Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Hadits / Syarah Hadits / Syarah Bulughul Maram Hadits No. 1378: Tentang Nadzar

Syarah Bulughul Maram Hadits No. 1378: Tentang Nadzar

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

وَعَنْ ثَابِتِ بْنِ اَلضَّحَّاكِ – رضي الله عنه – قَالَ: – نَذَرَ رَجُلٌ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – أَنْ يَنْحَرَ إِبِلاً بِبُوَانَةَ, فَأَتَى رَسُولَ اَللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَسَأَلَهُ: فَقَالَ: هَلْ كَانَ فِيهَا وَثَنٌ يُعْبَدُ ?  قَالَ: لَا. قَالَ: فَهَلْ كَانَ فِيهَا عِيدٌ مِنْ أَعْيَادِهِمْ ? فَقَالَ: لَا. فَقَالَ: أَوْفِ بِنَذْرِكَ; فَإِنَّهُ لَا وَفَاءَ لِنَذْرٍ فِي مَعْصِيَةِ اَللَّهِ, وَلَا فِي قَطِيعَةِ رَحِمٍ, وَلَا فِيمَا لَا يَمْلِكُ اِبْنُ آدَمَ – رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ, وَالطَّبَرَانِيُّ وَاللَّفْظُ لَهُ, وَهُوَ صَحِيحُ اَلْإِسْنَادِ.

Ilustrasi (farm4.static.flickr.com)
Ilustrasi (farm4.static.flickr.com)

dakwatuna.com – Dari Tsabit bin Adh-Dhahak Radhiallahu ‘Anhu, katanya: Pada zaman Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ada seorang laki-laki yang bernadzar bahwa dia akan berqurban Unta di Buwanah. Lalu dia mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, lalu nabi pun bertanya kepadanya: “Apakah di sana ada berhala yang disembah?” Beliau menjawab: ” Tidak.” Nabi bertanya lagi: “Apakah di sana dirayakah salah satu hari raya mereka?” Beliau menjawab: “Tidak.” Lalu nabi bersabda: “Penuhilah nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh memenuhi nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah, nadzar untuk memutuskan silaturahim, dan tidak pula nadzar pada harta yang tidak dimiliki manusia.” (HR. Abu Daud, Ath-Thabarani dan ini adalah lafaz baginya, isnadnya shahih)

Takhrij hadits:

Dengan lafaz seperti di atas, hadits ini dikeluarkan oleh:

  • Imam Abu Daud dalam Sunannya, Bab Maa Yu’maru bihi minal Wafa’ bi An-Nadzri No. 3313
  • Imam Ath Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabir No. 1341
  • Imam Al-Baihaqi, As-Sunan Ash Shaghir No. 3223
  • Dengan lafaz yang lebih ringkas, hanya sampai kalimat: “Penuhilah nadzarmu!”
  • Imam Ibnu Majah dalam Sunannya, Bab Al-Wafa’ bi An-Nadzr No. 2130
  • Imam Ahmad dalam Musnadnya No. 27066, dan lainnya.

Derajat hadits:

Hadits ini dinilai SHAHIH oleh:

  • Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dalam kitab Bulughul Maram ini. Dalam kitabnya lain Beliau juga menyebut keshahihan hadits ini. (Lihat At Talkhish Al-Habir, 4/439. Cet. 1. 1989M/1419H. Darul Kutub Al-‘Ilmiyah)
  • Imam Ibnu Abdil Hadi Al-Hambali mengatakan hasan shahih. (Lihat Ash Sharim Al-Munki fir Raddi As-Subki, Hal. 309. Cet. 1, 2003M/1424H. Muasasah Ar Rayyan, Beirut, Libanon). Dalam kitabnya yang lain beliau mengatakan: “Para perawi hadits ini adalah perawi hadits Shahihain (Bukhari-Muslim). (Lihat Al-Muharrar fil Hadits, 1/435-436. Cet. 3. 2000M/1421H. Darul Ma’rifah, Beirut. Libanon)
  • Imam Ibnul Mulqin mengatakan: “Hadits ini shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih, seluruh perawinya adalah perawi Bukhari dan Muslim, dan mereka telah disepakati keadilannya.” (Lihat Al-Badrul Munir, 9/518. Cet. 1. 2004M/1425H. Darul Hijrah, Riyadh. KSA)

Ta’rif (definisi)

Secara bahasa (etimologi) nadzar adalah An-Nahbu (النَّحْبُ) yaitu meratap. Para ahli bahasa menjelaskan:

وهو ما ينذره الإنسان فيجعله على نفسه نحبا واجبا

Yaitu sesuatu yang diperingatkan oleh manusia, lalu dia menjadikan atas dirinya itu menjadi kewajiban. (AlMausu’ah, 40/126)

Secara istilah (terminologi), Syaikh Abu Bakar bin Jabir Al-Jazairi menjelaskan:

الزام المسلم نفسه طاعة لله تعالى لم تلزمه بدونه – أى النذر – كأن يقول : لله علي صيام يوم أو صلاة ركعتين مثلا

Seorang muslim mewajibkan sesuatu pada dirinya karena ingin ketaatan kepada Allah Taala, di mana tanpa hal itu –yaitu nadzar- dia tidak melakukan hal itu. Seperti perkataannya: “Demi Allah Taala, wajib bagiku shaum dalam sehari, atau shalat dua rakaat.” (Lihat Minhajul Muslim, Hal. 394. Darus Salam)

Hukumnya

Nadzar ada beberapa hukum tergantung keadaannya:

  1. Nadzar Muthlaq

Yaitu nadzar yang didasari ketaatan kepada Allah Taala semata, maka ini diperbolehkan. Seperti seseorang yang berinisiatif untuk melakukan shalat, i’tikaf, shaum, dan kebaikan lainnya yang berfungsi untuk qurbah (mendekatkan diri kepada Allah). Hanafiyah mengkategorikan nadzar dengan qurbah adalah hal yang disyariatkan (masyru’). Bahkan kalangan Malikiyah mengkategorikannya mustahab (disukai/sunah). Berikut ini keterangannya:

وذهب المالكية إلى أن النذر المطلق – وهو الذي يوجبه المرء على نفسه شكرا لله على ما كان ومضى – مستحب

Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa nadzar muthlaq (yaitu seseorang mewajibkan dirinya disebabkan rasa syukur kepada Allah atas apa yang sedang terjadi dan telah lalu) adalah mustahab (sunah). (Al-Mausu’ah, 40/138)

  1. Nadzar Muqayyad

Yaitu seorang yang bernadzar disebabkan karena terikat oleh suatu keadaan atau keinginan tertentu. Nadzar seperti ini makruh, sebab seolah dia baru ingin mendekatkan diri kepada Allah Taala dengan amal shalih itu, jika keinginannya terpenuhi dulu. Jelas sekali kesan dia bakhil terhadap amal shalih. Seperti ungkapan: “Saya akan shaum dua hari, jika anak saya lulus ujian sekolah.” Ucapan ini mengandung makna bahwa dia tidak akan shaum jika ternyata anaknya tidak lulus. Jadi, ibadah yang dilakukannya bukan karena Allah Taala, tapi jika keinginannya terpenuhi dulu.

Inilah yang disindir oleh riwayat dari Ibnu Umar berikut:

عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ نَهَى عَنِ النَّذْرِ، وَقَالَ: «إِنَّهُ لَا يَأْتِي بِخَيْرٍ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ»

Dari Nabi Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa Beliau melarang bernadzar, Beliau bersabda: “Nadzar itu tidaklah mendatangkan kebaikan, itu hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil.” (HR. Muslim No. 1639)

Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi mengatakan:

و يكره النذز المقيد كأن يقول : ان شفا الله مريضى صمت كذا او تصدقت بكذا

Dimakruhkan nadzar muqayyad, seperti ucapan: “Jika Allah sembuhkan penyakitku aku akan puasa sekian, atau aku akan sedekah sekian. (Minhajul Muslim, Hal. 394)

Namun demikian, baik nadzar muthlaq dan muqayyad, keduanya wajib dipenuhi jika sudah direncanakan oleh seseorang dan jelas nadzarnya.

  • Nadzar yang diharamkan

 

Keharamannya disebabkan oleh dua faktor, atau salah satunya.

Pertama, orientasi dan tujuannya bukan karena Allah Taala, bukan karena mentaati-Nya, bukan pula bersyukur kepada-Nya, bukan juga untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Seperti bernadzar untuk mendekatkan diri kepada ruh nenek moyang, untuk mengabdi kepada penghuni kubur, dan semisalnya. Misalnya perkataan seseorang kepada orang shalih yang sudah wafat: “Wahai Tuan Guru, jika penyakitku sembuh aku akan menyembelih kambing di kuburmu.”

Ini terlarang bahkan dosa besar, sebab mengarahkan peribadatan kepada selain Allah Taala, yang membuat pelakunya jatuh pada kubangan kesyirikan.

Berkata Syaikh Hasan Al-Banna Rahimahullah:

وزيارة القبور أيا كانت سنة مشروعة بالكيفية المأثورة , ولكن الاستعانة بالمقبورين أيا كانوا ونداؤهم لذلك وطلب قضاء الحاجات منهم عن قرب أو بعد والنذر لهم وتشيد القبور وسترها وأضاءتها والتمسح بها والحلف بغير الله وما يلحق بذلك من المبتدعات كبائر تجب محاربتها , ولا نتأول لهذه الأعمال سدا للذريعة

Berziarah kubur, siapa pun itu, adalah sunah yang disyariatkan dengan cara-cara yang sesuai tuntunan. Tetapi meminta pertolongan kepada penghuni kubur, siapa pun itu, dan memanggil-manggil mereka untuk tujuan memenuhi kebutuhannya, baik dari dekat atau dari jauh, nadzar untuk mereka, meninggikan kuburan, membuat penutup, memberikan penerangan, mengusap-usapnya, dan bersumpah dengan selain nama Allah, dan hal-hal lain yang terkait dengan ini, semuanya termasuk bid’ah besar yang wajib untuk diperangi, dan perbuatan ini janganlah dicari-cari pembenarannya agar tidak terjadi sesuatu yang lebih parah lagi. (Ushul ‘Isyrin No. 14)

Hal di atas berbeda maksud dengan menjalankan nadzarnya orang yang sudah wafat. Jika seorang muslim bernadzar, lalu dia wafat dalam keadaan belum sempat menjalankan nadzarnya, dan dia pun tidak pernah membatalkannya, maka wajib bagi ahli warisnya menjalankan nadzarnya itu. Hal ini sesuai hadits berikut:

أَنَّ سَعْدَ بْنَ عُبَادَةَ، اسْتَفْتَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا نَذْرٌ لَمْ تَقْضِهِ؟ فَقَالَ: رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اقْضِهِ عَنْهَا

Bahwa Sa’ad bin ‘Ubadah meminta fatwa kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, katanya: “Ibuku telah wafat, dan dia memiliki nadzar yang belum dijalankan?” Maka Rasulullah Shallalahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Penuhi nadzarnya!” (HR. Abu Daud No. 3308. An-Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra No. 3732, Ath-Thabarani, Al-Mu’jam Al-Kabir No. 5371. Imam Al-Baghawi mengatakan: hadits ini disepakati keshahihannya. Lihat Syarhus Sunnah, 10/38)

Imam Muhammad bin Al-Hasan Rahimahullah mengatakan, sebagaimana dikutip Imam Malik Rahimahullah:

مَا كَانَ مِنْ نَذْرٍ، أَوْ صَدَقَةٍ، أَوْ حَجٍّ قَضَاهَا عَنْهَا أَجْزَأَ ذَلِكَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى: وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ، وَالْعَامَّةِ مِنْ فُقَهَائِنَا رَحِمَهُمُ اللَّهُ تَعَالَى

Apa saja yang berupa nadzar, atau sedekah, atau haji, yang dijalankan untuk wanita itu maka itu akan mendapatkan ganjaran Insya Allah. Inilah pendapat Abu Hanifah dan umumnya ahli fiqih kami, semoga Allah merahmati mereka semua. (Imam Malik, Al-Muwaththa’, dari riwayat Muhammad bin Al-Hasan, No. 750)

Kedua, keharaman di sisi amalnya ketika nadzar. Seperti bernadzar dengan maksiat kepada Allah Taala, walau si pelakunya benar dari sisi tujuannya. Dia menyangka dengan cara itu bisa semakin dekat kepada Allah Taala, atau dia bernadzar dengan sesuatu yang membahayakan dirinya, hartanya, dan keluarganya. Ini juga terlarang, sebab nadzar hanya disyariatkan dengan yang baik-baik dan bernilai ibadah seperti yang diterangkan dalam hadits yang kita bahas: “Penuhilah nadzarmu, sesungguhnya tidak boleh memenuhi nadzar yang mengandung maksiat kepada Allah, nadzar untuk memutuskan silaturahim, dan tidak pula nadzar pada harta yang tidak dimiliki manusia.”

Atau perkataan lainnya:

  • Jika aku lulus ujian, maka aku akan pesta pora sepekan penuh.
  • Jika aku sembuh aku akan minum khamar sekian botol.
  • Jika aku bisa hafal asmaul husna maka aku akan menjemur diriku selama tiga hari berturut-turut di siang hari.
  • dll

Kandungan dan Faedah Hadits

Hadits di atas mengandung beberapa pelajaran:

  1. Nadzar memang ada dalam aturan agama ini, pernah terjadi sejak masa jahiliyah dan masa Islam. Hadits ini terjadi pada masa Islam, masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Sedangkan pada masa jahiliyah, Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma bercerita tentang ayahnya:

أَنَّ عُمَرَ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنِّي نَذَرْتُ فِي الجَاهِلِيَّةِ أَنْ أَعْتَكِفَ لَيْلَةً فِي المَسْجِدِ الحَرَامِ، قَالَ: أَوْفِ بِنَذْرِكَ

Bahwasanya Umar Radhiallahu ‘Anhu berkata: “Wahai Rasulullah, aku pernah bernadzar pada masa jahiliyah untuk beri’tikaf malam hari di masjidil haram.” Beliau bersabda: “Penuhi nadzarmu!” (HR. Al-Bukhari No. 6697)

  • Nadzar terlarang jika di dalamnya mengandung unsur-unsur terlarang dalam agama, sebagaimana yang telah kami jelaskan dalam rincian hukumnya. Pertanyaan-pertanyaan nabi: “Apakah di sana ada berhala yang disembah?” “Apakah di sana dirayakan salah satu hari raya mereka?” menunjukkan bimbingan nabi kepada sahabatnya agar nadzarnya tidak dicampur unsur yang diharamkan Islam, baik cara, niat dan tujuan, bahkan tempatnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun menjelaskan secara rinci tidak boleh nadzar yang berisikan pemutusan silaturrahim dan menggunakan harta orang yang bukan menjadi miliknya.

 

  1. Nadzar hanya boleh dengan perkara yang baik dan ibadah, hadits ini menyontohkan dengan An-nahru (penyembelihan qurban). Contohnya tentu banyak, seperti shaum, sedekah, shalat sunah, dan sebagainya.
  2. Sebaiknya nadzar dengan yang mudah dan mungkin dilaksanakan seperti menyembelih qurban, hindari dengan yang berat dan menyulitkan, tetapi jika dia merasa mampu menjalankannya silakan saja.
  3. Hal ini sesuai riwayat berikut:

وَعَنْ جَابِرٍ – رضي الله عنه – – أَنَّ رَجُلاً قَالَ يَوْمَ اَلْفَتْحِ: يَا رَسُولَ اَللَّهِ! إِنِّي نَذَرْتُ إِنْ فَتَحَ اَللَّهُ عَلَيْكَ مَكَّةَ أَنْ أُصَلِّيَ فِي بَيْتِ اَلْمَقْدِسِ, فَقَالَ: “صَلِّ هَا هُنَا” . فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: صَلِّ هَا هُنَا. فَسَأَلَهُ, فَقَالَ: شَأْنُكَ إِذًا – رَوَاهُ أَحْمَدُ, أَبُو دَاوُدَ, وَصَحَّحَهُ اَلْحَاكِمُ

Dari Jabir Radhiallahu ‘Anhu, bahwa ada seorang laki-laki berkata pada hari Fathul Makkah: “Wahai Rasulullah, aku telah bernadzar jika Allah menaklukkan kota Mekah untukmu, aku akan shalat di Baitul Maqdis (Masjidil Aqsha).” Nabi bersabda: “Shalat di sini saja.” Orang itu meminta lagi. Nabi menjawab: “Shalat di sini saja.” Orang itu masih meminta lagi. Maka Nabi menjawab: “Kalau begitu terserah kamu.” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan dishahihkan oleh Al-Hakim)

Jika akhirnya tidak mampu melaksanakan nadzarnya, dia boleh membatalkan nadzarnya dengan melakukan Kafarat Nadzar sebagaimana kafarat sumpah, sebagaimana hadits:

كَفَّارَةُ النَّذْرِ كَفَّارَةُ الْيَمِينِ

Kafarat nadzar itu sama dengan kafarat sumpah. (HR. Muslim No. 1645)

Bagaimana caranya?

  • Dengan memberikan makan kepada 10 fakir miskin masing-masing sebanyak satu mud gandum (atau disesuaikan dengan makanan dan takaran masing-masing negeri), atau mengundang mereka semua dalam jamuan makan malam atau siang sampai mereka puas dan kenyang, dengan makanan yang biasa kita makan.
  • Atau memberikan pakaian yang sah untuk shalat, jika fakir miskin itu wanita, maka mesti dengan kerudungnya juga.
  • Atau memerdekakan seorang budak
  • Jika semua tidak sanggup, maka shaum selama tiga hari, boleh berturut-turut atau tidak.
  • Ketetapan ini sesuai firman Allah Taala sebagai berikut:

Maka kafarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kafaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). (Al-Maidah: 89)

Kafarat ini bukan hanya bagi orang yang tidak sanggup menjalankan nadzarnya, tetapi juga bagi orang yang masih bingung menentukan nadzarnya mau ngapain lalu dia putuskan membatalkannya, juga bagi yang nadzar dengan maksiat.

Hal ini sebagaimana hadits berikut dari Ibnu Abbas secara marfu’:

مَنْ نَذَرَ نَذْرًا لَمْ يُسَمِّهِ، فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا فِي مَعْصِيَةٍ، فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا لَا يُطِيقُهُ فَكَفَّارَتُهُ كَفَّارَةُ يَمِينٍ، وَمَنْ نَذَرَ نَذْرًا أَطَاقَهُ فَلْيَفِ بِهِ

Barang siapa yang bernadzar dan dia belum tentukan, maka kafaratnya sama dengan kafarat sumpah. Barang siapa yang bernadzar dalam hal maksiat, maka kafaratnya sama dengan kafarat sumpah, dan barang siapa yang nadzar dengan hal yang dia tidak sanggup maka kafaratnya sama dengan kafarat sumpah, dan siapa yang nadzarnya dengan sesuatu yang dia mampu, maka hendaknya dia penuhi nadzarnya. (HR. Abu Daud No. 3322. Hadits ini didhaifkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 3322. Sementara Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Bulughul Maram: “Isnadnya shahih, hanya saja para huffazh lebih menguatkan bahwa ini hanyalah mauquf.” Mauquf maksudnya terhenti sebagai ucapan sahabat nabi saja, yakni Ibnu Abbas, bukan marfu’ /ucapan nabi. ) Wallahu a’lam. (usb/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 1.00 out of 5)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Menyibak Rahasia Kesuksesan Ala Hadits Nabi tentang Pentingnya Ilmu, Ulama, dan Adab

Figure
Organization