Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Al-Quran / Tafsir Ayat / Tadabbur Surat Al-Balad (Negeri): Akhir Jalan Mendaki

Tadabbur Surat Al-Balad (Negeri): Akhir Jalan Mendaki

Ilustrasi. (evl.uic.edu)
Ilustrasi. (evl.uic.edu)

Mukaddimah: Meluruskan Persepsi

dakwatuna.com – Menurut jumhur ulama dan ahli tafsir surat Al-Balad diturunkan Allah di Makkah setelah Surat Qâf([1]). Tema surat-surat makkiyah sangat menonjol dalam surat ini. Apalagi secara eksplisit Allah bersumpah dengan negeri kelahiran Nabi Muhammad saw yang tak lain adalah Makkah. Dalam surat ini juga Allah menceritakan kondisi penduduk Makkah yang masih mendustakan agama Allah. Mereka silau dengan kekuatan yang mereka miliki. Mereka mengira dengan harta yang mereka kerahkan dan orang-orang yang mereka himpun akan mampu membendung kehendak Allah. Mereka takkan pernah mampu membungkam risalah kebenaran yang dibawa putra terbaik Kabilah Quraisy ini. Seperti beberapa surat makkiyah yang lainnya, surat ini ditutup dengan pembicaraan kedahsyatan hari kiamat terutama hal-hal yang berkaitan dengannya yaitu hari pembalasan. Akhir dari nasib yang akan diterima orang-orang yang beriman dan orang-orang kafir([2]).

Yang menarik dari pembahasan dalam surat ini adalah merupakan kelanjutan dari surat sebelumnya. Jika dalam surat Al-Fajr banyak pembahasan mengenai harta, terutama yang berkaitan dengan kesalahan persepsi mengenai harta yang berakibat pada kesalahan berikutnya yaitu: memakan harta anak yatim, harta warisan, enggan menolong fakir miskin, serta berlebihan dalam mencintai dunia, maka dalam surat ini mereka digambarkan Allah juga salah dalam menginvestasikan harta. Harta yang mereka kumpulkan dengan susah payah tersebut malah digunakan untuk menghalangi agama Allah. Maka Allah menjelaskan investasi-investasi yang beruntung, seperti: memerdekakan budak, memberi makan orang yang kelaparan, menyantuni fakir miskin dan anak yatim serta menyambung silaturahmi dan menebar kasih sayang([3]). Harta yang diinvestasikan dalam urusan dan hal-hal tersebut akan Allah jamin keuntungannya. Mereka akan dimasukkan ke dalam golongan kanan yang dimuliakan Allah.

Sumpah dan Janji Allah

Aku benar-benar bersumpah dengan kota Ini (Mekah)” (QS. 90: 1)

Hampir semua ulama sepakat bahwa yang dimaksud negeri yang digunakan sumpah dalam ayat di atas adalah negeri kelahiran Nabi Muhammad saw, yaitu kota Makkah. Setidaknya seperti demikian pendapat Ibnu Abbas, Mujahid, Qatadah, Atha’ dan Ibnu Zaid, seperti dituturkan Ibnu Jarir ath-Thabary([4]). Ibnu Katsir menambahkan  bahwa Ikrimah juga berpendapat demikian([5]).

Dan kamu (Muhammad) bertempat di kota Mekah ini”. (QS. 90: 2)

Meskipun Rasulullah Saw lahir dan tinggal di Makkah, namun yang dimaksud alam ayat ini adalah bahwa kelak Nabi Muhammad akan bisa memasuki Makkah dengan tenang. Karena itu lafzah yang dipakai adalah “hillun” yang berarti halal. Karena keberadaan Rasulullah di tempat kelahirannya pun selalu identik dengan penderitaan, tekanan dan kesusahan-kesusahan yang diakibatkan dari perbuatan orang-orang kuffar Quraisy. Seolah-olah beliau “diharamkan” atau terhalang dari menikmati hidup di kampung halamannya. Bahkan dalam salah satu riwayat, beliau menangis ketika meninggalkan Makkah saat hendak berhijrah. Pada hakikatnya beliau sangat mencintai Makkah, namun penduduknya lah yang menyia-nyiakannya dan menyakitinya bahkan mengusirnya. Namun Allah Maha Mendengar, maka Dia kabulkan impian Rasulullah kembali ke tempat kelahirannya. Dalam keadaan tenang, terhormat dan takkan ada lagi yang mengharamkannya dari melakukan apapun di tempat itu kecuali hanya Allah. Ini merupakan berita gembira bagi Nabi Muhammad saw dan para sahabatnya. Janji Allah tersebut akan terealisasi secara sempurna kelak pada tahun ke tujuh hijriyah melalui sebuah peristiwa akbar yang diabadikan sejarah, Fathu Makkah([6]).

Pada hari itu beliau melindungi dan memuliakan orang-orang tertentu. Beliau memaafkan kesalahan dan kejahatan musuh-musuhnya yang sebagian juga merupakan keluarganya. Tak ada dendam sedikitpun di hatinya. Namun, beliau juga memerintahkan kepada umat Islam untuk membunuh beberapa orang yang hari itu darahnya dihalalkan karena kejahatan yang tak lagi bisa ditolerir. Seperti Abdullah bin Khathl, bukan hanya karena berkhianat dengan pura-pura masuk Islam untuk memperoleh amanah Rasulullah saw tapi dia juga bersekongkol dengan musyrikin Makkah dan kembali menjadi musyrik serta membunuh seorang Anshar yang waktu itu diutus bersamanya([7]). Muqis bin Dhababah juga termasuk dalam daftar orang yang dicari untuk dibunuh dengan dua kesalahan yang serupa: murtad dan berkhianat serta membunuh utusan Rasulullah saw([8]). Juga beberapa nama lain di antaranya Ikrimah bin Abu Jahal yang kemudian melarikan diri dan bersembunyi di Yaman. Akhirnya beliau masuk Islam setelah Rasul saw wafat dan setelah itu beliau menebus semua kesalahannya dengan mendermakan kemampuannya untuk membela Islam. Ikrimah pun menjadi salah seorang ulama tabi’in yang disegani.

Dan demi bapak dan anaknya”. (QS. 90: 3)

Sebagian mufassirin berpendapat bahwa yang dimaksud bapak di sini adalah Adam. Ada juga yang mengatakannya Nuh atau Ibrahim as. Sedangkan Imam al-Mawardi mengatakan bahwa yang dimaksud “bapak” di sini adalah Nabi Muhammad saw dan “anak” adalah umatnya. Hal tersebut karena ada konsideran yang disebut di dua ayat sebelumnya yang membicarakan tentang beliau([9]). Namun, Imam al-Alusy lebih memilih penafsiran umum terhadap ayat ini yaitu setiap bapak dan keturunannya([10]). Ini untuk menujukkan kekuasaan Allah. Bapak hanyalah merupakan salah satu sebab keberadaan anaknya, namun pada hakikatnya yang menjadi penentu dan pencipta hanyalah Allah Yang Maha Kuasa.

Akibat Salah Persepsi

Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam susah payah”. (QS. 90: 4). Yang dimaksud dengan “كبد” adalah kesulitan dan kesusahan yang ditemui manusia dalam kehidupannya. Baik yang berupa kepayahan fisik yang bisa dirasakan oleh tubuh manusia dan penyakit-penyakit yang dideritanya, ataupun kepayahan psikis yang hanya bisa dirasakan seperti rasa sedih dan takut. Dalam Surat al-Insyiqaq Allah juga menjelaskan makna lain dari kepayahan ini, yaitu kerja dan usaha yang keras. “Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja dengan sungguh-sungguh menuju Tuhanmu, maka pasti kamu akan menemui-Nya” (QS. 84: 6) Karena ketika di dunia manusia telah berusaha bekerja keras untuk memenuhi segala keperluan hidupnya. Sebagian di antara mereka bahkan berlebihan hingga melupakan hak jasadnya untuk beristirahat. Sebagian lagi bahkan melupakan Allah, Dzat yang membuatnya berkecukupan dalam kehidupannya.

Sebagian manusia menyadari kekeliruannya, sehingga ia pun semakin bekerja dan berusaha keras untuk memenuhi hak-haknya, keluarganya, masyarakat sekelilingnya, dan tentunya Allah. Dalam keadaan payah seperti yang dijelaskan di atas, sebagian manusia juga memiliki orientasi hidup yang salah dan persepsi yang tidak benar tentang kehidupannya.

Apakah manusia itu menyangka bahwa sekali-kali tiada seorang pun yang berkuasa atasnya? Dan mengatakan: “Aku telah menghabiskan harta yang banyak”. Apakah dia menyangka bahwa tiada seorangpun yang melihatnya?”. (QS. 90: 5-7)

Setidaknya ada tiga kesalahan persepsi orang-orang kafir yang kemudian bisa menyebabkan mereka memusuhi Rasulullah dan ajaran yang dibawanya.

  1. Kesombongan yang melampaui batas sehingga ia merasa menjadi orang yang berkuasa. Dengan kedudukan dan posisi sosial serta harta yang melimpah menyebabkan seseorang lupa bahwa ada Dzat Yang Maha Kuasa.
  2. Bahwa yang mereka namakan “kebaikan” adalah mempertahankan posisi mereka meskipun dengan menghabiskan harta. Maka tak masalah jika harta yang mereka peroleh baik dengan jalan baik atau tidak benar mereka mubadzirkan karena tak mengerti prioritas investasi yang benar.
  3. Dengan merasa bahwa tak seorang pun bisa mengawasi gerak-geriknya, maka ia bisa seenaknya berbuat, meskipun itu melawan hati nurani dan menzhalimi diri sendiri serta orang lain.

Sadarkah ia, bahwa harta yang ia cari dan kemudian mereka mubadzirkan kelak akan ditanya oleh Allah dari mana ia mendapatkannya dan ke mana saja ia habiskan?([11]).

Seharusnya orang-orang yang salah persepsi di atas sadar akan karunia Allah yang luar biasa yang dalam surat ini hanya disinggung beberapa saja, yang berkaitan dengan misi besar surat ini.

Bukankah kami telah memberikan kepadanya dua buah mata. Lidah dan dua buah bibir. Dan kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan”. (QS. 90: 8-10)

Dua mata, lidah, dua bibir adalah sekian dari nikmat Allah yang melekat dalam jasad manusia. Bahkan ia bisa melihatnya sendiri dengan berdiri di depan cermin, maka ia akan segera mendapatinya. Seharusnya ia bisa melihat. Dengan dua mata. Bahkan seandainya satu matanya ditutup pun ia masih akan tetap bisa melihat nikmat Allah swt. Lantas apa yang membuatnya buta dan tak mampu melihat karunia Allah yang sangat tak terbatas ini. Lidah dan bibirnya pun tak digunakan dalam koridor syukur terhadap Allah. Justru ia menggunakan untuk melawan Allah. Mobilisasi massa untuk melawan ajaran Allah.

Bukan hanya itu, Allah juga telah menyediakan dua jalan; yaitu jalan kebaikan dan jalan kegelapan. Masing-masing jalan dengan gamblang dijelaskan Allah ujung serta konsekuensi yang akan diterima bagi setiap penempuh jalan tersebut. Jalan kebenaran dan kebaikan akan dipilih oleh orang-orang yang cerdas yang tahu prioritas amal dan kerja. Sebaliknya, yang mengamblil jalan pintas karena hati mereka tertutup

Dua Jalan, Dua Konsekuensi

Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu?” (QS. 90: 11-12)

Jalan kebaikan tidaklah mudah. Karena itu ia sukar dan sulit ditempuh dan menanjak. Hanya orang-orang sabar saja yang mampu dan mau melakukannya. Jalan-jalan sulit berikut ini tak lain merupakan jawaban sekaligus pelurusan misspersepsi tentang harta:

1. “(yaitu) melepaskan budak dari perbudakan”(QS. 90: 13)

Karena Allah hanya menginginkan penghambaan yang sempurna kepada Dzat-Nya saja. Bukan perbudakan sesama manusia. Karena itulah salah satu misi utama agama Islam adalah menghapus dan menghilangkan perbudakan.

2. “Atau memberi makan pada hari kelaparan”(QS. 90: 14)

Memberi pertolongan pada saat dibutuhkan adalah sesuatu yang mulia. Dan hal tersebut tidaklah mudah. Apalagi jika tidak didahului oleh permintaan tolong dari pihak yang memerlukan bantuan, sungguh hal tersebut menjadi berat. Hanya orang tertentu saja yang memiliki kepekaan hati dan diringankan untuk membantu.

Pemilihan kata yang sangat teliti ini menandakan bahwa pada hari itu kelaparan dijumpai di mana-mana. “hari yang memiliki orang-orang lapar di mana-mana”. Ini adalah hari paceklik dan kelaparan yang menimpa banyak orang([12]).

3. “(kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat” (QS. 90: 15)

Memuliakan dan menolong anak yatim adalah salah satu amal yang utama. Apalagi jika sang yatim tersebut masih ada hubungan kekerabat-an, tentu akan menambah nilai plus. Membantu dan sekaligus menjaga tali kekerabatan (silaturrahmi).

4. “Atau kepada orang miskin yang sangat fakir” (QS. 90: 16)

Orang-orang yang miskin dan tertekan kemiskinannya adalah orang yang berada diprioritas pertama untuk dibantu. Jiwa mereka tertekan karena lidah mereka tak lagi sanggup mengungkapkan permintaan tolong. Hati mereka juga sakit menanggung malu. Mereka juga miris melihat nasib orang-orang yang berada dalam tanggungannya. Tapi mereka memiliki iman yang menahan dari menghalalkan segala cara. Orang yang seperti inilah yang sangat perlu diutamakan untuk ditolong. Abu Ubaidah mengungkapkan rahasia pemilihan kata “dzâ matrabah” yang berarti terlempar di atas tanah atau pasir([13]). Ini menandakan ia benar-benar hanya memiliki badan yang lemah hingga membuatnya tersungkur di atas pasir. Tak ada yang menahan badannya karena sangat lapar dan lemah.

5. “Dan dia termasuk orang-orang yang beriman dan saling berpesan untuk bersabar dan saling berpesan untuk berkasih sayang”(QS. 90: 17)

Orang-orang yang mampu bersabar dan sanggup menempuh jalan yang sukar seperti di atas adalah orang-orang pilihan yang dirahmati Allah selalu. “Mereka adalah golongan kanan”. (QS. 90: 18)

Ini adalah sebuah pilihan yang memiliki konsekuensi tanggung jawab. Namun, hal tersebut tidaklah sia-sia, karena Allah telah menyediakan balasan dan ganjaran yang melebihi bayangan seseorang, bahkan dengan sesuatu yang belum terbayang-kan sebelumnya. Sebaliknya pilihan jalan yang salah akan membuahkan konsekuensi yang tidak sesuai harapan pula. Sebagaimana tak ada paksaan dalam memilih jalan, mereka juga tak bisa memaksa Allah untuk memberikan balasan sesuai keinginan mereka. Orang-orang yang berbaris di golongan kiri tersebut akan digiring ke neraka Allah yang tak ada celah bagi siapapun untuk lari dan menghindar darinya.

Dan orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat kami, mereka itu adalah golongan kiri. Mereka berada dalam neraka yang ditutup rapat” (QS. 90: 19-20)

Penutup: Pilihan Orang Cerdas dan Tenang

Jika dalam surat sebelumnya Allah memanggil jiwa-jiwa yang tenang untuk bergabung dalam kafilah orang-orang sukses yang beruntung dan berbahagia, itu karena mereka tepat dalam memilih jalan yang disediakan Allah di dunia. Tanpa paksaan. Rela dan ridha, maka kelak mereka juga diridhai.

Hanya orang-orang yang cerdas saja yang mau dan sanggup menyiapkan dirinya dengan bekal-bekal berharga untuk sebuah perjalanan yang jauh. Semoga Allah terus menjaga kita sehingga kita bisa tsabat dan istiqamah dalam berbuat baik dan membekali diri untuk menghadap Allah dalam keadaan yang ridha dan diridhai. Amin.

Catatan Kaki:

[1] lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm. 20-22; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249. Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir,Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.801

[2] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 297.

[3] Ibid.

[4] Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an, tahqiq: Mahmud Syakir, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm. 234-235

[5] Abu al-Fida Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim, Tahqiq: Thaha Abd. Rauf, Mansoura: Maktabah al-Iman, Cet.I, 1996 M-1417 H, Vol.VIII, hlm. 230

[6] Abul Qasim Jarullah Az-Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqa`iq at-Tanzil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh at-Ta`wil, Cairo: Maktabah Mustafa Muhammad, Cet.I, 1354 H, Vol.IV, hlm. 212, Muhammad bin Yusuf Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, Beirut: Darul Kutub Ilmiah, Cet.I, 2001 M-1422 H, VolVIII, hlm. 469, al-Qurthuby, al-Jami’ li Ahkami al-Qur’an, Cairo: Darul Hadits, 2002 M-1423 H, Vol.X, hlm. 309.

[7] Abdul MAlik bin Hisyam (Inu Hisyam), As-Sirah An-Nabawiyah, Cairo: Dar al-Fajr li at-Turats, Cet.II, 2004 M-1425 H, Vol.IV, hlm. 33

[8] Ibid.

[9] Syihabuddin al-Alusy, Ruh al- Ma’any, Beirut; Darul Fikr, 1997 M – 1417 H, Vol.XXX, hlm. 241

[10] Ibid.

[11] Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Al-Wasith fi Tafsir al-Qur’an al-Majid, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 1994 M-1415 H, Vol.Iv, hlm. 490.

[12] Lihat tesis penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny, Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 851

[13] Abu Ubaidah Muammar bin al-Mutsanna, Majaz al-Qur’an, tahqiq: Muhammad Fuad, Cairo: Maktabah al-Khanji, tt. Vol.II, hlm. 299

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (2 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Alumni Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Ketua PPMI Mesir, 2002-2003. Wakil Ketua Komisi Seni Budaya Islam MUI Pusat (2011-Sekarang). Ketua Asia Pacific Community for Palestine, di Jakarta (2011-Sekarang). Dosen Sekolah Tinggi I�dad Muallimin An-Nuaimy, Jakarta (2011-Sekarang), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) (2013-Sekarang), Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta (2011-2013)

Lihat Juga

Bentuk-Bentuk Penyimpangan di Jalan Dakwah (Bagian ke-3: Persoalan Jamaah dan Komitmen (Iltizam))

Figure
Organization