Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Al-Quran / Tafsir Ayat / Tadabbur Surat Asy-Syams (Matahari): Para Penyembelih Unta

Tadabbur Surat Asy-Syams (Matahari): Para Penyembelih Unta

Mukaddimah

dakwatuna.com – Menurut jumhur mufassirin Surat As-Syams diturunkan Allah di Makkah setelah Surat Al-Qadar([1]). Tema sentral surat As-Syams ini berkisar pada dua bahasan besar, yaitu: jiwa manusia dan tabiat-tabiatnya yang membentuk karakter baik atau buruk, kemudian tema kezhaliman dan pembangkangan yang langsung disebut secara lugas dan eksplisit, yaitu pembangkangan kaum Tsamud yang menyembelih unta yang mereka minta supaya keluar dari batu. Padahal Nabi Salih as. memesan agar mereka menjaganya dan memberinya minum. Tujuan penyembelihan ini semata hanya ingin menyelisihi perintah dan nasihat Nabi Salih as. Orang-orang seperti ini takkan pernah ditolerir oleh Allah yang murka dan tak sedikitpun Allah khawatir akibat adzab yang ia turunkan. Semua itu tak mengurangi atau menambah kekuasaan dan kemuliaan-Nya([2]).

Tiga Pasang Mengiringi Jiwa

Kali ini, dalam surat ini Allah sekaligus menghadirkan tiga pasang makhluk-Nya yang digunakan-Nya untuk bersumpah. Yaitu matahari dan bulan, siang dan malam, serta langit dan bumi. Simaklah ritme dan kekuatan diksinya berikut.

Demi matahari dan cahayanya di pagi hari. Dan bulan apabila mengiringinya. Dan siang apabila menampakkannya. Dan malam apabila menutupinya. Dan langit serta pembinaannya. Dan bumi serta penghamparannya”. (QS. 91: 1-6)

Sumpah yang biasanya mendahului hal besar yang akan disampaikan Allah ini, hadir dalam gaya bahasa yang luar biasa indahnya.

Pertama, pasangan matahari dan bulan. Matahari yang sinarnya baru saja meninggi saat kita disunnahkan untuk melaksanakan shalat dhuha dijadikan sumpah oleh Allah. Demikian juga bulan yang mengiringi matahari, yang cahayanya merupakan pantulan cahaya matahari. Mengelilinginya bersama planet-planet yang Allah jadikan mengorbit pada matahari.

Kata mengiringi “talâhâ” menurut al-Farra’ ini mengindikasikan bahwa bulan menyerap cahaya matahari kemudian memantulkannya ke bumi([3]). Dan pantulan ini terus berputar hingga bertemu pada titik sama saat keduanya; matahari dan bulan berhadapan sehingga menjadi bulatan penuh yang biasanya kita kenal dengan bulan purnama([4]).

Kedua, pasangan siang dan malam. Siang yang nampak terang benderang sepadan dengan permulaan sumpah ini, yaitu matahari yang mulai meninggi dan mulai mengusir kabut pagi dan kegelapan malam pun pelahan hilang sama sekali. Dan saat malam datang kembali, maka keadaan yang terang tersebut sirna tertutup oleh hitam. Kegelapan malam. Pada waktu siang terlihat jelas karena diterangi matahari dan pada malam hari matahari tertutup([5]).

Ketiga, pasangan langit dan bumi. Keluasan langit yang demikian –seolah- tiada batasnya tak ada yang tahu bagaimana Allah membuat dan menjadikannya demikian kokoh tanpa tiang penyangga. Maka kata “banâhâ” sangat tepat mewakili ungkapan penciptaan tersebut. Dengan kata tersebut mewakili penciptaan, pembangunan dan kemegahan secara otomatis akal yang sehat akan menanyakan, “siapakah yang sanggup membuatnya demikian?” Dan tentu saja jawabannya adalah Allah. Karena itu Imam Hasan al-Bashry dan Mujahid menakwilkannya dengan menyelipkan kata “alladzi” yang berarti yang menciptanya([6]).

Demikian juga rahasia pemilihan bumi sebagai tempat manusia, di antara jutaan bahkan mungkin milyaran planet yang ada di alam semesta ini. Kenapa Allah memilih bumi dan bukan yang lainnya. Maka gunakanlah akal untuk mencerna dan mentadabburi semesta yang sangat luas.

Tiga pasang makhluk Allah di atas seharusnya membuat manusia berpikir sejenak. Kenapa keenam hal tersebut diadakan Allah. Bahkan dalam surat ini untuk mengiringi sumpah yang ke tujuh. “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya)” (QS. 91: 7)

Keagungan dan kemegahan ciptaan-Nya yang serba berpasangan tersebut seharusnya mampu membuat manusia sadar akan kebesaran Allah dan bermuara pada totalitas penghambaan kepada-Nya. Apalagi semuanya, matahari, bulan, siang, malam, langit dan bumi disediakan untuk manusia. Yang dalam sumpah ke tujuh ini disebut dengan “jiwa”. Tak seorang pun mengetahui bagaimana Allah mencipta jiwa dan di mana letaknya dalam badan manusia. Jika penciptaan manusia secara biologis saat ini telah terungkap prosesnya maka tak seorang mampu menyibak rahasia jiwa/ruh manusia.

Sebagian pakar tafsir ada yang menakwilkan jiwa di sini adalah Adam, sebagai manusia pertama yang diciptakan oleh Allah([7]).

Pembersihan Jiwa dan Konsekuensi Kebalikannya

Nikmat Allah di atas yang enam (matahari, bulan, siang, malam, langit dan bumi) bisa dirasakan oleh manusia. Yang selaiknya membuat manusia terus bersyukur kepada-Nya. Pada ayat selanjutnya Allah lengkapkan dengan nikmat abstrak lainnya. Yaitu petunjuk dan jalan ketakwaan untuk ditempuh para pencari kebahagiaan dan jalan kefasikan untuk dijauhi agar tak terjerumus dalam jurang kenistaan dan kecelakaan yang abadi.

Maka Allah ilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya” (QS. 91: 8)

Dan jiwa yang beruntung dan bahagia adalah jiwa yang mau berusaha terus me-nyucikan diri. “Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu” (QS. 91: 9).

Kesucian jiwa ini harus terus kita rawat, jaga dan pelihara dari kekotoran. Tentunya dengan ketakwaan yang kualitasnya terus kita tingkatkan. Selain itu dengan doa sebagaimana yang diajarkan oleh Rasulullah saw, “Ya Allah karuniakan kepada kami hati yang bertaqwa, bersihkan dan sucikan karena Engkau sebaik-baik Dzat yang menyuci-kannya, Engkau yang menguasainya dan menjadi tuan atasnya”.

اللهم آت نفوسنا تقواها، وزكّها أنت خير من زكاها، أنت وليها ومولاها([8]).

Sebaliknya, orang-orang yang membiarkan dirinya berbuat zhalim dengan mengotorinya kejernihan jiwanya, kelak akan benar-benar merugi dan ia sangat menyesali kerugiannya itu. “Dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya” (QS. 91: 10)

Dalam ayat ini Allah memberikan contoh riil dan konkret seperti siapakah dan bagaimana contoh orang-orang yang merugi dan mengotori jiwanya. Allah kisahkan cerita kaum Tsamud, kaum Nabi Shalih as.

(kaum) Tsamud telah mendustakan (rasulnya) Karena mereka melampaui batas. Ketika bangkit orang yang paling celaka di antara mereka. Lalu Rasul Allah (Saleh) berkata kepada mereka: (“Biarkanlah) unta betina Allah dan minumannya”. Lalu mereka mendustakannya dan menyembelih unta itu, Maka Tuhan mereka membinasakan mereka disebabkan dosa mereka, lalu Allah menyama-ratakan mereka (dengan tanah)”. (QS. 91: 11-15)

Kaum Tsamud adalah bangsa besar yang pernah terkenal. Keberadaan mereka  yaitu setelah Kaum ‘Ad dihancurkan Allah. Dinamakan demikian dari nama kakek mereka. Tiga bersaudara keturunan Amir bin Iram bin Sam bin Nuh as. Mereka digolongkan bangsa Arab (al-Aribah) yang tinggal di bebatuan di kota al-Hijr yang terletak di antara negeri Hijaz dan Tabuk dan telah punah. Tiada satu pun dari mereka yang tersisa demikian juga jejak-jejak peradaban mereka, terkubur bersama kesombongan yang diadzab oleh Allah. Hanya sebagian kecil di antara mereka yang mau beriman kepada risalah yang dibawa Nabi Salih as. yang diutus Allah untuk memberikan petunjuk kebenaran kepada mereka([9]).

Sebagaimana diceritakan sebelum surat ini di beberapa surat-surat lainnya Allah mengutus Nabi Salih kepada mereka supaya terbebas dari penyembahan terhadap berhala yang tidak mendatangkan manfaat dan mudharat sedikit pun. Mereka kemudian meminta mukjizat kerasulan. Allah kabulkan dengan mengeluarkan unta dari batu sebagaimana tuntutan mereka. Nabi Salih meminta mereka memuliakannya dan tidak menyakitinya namun mereka dengan sengaja menyembelihnya, hanya untuk menyelisihi perintah nabi mereka yang juga saudara terbaik mereka.

Lihatlah pesan Nabi Salih dalam Surat Asy-Syu’ara. “Adakah kamu akan dibiarkan tinggal disini (di negeri kamu ini) dengan aman. Di dalam kebun-kebun serta mata air. Dan tanam-tanaman dan pohon-pohon kurma yang mayangnya lembut. Dan kamu pahat sebagian dari gunung-gunung untuk dijadikan rumah-rumah dengan rajin. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku” (QS. 26: 146-150)

Kenikmatan dan kemampuan serta kekuatan yang diberikan Allah telah membuat mereka lalai dan terlena sehingga tak mau beribadah kepada Allah. Misi Nabi Salih pun untuk mengembalikan mereka pada fitrah. Namun, tidak semuanya mengindahkan peringatan beliau. Lihatlah pesan tegas Nabi Salih, “Adakah kamu akan dibiarkan tinggal disini (di negeri kamu ini) dengan aman”. Kenyamanan hunian yang asri membuat mereka lupa bahwa mereka suatu saat akan mati dan meninggalkan semua peradaban yang mereka bangun([10]). Dan mereka sama sekali tak memikirkan hal tersebut.

Puncak kesombongan tersebut terjadi ketika mereka menyembelih unta. Dan yang mengambil inisiatif sekaligus melaksanakannya adalah Qaddar bin Salif bin Janda’ dan kemudian diikuti oleh orang-orang dari kabilah lain dan semuanya berjumlah sembilan orang. Seperti yang dikabarkan Allah dalam surat an-Naml, “Dan adalah di kota itu sembilan orang laki-laki yang membuat kerusakan di muka bumi, dan mereka tidak berbuat kebaikan”. (QS. 27: 48)

Setelah perbuatan yang mendatangkan murka Allah ini karena mereka tak menunjukkan tanda-tanda penyesalan sama sekali. Bahkan mereka menantang Salih untuk meminta diturunkan adzab kepada mereka. Lebih dari itu mereka bersekongkol merencanakan konspirasi untuk membunuh Nabi Allah tersebut. Masih kelanjutan surat An-Naml, “Mereka berkata: Bersumpahlah kamu dengan nama Allah, bahwa kita sung-guh-sungguh akan menyerangnya dengan tiba-tiba beserta keluarganya di malam hari, Kemudian kita katakan kepada warisnya (bahwa) kita tidak menyaksikan kematian keluarganya itu, dan Sesungguhnya kita adalah orang-orang yang benar”(QS. 27: 49)

Mereka merencanakan pembunuhan terhadap Nabi Salih di malam hari, Allah lebih dahsyat makar-Nya. Sebelum mereka melaksanakan rencana dan konspirasi keji ini, Allah dahului mereka dengan adzab yang belum pernah diturunkan kepada siapapun sebelumnya. Yaitu dengan teriakan yang sangat keras dan menghancurkan segalanya. Binasalah kaum yang diberi kelebihan Allah dengan berbagai keistimewaan namun enggan menyukurinya. Sebagaimana dikabarkan al-Quran di beberapa tempat dalam surat-suratnya([11]). Allah meratakan mereka dengan tanah. Dalam ayat ini digunakan ungkapan “damdama” yang berasal dari bergoyangnya bangunan sampai keras hingga terbalik dan mneimpa apa yang ada di bawahnya, kemudian rata sehingga tak terlihat bekasnya([12]).

Dan Allah sama sekali tidak merugi dengan sikap dan kebijakan-Nya yang mengerikan tersebut. “Dan Allah tidak takut terhadap akibat tindakan-Nya itu” (QS. 91: 15). Allah tak khawatir telah menzhalimi mereka, karena sesungguhnya merekalah yang berbuat zhalim. Bukankah sebelumnya Allah telah kirim kepada mereka orang terbaik yang berada di tengah-tengah mereka yang sangat mereka cintai dan hormati. Namun, setelah Salih mengungkapkan misinya, mereka berbalik memusuhinya.

Penutup

Di antara orang yang paling baik adalah yang mampu mengambil pelajaran dari suatu peristiwa yang telah berlalu sehingga tak terjerumus dalam kesalahan yang sama. Semoga Allah menjadikan kita orang yang mampu terus memperbaiki diri. Sehingga umur kita bermanfaat, senada dengan ungkapan Ibnu Athaillah as-Sakandary,”Siapa yang diberkahi umurnya, maka dalam waktu singkat ia dapat meraih berbagai karunia Allah, sebuah karunia yang sulit diungkap melalui kata-kata dan tak terjangkau lewat isyarat” ([13]).

Catatan Kaki:

[1] lihat: Jalaluddin as-Suyuthi, al-Itqân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.I, 2004 M/1425 H, hlm. 20-22; Badruddin az-Zarkasyi, al-Burhân fi ‘Ulûmi al-Qur’ân, Beirut: Darul Fikr, Cet.I, 1988 M/1408 H, Vol.1, hlm. 249. Prof. Dr. Jum’ah Ali Abd. Qadir,Ma’âlim Suar al-Qur’ân, Cairo: Universitas al-Azhar, cet.I, 2004 M/1424 H, vol.2, hlm.804

[2] Muhammad Ali Ash-Shabuni, Ijazu al-Bayan fi Suar al-Qur’an, Cairo: Dar Ali Shabuni, 1986 M-1406 H, hlm. 298

[3] Abu Zakariya al-Farra’, Ma’ani al-Qur’an, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, Cet.1, 2003 M/1423 H, Vol.III, hlm. 156

[4] Syihabuddin al-Alusy, Ruhul Maani, Beirut: Dar al-Fikr,  1997 M-1417 H, Vol. 30, hlm. 253

[5] Al-Farra’, Ma’ani al-Qur’an, Op.Cit, III/156, Muhammad bin Yusuf Abu Hayyan, al-Bahr al-Muhith, Beirut: Darul Kutub Ilmiah, Cet.I, 2001 M-1422 H, Vol.VIII, hlm. 473, Ruhul Ma’ani, Op.Cit, 30/254.

[6] Ibnu Jarir ath-Thabary, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Ay al-Qur’an, tahqiq: Mahmud Syakir, Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Araby, Cet.I, 2001 M-1421 H, Vol. 30, hlm.254

[7] Ruhul Ma’ani, Op.Cit, 30/256.

[8] potongan doa yang diriwayatkan oleh sahabat Zaid bin Arqam ra. ditakhrij oleh Imam Muslim dalam Shahihnya. Dalam Kitab adz-Dzikr wa ad-Du’a, Bab at-Ta’awudz min Syarri ma ‘Amil, hadits nomer 2722 (Shahih Muslim bi Syarhi an-Nawawy, Cairo: Darul Hadits, Cet.1, 1994 M-1415 H, Vol.IX, hlm. 48). Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Ibnu Abi Syaibah, dan Imam an-Nasa’i (lihat: Ruhul Ma’ani, Op.Cit, 30/260)

[9] Ibnu Katsir, Al-Bidayah wa an-Nihayah, Beirut: Darul Kutub al-Ilmiah, tt. Vol. 1, hlm. 123

[10] Mamhmud Mishry, Qashashu al-Anbiya`, Cairo: Dar at-Taqwa, Cet.I, 2002 M-1423 H, hlm. 117

[11] Lihat QS. al-A’raf : 78, QS. Hud: 67-68, QS. Al-Qamar: 29-31, QS. An-Naml: 51-52, QS. Al-Haqqah: 5.

[12] lihat tesis penulis: Kitab Lawami’ al Burhan wa Qawathi’ al-Bayan fi Ma’ani al-Qur’an Karya Imam al-Ma’iny: Dirasah wa Tahqiq, Cairo: Universitas al-Azhar Jurusan Tafsir, 2006, Vol.2, hlm. 857.

[13] Ibnu Atha’illah as-Sakandary, Kitab al-Hikam, Jakarta: Khatulistiwa Press, Cet.II, Juni 2008, hlm. 290

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Alumni Program S3 Jurusan Tafsir dan Ilmu-ilmu Al-Quran, Universitas Al-Azhar, Kairo-Mesir. Ketua PPMI Mesir, 2002-2003. Wakil Ketua Komisi Seni Budaya Islam MUI Pusat (2011-Sekarang). Ketua Asia Pacific Community for Palestine, di Jakarta (2011-Sekarang). Dosen Sekolah Tinggi I�dad Muallimin An-Nuaimy, Jakarta (2011-Sekarang), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) (2013-Sekarang), Perguruan Tinggi Ilmu Al-Quran (PTIQ) Jakarta (2011-2013)

Lihat Juga

Persaudaraan yang Indah

Figure
Organization