Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / Surga yang tak Dirindukan

Surga yang tak Dirindukan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Cover buku "Surga yang tak Dirindukan".
Cover buku “Surga yang tak Dirindukan”.

Judul: Surga yang tak Dirindukan
Penulis: Asma Nadia
ISBN: 978-602-9055-21-4
Penerbit: AsmaNadia Publishing House
Tahun terbit: Cetakan keempat, Juni 2014

Jika Surga Tidak Lagi Didamba

dakwatuna.com – Dunia dongeng memang selalu menakjubkan. Pernak-pernik derita yang muncul di permukaan kisah seolah sirna saat tiba-tiba datang pangeran yang gagah dengan kuda putihnya. Mungkin hal tersebutlah yang membuat hampir tidak ada wanita di dunia ini, yang menolak jika diajak hidup dalam bingkai manis dunia dongeng.

Seperti Arini, yang selalu merasa dirinya adalah bagian dari dunia dongeng dengan akhir yang selalu menyenangkan tersebut. Memiliki Mas Pram, suami yang dengannya, ia berkaca pada kejujuran dan tulusnya cinta. Anak-anak yang cerdas, keluarga yang hangat, teman-teman yang peduli, karir kepenulisan… Arini merasa dunia dalam imajinasinya begitu sempurna. Dongeng telah membuat masa kecilnya indah dan kaya. Meski di satu sisi, juga membuat hidupnya berlompatan dari satu dunia ajaib ke dunia ajaib yang lain. (halaman 9)

Berbeda dengan Mei Rose, perempuan yatim piatu yang karena bertubi kepahitan menderanya, dengan aroma karbol yang sengaja ditumpahkan di kamar mandi, tempat untuk mengurungnya. Juga perlakuan tidak mengenakkan lainnya dari satu-satunya saudara perempuan ibunya yang tersisa, A-ie, perempuan yang memegang kuasa atas diri, pikiran, dan nyawanya (halaman 19), membuat ia sekalipun tidak percaya dengan bualan dunia dongeng, sampai menyangsikan Sang Pencipta, “Aku tidak tahu apakah Tuhan memang ada. Sebab jika ada, maka tak bisa kubayangkan sekeras apa hati-Nya,”

Dua perempuan itu menjalani dunianya masing-masing. Arini masih berbahagia hingga kabar tentang Nyonya Prasetya baru membuat dunia dongengnya hancur berkeping-keping. Arini yang lembut dan santun bingung akan bersikap seperti apa terhadap perempuan yang telah membuat suaminya harus membangun istana kedua ini. Menjadikan surga yang dulu ia bangun bersama Pras dengan penuh kasih, membuat ia tak lagi merindukan surganya meski ia terus mengingat kalimat yang begitu dihafal teman-teman satu pengajiannya, “Perempuan-perempuan yang merelakan suaminya menikah lagi, dengan ikhlas, akan melewati jembatan shiratal mustaqim dengan kecepatan luar biasa,” kalimat yang berulang dipakai sebagai pengobat lara istri-istri yang dipoligami (halaman 111)

Mei Rose, setelah dunia mengacuhkannya, juga saat rekan sekantornya merampas ruang keperempuanannya dengan cara yang tidak pantas hingga meninggalkan benih dalam rahimnya, pada awalnya membuat gadis itu begitu terpuruk. Tapi kemudian, meski pahit, ia bangkit untuk membalas semua yang telah memperlakukannya dengan tidak baik selama ini.

Janin di rahimnya terus tumbuh sementara ia tidak bisa dengan seenaknya mengenyahkannya karena kondisinya yang sudah cukup besar, membuat ia nekat mengirim e-mail kepada banyak pria untuk menjadikannya istri, part time saja. Ia tidak perlu dinafkahi, tidak butuh kunjungan rutin, tidak butuh perhatian. Ia hanya butuh dijadikan istri kedua. (halaman 123)

Hingga pada saat e-mailnya berbalas, seorang lelaki terpelajar, santun dan taat beragama datang hingga membuat Mei Rose mengubah keyakinannya, pesta pernikahan pun direncanakan dengan begitu rapi. Tapi pada hari pernikahannya, karangan bunga yang terpajang ternyata bukan atas namanya, bukan pula atas nama lelaki yang beberapa minggu terakhir membuat sedikitnya ia mempercayai dunia dongeng. Ia yang terluka memilih melajukan mobilnya, menginjak pedal gas semakin dalam dan melepas kemudi dari tangannya di sebuah tikungan (halaman 170). Kejadian yang akhirnya mempertemukannya dengan Pras, lelaki, yang tanpa disadarinya, melembutkan hatinya hingga menjadikan Pras satu-satunya hal terbaik yang terjadi dalam hidupnya (halaman 287).

Novel 300 halaman ini mengupas tentang poligami dari sudut pandang wanita yang dipoligami, akan dipoligami dan khawatir tentang sunnah Nabi yang dijadikan pembenaran bagi para lelaki yang melakukannya, juga melalui sudut pandang si pelaku poligami dan lelaki-lelaki yang kontra dengan poligami dan lebih memilih setia pada istrinya, hingga ajal memisahkan.

Alasan-alasan pria melakukan poligami dijelaskan dalam dialog percakapan antara Pras dengan teman-temannya. “Mata laki-laki adalah mata yang setiap hari melihat pemandangan luar. Menatap yang indah-indah. Dan saat kembali ke rumah… saat kembali ke rumah, harus kecewa karena pandangannya tak menemukan apa yang diinginkan.” (halaman 36) mereka adalah orang-orang yang kecewa dengan pertambahan berat badan istrinya yang naik pasca melahirkan, juga kecewa terhadap istri yang tidak memperhatikan perawatan tubuh ketika usia pernikahan mereka beranjak menua.

Ada juga dalih ingin ‘menolong’, sekadar memenuhi tuntunan agama, upaya mengikuti sunnah Nabi, bahkan dengan alasan mendidik istrinya agar menjadi perempuan-perempuan yang dimudahkan mendapat surga. (halaman 266)

Tidak berbeda dengan para istri yang dipoligami, yang memutuskan bertahan dengan status pernikahannya meski mereka sudah diperlakukan tidak adil. “Sebab saya tidak bisa hidup tanpa dia, Rin. Ada anak-anak. Kasihan kalau mereka jauh dari bapaknya!”

“Aku nggak pernah kerja apa-apa, Rin. Apa jadinya kalau aku minta cerai dari Bambang?” (halaman 148).

Pada akhirnya, keputusan tidak saja hanya di pihak pria. Mereka tidak boleh memutuskannya dengan sepihak. Karena perjanjian berat yang dulu mereka ucapkan di saat akad, pasti kelak akan dimintai pertanggungjawaban meskipun poligami dipakai sebagai dalih pendewasaan. Sebab pada prakteknya, pasti aka nada secuil hati yang terluka.

Jika cinta bisa membuat seorang perempuan setia pada satu lelaki, kenapa cinta tidak cukup membuat lelaki bertahan dengan satu perempuan?

(dlt/hdn)

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Zulfa Rahmatina merupakan sarjana Psikologi. Asisten peneliti di Center for Islamic and Indigenous Psychology (CIIP) UMS (2015-2019), dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan sebagai pemimpin redaksi Majalah Pabelan (2017). Tulisan-tulisannya tergabung dalam buku-buku antologi yang diterbitkan oleh penerbit mayor maupun indie.

Lihat Juga

Empat Ciri Wanita Penghuni Surga

Figure
Organization