal-hal yang haram seperti tepul tangan, menyanyi, dan menari. Jika tidak dibarengi itu, tidak makruh sebab itu bukan alat musik dan tidak bisa didengar secara sendiri. (Ibid, 10/155)

19. Syeikh Muhammad bin Ibrahim Alu Asy-Syeikh Al-Hambali Rahimahullah

Beliau menyatakan keharaman berobat dengan mendengarkan alat-alat musik. Berikut ini keterangannya:

(ويحرم) التداوي، (بمحرم أكلاً وشرباً، وصوت ملهاة) يحرم أن يشرب حراماً تداويا به، أو يأكل حراماً تداوياً به، أو يتداوى بصوت ملهاة: مثل الطبل، أو دف، أو مزمار، أو غير ذلك من الملاهي الكثيرة؛ فهو منهي عنه

(Diharamkan) berobat (dengan yang haram baik makanan atau minuman dan suara hiburan) diharamkan menggunakan minuman haram sebagai obat, atau memakan makanan haram sebagai obat, atau berobat dengan suara hiburan seperti: gendang, rebana, seruling, atau alat musik lainnya yang begitu banyak, maka hal itu terlarang. (selesai kutipan dari Syeikh Ibrahim)

Kemudian Beliau mengutip surat Luqman ayat 6 (Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan Perkataan yang tidak berguna untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan), lalu memberikan penjelasan:

فدخل في ذلك الملاهي كلها، فيحرم حضورها فهي من جملة المحرمات التي ليس فيها شفاء، بل كثير من المحرمات تزيد الداء داء

Maka, yang termasuk lahwul hadits adalah semua alat-alat hiburan, diharamkan menghadirkannya sebab secara global itu adalah termasuk keumuman hal-hal yang diharamkan, itu bukan obat bahkan banyak melakukan perkara-perkara yang diharamkan justru menambah penyakit. (Syarh Kitab Adab Al-Musyi, Hal. 169)

E. Kesimpulan Terhadap Pihak Yang Mengharamkan

Demikianlah deretan imam kaum muslimin yang nama-nama mereka telah menjadi rujukan umat Islam di berbagai belahan dunia. Nama-nama ini sudah cukup mewakili ulama lain yang sepaham dengan mereka, dan nama-nama ini masih sebagian kecil saja, mungkin masih ada puluhan, ratusan bahkan ribuan ulama yang mengharamkannya.

Dari berbagai komentar mereka, maka pada posisi yang mengharamkan bisa kita simpulkan sebagai berikut:

  1. Semua alat musik pada dasarnya haram baik alat musik tiup, pukul, gesek, dan sebagainya. Semisal seruling dan beragam jenisnya, gendang, kecapi, gitar, dan sebagainya.
  2. Dikecualikan rebana dalam pesta pernikahan, hari raya, dan suasana gembira seperti pulang dari peperangan dan bepergian, selain momen itu makruh, ada pula yang mengharamkan. Ada pun Imam Al-Ghazali membolehkan rebana yang memiliki lonceng, bahkan klarinet. Namun dalam hal ini Beliau dikoreksi oleh yang lainnya seperti Imam An-Nawawi.
  3. Pembolehan terhadap rebana hanya bagi wanita, ada pun bagi laki-laki makruh sebab itu menyerupai wanita dan banci.
  4. Musik-musik yang biasa dimainkan ahli maksiat juga haram, bahkan Imam Al-Ghazali dan para ulama yang membolehkan musik juga mengharamkan ini.
  5. Mendengarkan secara sengaja adalah maksiat bahkan fasik menurut sebagian mereka, dan hanyut dalam musik adalah kufur.
  6. Para penikmat musik tertolak kesaksiannya.

Demikian. Wallahu a’lam

 

[1] Lima koreksi Imam Ibnul Qayyim atas Imam Ibnu Hazm tersebut adalah:

  1. Bahwasanya Imam Bukhari telah berjumpa dengan Hisyam bin Ammar, dan mendengarkan hadits ini darinya. Jika Imam Bukhari mengucapkan, “Berkata Hisyam (Qaala Hisyam) ” itu sama halnya dengan ucapannya, “Dari Hisyam (‘An Hisyam).”
  2. Kalaupun Imam Bukhari tidak mendengarkan langsung dari Hisyam maka memang tidak boleh memastikan darinya, tetapi yang benar adalah bahwa Beliau mendengarkan hadits ini darinya. Hal ini ditunjukkan begitu banyaknya riwayat yang berasal darinya (Hisyam), dan dia adalah seorang Syeikh (guru) yang begitu tenar. Sedangkan Imam Bukhari merupakan hamba Allah yang sangat jauh dari sikap tadlis (suka menggelapkan sanad dan matan hadits).
  3. Imam Bukhari memasukan hadits ini dalam kitab Shahih-nya, dan ini sebagai hujjah bahwa seandainya tidak shahih maka Beliau tidak akan mencantumkan di dalamnya.
  4. Hadits ini oleh Imam Bukhari diriwayatkan secara mu’allaq namun dengan bentuk kata jazm (pasti dan tegas yaitu qaala –telah berkata, pen) bukan dengan bentuk kata tamridh (adanya cacat). Biasanya Imam Bukhari jika belum memutuskan sebuah hadits shahih atau tidak atau menurutnya hadits itu tidak sesuai standar yang dia tetapkan, maka dia akan menggunakan kata: Yurwa ‘an Rasulillah (diriwayatkan dari Rasulullah), yudzkaru ‘anhu (disebutkan darinya), dan semisalnya. Ada pun jika Beliau mengatakan, “Qaala Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ..” maka Beliau telah memastikan bahwa hadits tersebut benar dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
  5. Seandainya alasan-alasan yang kami (Ibnul Qayyim) sampaikan di atas sama sekali tidak berpengaruh, maka cukuplah kami katakan bahawa hadits ini shahih dan bersabung sanadnya karena dikuatkan oleh berbagai riwayat lainnya. (Ighatsatul Lahfan, 1/260)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Perlunya Belajar Tafsir Al-Qur’an Bagi Setiap Muslim

Figure
Organization