Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / “Kemenangan Islam”, Sejarah yang Akan Berulang

“Kemenangan Islam”, Sejarah yang Akan Berulang

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

islam tinggidakwatuna.com – “Sejarah akan berulang”, mungkin kalimat inilah yang selalu menjadi inspirasi bagi pendulang kisah-kisah kebaikan yang menginspirasi masa depan. Di sana, di tengah pusaran kisah-kisah fenomenal ada berbagai ibrah yang menjadi formulasi kerangka peradaban esok hari dengan pola fleksibilitas zaman.

Pengkajian sejarah dapat mengajarkan kita bagaimana bertindak dalam menghadapi situasi tertentu, inilah latar belakang munculnya istilah “historia magistra” (Sejarah adalah guru kehidupan). Pendapat ini dibela oleh Nicollo Machiavelli, ia menulis dalam bukunya tentang Livius, bahwa dengan membanding-bandingkan berbagai peristiwa dari masa silam serta masa yang baru saja lewat, maka kita dapat menimba ajaran-ajaran praktis. Sejarahlah yang mengajarkan nilai-nilai empiris sebagai perbandingan pengambilan kebijakan hidup umat manusia. Walaupun pada hakikatnya di setiap zaman, sejarah selalu memiliki kekhasan tersendiri, namun variabel dasar ibrah dari sejarah inilah yang tidak pernah mengalami dinamisasi.

Seperti halnya perdebatan mengenai korelasi antara sejarah dan ilmu pengetahuan. Sejarah atau ilmu pengetahuankah yang pertama kali lahir? Tentunya ini menjadi analisis setiap mazhab, yang terkadang sesuai dengan seleranya masing-masing. Namun penulis hanya mencoba menarik benang merah betapa pentingnya sejarah umat terdahulu sebagai pencetus terlahirnya berbagai ilmu pengetahuan di masa mendatang. Orang-orang yang mencintai sejarah, akan menemukan makna terdalam dari sebuah kehidupan di masa silam. Minimal ia memiliki nalar ilmiah sebab akibat terjadinya dinamika kehidupan umat manusia di setiap zaman.

Demikian juga, Islam merupakan dien yang selalu mendidik umatnya untuk tidak pernah melupakan sejarah. Setiap lembar kisah-kisah dalam al-Huda, memiliki makna tertentu sebagai pondasi gerak kaum muslimin. Refleksi dari kisah-kisah tersebut, selain mengajarkan rel-rel hidup (syariat) sebagai Abdullah dan makhluk sosial (interaksi vertikal dan horizontal) juga menjadi bisyarah (kabar gembira) tentang janji-janji Sang Khalik mengenai pengulangan sejarah atau bahkan visi Rabbaniyah yang harus dicapai oleh umat Islam.

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi mereka yang mempunyai akal. Al-Quran itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, tetapi membenarkan (kitab-kitab) yang sebelumnya dan menjelaskan segala sesuatu, dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang-orang yang beriman (QS. Yusuf : 111)

Syaikhul Tarbiyah Ustadz Rahmat Abdullah mengomentari ayat ini sebagai wasilah memahami sejarah atau fiqhus sirah. Dari ayat itu nyata bahwa Rasulullah, kisah-kisah yang Allah ungkapkan itu memiliki fungsi yang besar, di antaranya “Ma nutsabbitu bihi fuadak” (Apa yang dengannya kami perkuat hatimu). Sebagai pewaris Rasul, mestinya para ulama pun mendapatkan tsabit dan tsabat dalam mempelajari sirah. Sehingga dengan sendirinya mereka berjalan dalam kehidupan dunia ini memahami ma’alim (rambu-rambunya) yang jelas. Bila tidak, berarti ada yang konslet. Demikian ungkapan beliau dalam Manhaj Haraki miliknya Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban.

Salah satu Kisah yang sangat inspiratif tentang pengulangan sejarah dan visi kemenangan yang dicapai kaum muslim terdapat dalam Futuhat Konstantinopel. Sang Penakluk al-Fatih, seorang pemuda yang memiliki percaya diri tinggi ketika memaknai bisyarah penaklukan konstantinopel yang digambarkan si penakluk sebagai sebaik-baik pemimpin dan sebaik-baik prajurit. Oleh sebab itu, terkadang para dai juga harus memiliki keyakinan tinggi, bahwa di tangannyalah kemenangan demi kemenangan akan diraih tanpa memperbandingkan waktu, tempat maupun fenomena umatnya.

Muhammad al Fatih, meyakini di pundaknyalah konstantinopel akan dibebaskan. Penulis menemukan dua hikmah besar mengenai sejarah ini. pertama, Al-Fatih memahami hadits bisyarah penaklukan konstantinopel sebagai pembuktian janji Allah yang harus direalisasikan. Keimanan al-Fatih yang membawa azzamnya berpikir di luar kebiasaan. Al-Fatih meyakini, Sang Khalik tidak pernah mengingkari janji-Nya dan senantiasa membersamai pengembannya. Kedua, kisah Rasulullah menjadi ma’alim proses futuhat ini. Ia terinspirasi dari kisah fathu Mekah, dan estafet perjuangan Rasul mengemban misinya. Sehingga terlihat ada beberapa kisah selama persiapan futuhat, seperti beliau yang melanjutkan kesepakatan damai dengan Hungaria dan Konstantinopel serta menyetujui hampir setiap permintaan Negara-negara Kristen Eropa sehingga mereka pulang dengan kegembiraan dan anggapan bahwa Muhammad al-Fatih bukanlah ancaman.

Strategi ini mengacu pada siasat Rasulullah dalam Fathu Mekah setelah sebelumnya didahului oleh Perjanjian Hudaibiyah dan Perang Khaibar. Al-Fatih meniru seluruh perbuatan Rasulullah untuk berdamai dengan Eropa sementara memusatkan perhatiannya kepada Byzantium dengan Konstantinopel, tulis Felix Siauw dalam bukunya Muhammad Al-Fatih. Dalam konstelasi politik, tentunya ada kebijakan yang harus diambil demi terjaga dan lancarnya agenda-agenda dakwah Islam. Sehingga apa yang diajarkan Rasulullah, menjadi rambu-rambu Muhammad Al-Fatih dalam melancarkan misi penaklukannya.

Demikian juga dengan janji Allah mengenai pengulangan sejarah kemenangan Islam yang telah digariskan dalam Al-Quran dan Hadits. Pencarian ibrah dari kisah Al-Fatih ketika menaklukkan konstantinopel dan Muhammad SAW ketika membebaskan Kota Mekah, menjadi motivasi besar kita sebagai umat Islam dengan kabar gembira kemenangan Islam di akhir zaman sekaligus menjadi ma’alim dalam proses menyongsong kemenangan ini.

Menurut penulis, minimal ada tiga syarat yang harus dimiliki umat Islam dalam menyongsong bisyarah ini.

Pertama, sejarah kemenangan Islam merupakan pelajaran bagi umat Islam. Ukiran-ukiran sejarah menyadarkan kita bahwa dien ini merupakan peradaban besar yang syamil mutakamil, sehingga bukan hanya dicintai oleh umat Islam tapi menjadi rahmat untuk seluruh alam.

Namun kita juga harus paham benar dengan nilai pembelajaran sejarah yang bisa jadi hanya menjadi romantisme belaka sebagai bumbu cerita sebelum tidur, ketika umat Islam hanya bangga dengan kisah kemenangan tanpa mau menjadi bagian pencapaian pengulangan sejarah di masa dan tempat yang berbeda.

Kedua, janji Allah adalah pasti. Pengulangan sejarah kemenangan Islam, menjadi visi Rabbaniyah yang mustahil diingkari-Nya. Dan umat Islamlah yang akan menjalankan misi cita-cita ini, mengambil bagian untuk berjuang merupakan proses yang harus dijalani dengan sabar dan penuh ketaatan. Karena jumlah penyeru pastilah minoritas dari jumlah yang diseru, inilah sunnatullah-Nya.

Ketiga, bisyarah kemenangan Islam merupakan kepastian. Namun, proses mencapainya merupakan ranah ijtihadiyah yang pastinya memiliki perbedaan di setiap kelompok penyerunya. Kita harus menyadari, pasca keruntuhan Turki Utsmani banyak harakah-harakah Islam yang berupaya menyongsong pengulangan sejarah ini dengan metode yang variatif, namun memiliki landasan dan dalil yang rajih. Oleh sebab itu, tidak perlu saling mendiskreditkan. Karena mimpi kita sama menegakkan supremasi kedaulatan iman, hanya saja tafsir ma’alimnya saja yang berbeda.

Akhirnya, para kesatria Islam harus kembali mengokohkan barisan dengan kekuatan iman dan standar empiris yang mengokohkan ilmu pengetahuan Ilahiyah. Totalitas merupakan syarat berikutnya dan tentunya jangan melupakan sejarah (Jas Merah).

Wallahu’alam.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa Fak. Syariah IAIN Raden Fatah Palembang. Aktif di beberapa orrganisasi, sekaligus menekuni bidang kepenulisan dan wirausaha.

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization