Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Esensi dan Makna Sebuah “Tawakal”

Esensi dan Makna Sebuah “Tawakal”

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Kata tawakal dalam bahasa Indonesia sebenarnya berasal dari bahasa asing yaitu bahasa Arab, asal katanya adalah dari padanan “Tawakkala-Yatawakkalu-Tawakkulan” yang artinya adalah pasrah atau berserah diri dan kata-kata ini berhubungan dengan perbuatan seseorang yang terjadi di masa lampau atau yang sedang dilakukan dan yang akan dilakukan di masa mendatang.

Sebagai contoh:

Katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku”. kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (Az Zumar: 38)

Adapun subjeknya disebut dengan “Mutawakkil” artinya orang yang senantiasa berserah diri atau pasrah. Seperti contoh pada ayat di atas:

kepada- Nyalah bertawakkal orang-orang yang berserah diri. (Az Zumar: 38)

Jika menjadi kata perintah maka akan berubah menjadi “Tawakkal” dengan mematikan harakat di akhir atau menjadikannya sukun dalam kaidah tajwid dan mempunyai arti dalam bahasa Indonesia “Bertawakalah Anda” dicontohkan dalam firman Allah Ta’ala di surat Al Ahzab ayat 3.

dan bertawakkallah (anda) kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai Pemelihara.”

Ditambahkan di ayat lainnya:

Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah (anda) kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (Ali-Imran: 159)

Sifat tawakal sendiri adalah ciri daripada orang-orang yang beriman, orang yang bertawakal pasti beriman dan orang beriman pasti bertawakal, kedua-duanya tidak dapat dipisahkan seperti anggota tubuh manusia yang saling berhubungan satu sama lainnya.

Di antara sifat orang yang bertawakal yaitu mereka yang berdoa kepada Tuhan semesta alam dengan penuh pengharapan akan rahmat-Nya dan dengan suara yang merendah.

Mengapa kami tidak akan bertawakkal kepada Allah padahal Dia telah menunjukkan jalan kepada kami. (Ibrahim: 12)

Dengan berserah diri kepada Allah Ta’ala atau menyerahkan semua urusan kepada-Nya bukan serta merta melepas kerasionalan atau nalar kita sebagai makhluk yang dikaruniakan akal dan pikiran, karena Islam menunjukkan jalan kepada manusia untuk menjadi pribadi-pribadi yang peka akan isu-isu yang terjadi di sekitarnya dan cerdas dalam mengambil sikap dan keputusan.

Sebagai contoh ada seorang pemuda yang sedang melakukan perjalanan jauh dengan menggunakan sepeda motor, lalu dia berhenti sejenak untuk menunaikan ibadah shalat di sebuah tempat yang asing baginya sambil memarkirkan motornya dengan memberikan pengamanan lebih seperti memasang kunci otomatis pada stang atau ban motornya.

Di tengah shalat tiba-tiba motor itu diakali oleh sekawanan pencuri dan dibawalah motornya, sang pemuda yang mengetahui kejadian tersebut langsung membatalkan shalatnya sambil mengejar kendaraan miliknya yang dibawa kabur oleh pencuri.

Dan akhirnya motor yang dicuri tersebut berhasil direbut kembali dengan kegigihan pemuda dan sebagian masyarakat yang membantunya melakukan pengejaran terhadap kawanan pencuri kendaraan bermotor sekalipun para pencuri tersebut berhasil melarikan diri ke hutan.

Lalu berkatalah sebagian masyarakat yang awam kepadanya “kenapa kamu meninggalkan shalat dan lebih mengutamakan untuk mengejar motor milikmu’’ itukan hanyalah bersifat duniawi dan titipan Tuhan yang bisa saja hilang dengan mudah, toh rezeki itu tidak pergi kemana-mana dan tidak akan tertukar “begitu tambah mereka”.

“Saya hanya mengikuti metode Rasulullah yang tidak suka menyulitkan diri dan senang terhadap kemudahan” begitu jawab sang pemuda singkat.

Nah…..inilah pesan yang terkadung dari ilmu “Maqosid Syariah” yaitu salah satu disiplin ilmu yang mandiri dalam studi Islam, di satu sisi dia telah membatalkan shalatnya hanya karena mengejar motornya dan ingin mendapatkannya kembali, di sisi lain dia berpikir cerdas karena dengan mendapat kendaraan miliknya kembali dia bisa dengan tenang melanjutkan perjalanan yang masih jauh. Maka secara otomatis pesan-pesan maqosid pun terjaga dengan baik di antaranya:

  1. Menjaga akal dan pikiran (Tidak menjadi bebannya)
  2. Menjaga materi (Tidak kehilangan kendaraannya)
  3. Menjaga agama (bisa meneruskan shalatnya setelah mendapatkan motornya)
  4. Dan yang terpenting menjaga jiwa dan dirinya (terbebas dari keterlantaran di tengah jalan).

Bukankah ajaran Islam datang untuk memberikan maslahat atau manfaat kepada kita dengan memudahkan para pemeluknya dengan tidak melupakan tujuan hidup yaitu melakukan penyembahan mutlak kepada Allah Ta’ala dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.

Kedatangan ajaran Islam di muka bumi untuk dimengerti dan bertujuan mencerdaskan pola pikir masyarakat serta menyelamatkan manusia dari kemunduran dalam hal apapun, itu artinya Islam menolak segala jenis kerusakan dan kemunduran berpikir.

Hadist nabi:

“Agama itu mudah; agama yang disenangi Allah yang benar lagi mudah.”[1]

Artinya: “Mudahkanlah dan jangan mempersukar ” [2]

“…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (Al Hajj: 78).

Ditambahkan di surat At Taghaabun ayat 16:

Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu… ‘’

Kemudahan demi kemudahan dalam ajaran Islam sangatlah dianjurkan, maka pilihlah opsi yang termudah dari opsi-opsi yang ada, karena Rasulullah pun senang melakukannya dengan satu sarat yaitu kemudahan tersebut bukan pada hal yang berbau maksiat yang jelas menimbulkan dosa, contoh:

  1. Shalatnya seorang musafir, ada 2 opsi kemudahan yang ditawarkan oleh Islam kepada kita disaat bepergian jauh:
  • Opsi pertama kita bisa menggabungkan shalat (Zuhur dan Ashar tetap 4 rakaat “4 dan 4″ dalam waktu bersamaan).
  • Opsi kedua menggabung dan meringkasnya (Zuhur dan Ashar diringkas menjadi 2 rakaat “2 dan 2″ dalam waktu bersamaan).

Opsi manakah yang akan anda pilih ? (kami sarankan silahkan pilih yang termudah)

  1. Di saat kesulitan mengakses ilmu agama via belajar langsung ke Timur Tengah atau perguruan tinggi terkenal dibidangnya, kita tidak perlu khawatir karena ada opsi lain yang bisa menjadikan kita mengerti akan ilmu-ilmu keagamaan, diantaranya:
  • Dengan mendatangi majelis-majelis ilmu yang dihiasi oleh ustadz atau ustadzah yang keilmuannya tidak diragukan dan pakar di bidangnya.
  • Banyak bertanya kepada mereka tentang apa-apa yang kita tidak mengetahuinya
  • Bisa juga memanfaatkan kekinian dengan menyimak kajian via radio, online, youtube dan media lainnya atau membaca artikel-artikel dari situs Islam yang bisa dipertanggungjawabkan keilmuannya.

Contoh lain dari tawakal:

Seekor burung pergi di pagi hari dalam keadaan lapar dan bisa pulang dengan perut terisi makanan di sore harinya bahkan sambil membawa bekal untuk anak-anaknya, padahal burung itu kan tidak pernah mengenyam pendidikan, mengikuti seminar, pelatihan, motivasi layaknya manusia, kita juga jarang mendengar ada seekor burung yang mati kelaparan, kalaupun ada itu biasanya burung-burung yang terpenjara dalam sangkar dan pemiliknya lupa memberi makan lantaran sedang pulang kampung atau memang sedang lalai dan khilaf.

Lalu bagaimana dengan kita, belajar dari seokor burung tentu manusia bisa mengambil pelajaran berharga berupa makna tawakal yang sesungguhnya dan arti sebuah usaha, apalagi kita dikaruniakan Allah Ta’ala berupa akal dan pikiran yang dengannya kita diberikan kemampuan untuk mengais rezeki yang halal lagi baik selama ada kemauan yang kuat. Adapun yang harus kita lakukan saat ini adalah bergerak dan terus bergerak, tetap optimis, semangat, berpikir positif dan jangan takut akan miskin, karena miskin sejatinya adalah akumulasi dari:

  • Ketidakberdayaan
  • Kepasifan
  • Tidak bergerak (baca: diam)
  • Malas dan enggan berdinamika
  • Kurang luas atau kaku dalam pergaulan
  • Bangga terhadap sesuatu yang semestinya tidak untuk dibanggakan.

Dengan demikian kita hendaknya memahami dan mengetahui bahwa buah dari tawakal itu adalah ridha dengan ketentuan Allah Ta’ala, barangsiapa yang menyerahkan segala urusannya hanya kepada Allah Ta’ala dan ridha dengan apa yang ditentukan dan dipilihkan Allah Ta’ala untuknya maka sesungguhnya dia telah bertawakal.

[1]. HR. al-Bukhari dari Abu Hurairah RA.

[2]. HR. al-Bukhari dari Anas ibn Malik RA.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung (UNISBA) & PIMRED di www.infoisco.com (kajian dunia Islam progresif)

Lihat Juga

Makna di Balik Sabar

Figure
Organization