Topic
Home / Berita / Internasional / Asia / Revisi Statuta Roma 1998 Solusi Perdamaian Dunia

Revisi Statuta Roma 1998 Solusi Perdamaian Dunia

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Diskusi Dengan Prof. Romli Atmasasmita, SH
Diskusi Dengan Prof. Romli Atmasasmita, SH

dakwatuna.com – (18/09/14) Dalam rentang waktu semenjak Konvensi Genosida disahkan yaitu pada tahun 1948 yang merupakan aturan paling pertama yang mengatur mengenai genosida sampai pada tahun 1998 semua Peradilan tingkat Internasional dilakukan secara Ad hoc atau sementara, di antaranya Mahkamah Nuremberg, Mahkamah Tokyo, International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY), International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) dan beberapa peradilan Ad hoc lainya; karena sifatnya yang Ad Hoc dirasakan kurang efesien dan efektif karena kepastian hukum dari Peradilan yang bersifat Ad Hoc ini sangat rentan karena sifatnya yang sementara. Statuta Roma 1998 menjadi dasar terbentuknya lembaga peradilan untuk mengadili penjahat kemanusiaan yang bersifat permanen yakni International Criminal Court (ICC).

Yurisdiksi dari ICC mencakup Tindak pidana Genosida, Tindak Pidana Kemanusiaan, Tindak pidana perang/kejahatan perang dan Agresi; dimana dalam Pasal 4 ayat (2) statuta Roma 1998 dikatakan Mahkamah dapat melaksanakan fungsi dan kekuasaan sebagaimana ditentukan dalam Statuta ini di wilayah Negara Peserta dan juga wilayah negara lainya melalui persetujuan khusus. Dari pasal tersebut jelas kewenangan dari ICC meliputi seluruh negara baik yang terlibat yaitu negara peserta maupun bukan negara peserta berdasarkan persetujuan yang diatur tersendiri.

Prof. Romli Artasasmita, pakar hukum pidana internasional dalam diskusi dengan Pusat Advokasi Hukum dan Hak Asasi Manusia (PAHAM) Indonesia menyampaikan bahwa ‘keberlakuan’ dari pada Statuta Roma 1998 agar ditinjau ulang artinya ada telaah kritis atas keberadaan ICC yang selama ini dirasa tidak efektif karena ada Pasal 16 di dalam statuta yang menghambat eksistensi ICC itu sendiri; dimana peran Dewan Keamanan PBB membonsai kewenangan dari ICC, maka sudah selayaknya pasal 16 Statuta Roma dicabut.

Selama ini apabila dugaan pelanggaran menyangkut mitra dari negara-negara yang masuk dalam Dewan Keamanan PBB maka akan dengan mudah dimentahkan di Dewan Keamanan PBB; oleh karenanya sangat politis sekali apabila pengambil kebijakan atas kejahatan kemanusiaan diambil dalam Dewan Keamanan PBB; Prof Romli menegaskan keberadaan ICC sejatinya mandiri namun dalam praktiknya saat ini berada di bawah PBB yang seharusnya sejajar dengan PBB.

Sylviani Abdul Hamdi, Sekjen PAHAM Indonesia yang turut hadir dalam diskusi menyatakan penjahat kemanusian seperti Israel tidak serta merta dapat di bawa ke hadapan peradilan penjahat kemanusiaan; namun peran politik negara-negara anggota ICC dalam mewujudkan perdamaian dunia tanpa syarat adalah salah satu solusi yang tepat. Keberadaan ICC yang masih ketergantungan dengan PBB akan menyulitkan mengadili kejahatan Genosida yang dilakukan oleh Israel terhadap rakyat Palestina; ia menegaskan bahwa Israel sebagai penjahat kemanusiaan sampai saat ini sulit di bawa ke ICC karena ada campur tangan dari Amerika selaku anggota Dewan Keamanan PBB; Sylvi dan lembaganya akan mengkampanyekan Peradilan ICC atas kejahatan Genosida Israel terhadap rakyat Palestina ke beberapa negara yang telah meratifikasi Statuta Roma 1998. (nn/usb/dakwatuna)

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lihat Juga

Opick: Jangan Berhenti Bantu Rakyat Palestina!

Figure
Organization