Topic

Bapa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Bapa itulah panggilan kami anak-anaknya kepada beliau.

Tengil! Itulah gambaran orang-orang di sekitar ayahku tentang profil beliau. Tengil secara lughawi bisa berarti menyebalkan, menjengkelkan, bikin masalah, atau mengganggu. Ungkapan tengil ini adalah ucapan beliau sendiri saat saya minta gambaran sikap orang di sekelilingnya terhadap pribadi beliau.

Tsabat! Itulah gambaran diriku tentang ayahku. Tsabat bermakna teguh, kokoh, dan kuat pendirian. Ayah adalah orang yang tahu yang kumau. Memegang prinsip-prinsip hidupnya tanpa kompromi. Tanpa kompromi inilah barangkali yang menyebabkan orang menyebutnya tengil. Namun jangan salah, bahkan kepada anaknya pun beliau bisa tanpa kompromi bila itu menyangkut hal yang menurutnya prinsip. Kadang kesan otoriter itulah yang sering muncul. Bagaimanapun, aku belajar bahwa dalam hidup kadang ada saat kita tidak bisa lagi berkompromi tentang sebuah prinsip.

Bapa dibesarkan yatim di usia 9 tahunan. Ayahnya seorang mantri hewan pada jaman Belanda hingga awal kemerdekaan. Kondisi yatim sempat menghalanginya untuk bersekolah. Namun dengan lika-liku penderitaan hidup yang luar biasa toh beliau nyaris bisa kuliah. Mungkin itu sebabnya beliau begitu gigih dan bersemangat agar keenam putranya lulus kuliah. Hari esok harus lebih baik dari hari ini. Alhamdulillah semuanya lulus perguruan tinggi negeri terkemuka di negeri ini. Di titik ini aku tahu bahwa perbaikan harus dimulai dari diri kita dan butuh kegigihan untuk mewujudkannya.

Dulu Bapa nyaris tidak pernah tersenyum atau tertawa. Kuanggap itu adalah warisan masa lalu beliau yang keras. Namun hari ini di usianya yang kian senja senyum dan tawa nampak lebih mudah terpancar saat mendapat kebahagiaan. Mengubah karakter manusia tidak mudah namun tidak ada manusia yang sama sekali tidak mengalami perubahan.

Bapa nyaris tidak pernah kulihat menangis. Tangis atau tepatnya air matanya sempat terurai saat beliau menjabat sebagai kepala kredit pensiun. Beliau melihat anak buahnya ada yang meminta jasa kepada para pensiunan yang kreditnya dikabulkan. Beliau marah dan menegaskan kepada karyawan dan nasabahnya bahwa selagi beliau menjabat tidak ada pungutan di luar ketentuan resmi. Karena itulah sebagian anak buahnya menganggapnya tengil. Empati, memberi, dan membela harus lebih dicintai daripada menerima dan meminta.

Bapa adalah lelaki yang diidamkan ibuku. Semasa gadis ibuku berdoa agar mendapatkan suami seorang pria yang rajin shalat dan memiliki sebuah motor. Bapa memang tidak romantis. Tapi beliau sangat peduli dengan shalatnya dan shalat keluarganya. Dari usia 40 tahun shalat tahajud hampir tak pernah bolong hingga usianya kini yang menginjak 74 tahun. Oh, ya motor? Bapa sudah punya motor dinas saat menikah dan baru di sekitar masa pensiun beliau membeli mobil. Tawazun! Kadang aku lupa bagaimana caranya mendapatkan dunia dan akhirat secara bersamaan.

Dua macam investasi yang Bapa kembangkan. Anak yang shalih dan harta yang bermanfaat. Saat melihat kami kagum dengan tanahnya yang cukup banyak beliau berkata: ”Saya tidak bermaksud mengumpul-ngumpul harta untuk kalian perebutkan sebagai warisan, namun siapapun di antara kalian yang ingin bersekolah dan menempuh pendidikan setinggi apapun, saya akan biayai dengan harta saya.” Benar kata para salafushalih warisan yang takkan lekang oleh masa d an lapuk oleh waktu adalah ilmu.

Bapa sangat mengagumi atasannya yang kata orang tengil. Beliau kagum dengan kesederhanaannya, kecerdasannya, dan selalu taat aturan. Selama kepemimpinan beliau Bapa bekerja dengan bahagia. Karena kantornya minim praktik korupsi, pungli dan manipulasi. Saya mengerti bahwa kadang kebenaran dan kebaikan bukan keinginan sebagian besar manusia, tapi Allah pasti memberikan khalil dan sahabat saat kita menegakan kebenaran dan kebaikan.

Selepas pensiun, Bapa terpilih menjadi anggota DPRD. Aku kaget ketika ternyata ada orang-orang yang menitipkan aspirasinya pada beliau. Minimnya sikap ramah, tanpa kompromi dan sangat apa adanya sempat membuatku ragu. Toh 15 tahun periode yang beliau jalani membuktikan ada manfaat yang masyarakat rasakan dari kiprahnya selama ini. Seingatku hampir seluruh uang yang diterima sebagai anggota dewan beliau gunakan untuk membantu konstituennya, beliau sendiri merasa cukup dengan uang pensiun dari kantor sebelumnya.

Bagian terberat dari merenungkan perjalanan hidup beliau adalah menjadi manusia yang lebih bermanfaat bagi umat di banding beliau. Agar generasi ini, lebih baik dari yang lalu, dan yang esok lebih baik dari generasi hari ini.

Rabbighfirllii waliwaalidayya warhamhumaa kamaa robbayaanii shogiiroo.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir di Sukabumi, Menyukai membaca, menulis dan bercerita. Mengajar sebagai guru di Sekolah Penghafal Al-Quran di Lebak Bulus.

Lihat Juga

Pantaskah untuk Menyakitinya?

Figure
Organization