Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Sepotong Episode Kehidupan

Sepotong Episode Kehidupan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – “Mbak Rheeeen, selamat.” Teriak dek Ika yang berlari mendekatiku, disusul dek Arif yang memberiku setangkai mawar putih.

“Makasih Dek, hihihihi mbak udah bukan mahasiswa lagi sekarang.” Candaku sambil memeluk dek Ika.

Hari ini, 17 oktober 2012. Hari wisudaku setelah menyelesaikan jungkir balik perjalanan sebagai seorang mahasiswi di Universitas Negeri Semarang. Mengharu biru, dalam senandung syukur yang tertera di antara bias senyum bahagia.

“Hari ini anak bebek sudah menyelesaikan episode pertama dalam cerita hidupnya.” Bisikku dalam hati, dengan bulir air mata bahagia yang mulai mengaliri mukaku, membuka kembali memoar perjalanan hidupku selama 17 tahun ini.

***

Wonosobo tepian awal 1996 …

“Bangun Rhen, lihat coba siapa yang datang?” Ibu membangunkanku.

“Hikkkz …  Katanya kalau minggu libur” Jawabku merengek manja tanpa membuka mata.

“N-na… ayo bangun!”

Aku hafal suara itu, itu ayah … Ayah yang membangunkanku, aku tak lupa suaranya dan hanya ayah yang memanggil aku “N-na”.

“Ayaaaaah?” Aku berteriak riang dan langsung bangun memeluknya.

“Rhen kangen” Rengekku.

Aku tak tahu apa yang ayah bicarakan dengan ibu. Ayah hanya sebentar di rumah, memandikanku, memakaikanku baju baru biru dan mengajakku pergi, tanpa ibu dan adik. Seperti biasa, kita hanya pergi berdua.

***

“Yaaaaahh,” Kataku tiba-tiba dalam perjalanan pulang.

“Apa Rhen?” Tanya ayah.

“Rhen ngantuk” Jawabku.

“Bobo aja nanti kalau sudah sampai rumah ibu, ayah bangunin” Kata ayah.

“Rhen ingin diceritain dulu, Ayah udah lama nggak ceritain Rhen dongeng” Pintaku.

“Oke, ayah ceritain Jack dan Pohon Kacang ya” Kata ayah.

“Uuuhh Ayaaah, Rhen kan udah bilang, nggak mau diceritain Jack dan Pohon Kacang Yaaah, Rhen mau baca buku ceritanya sendiri nanti kalau udah bisa baca” Aku merengek.

“Iya deh iya ayah ganti, Elang dan Anak Ayam aja ya?” Tanya ayah.

“Itu mulu itu mulu, Rhen bosen Yaaaah, bosen. Yang lain pokoknya.”

“Apa ya? Tiga Anak Babi? Anak Bebek? Atau Beruang Kecil?”

“Anak Bebek aja Yah, iya Anak Bebek aja, Rhen belum pernah.”

Ayah mulai bercerita, dan aku sangat antusias menyimak, aku paling suka kalau ayah yang bercerita karena bisa bercerita sampai selesai tanpa harus terganggu tangisan adik bayi yang minta nyusu.

“Waaaah, anak bebek keren ya Yah, tapi kasihan. Anak bebek nggak punya mama sama papa, anak bebek mencari makan sendiri,” Kataku setelah ayah selesai bercerita.

“Iya anak bebek sangat hebat bukan? Rhen harus belajar kaya anak bebek, nggak boleh manja lagi, harus belajar mandi dan makan sendiri.”

“Iya Yah, Rhen mau belajar makan sama mandi sendiri biar keren kaya anak bebek, tapi setiap pagi Ayah ya yang bangunin Rhen, ibu galak soalnya Yah,” Jawabku merajuk.

“Gak bisa.” Jawab ayah singkat.

Tiba-tiba hening, obrolan kita terhenti. Aku sedekapkan tangan di depan dada, manyun. Aku tak mampu menerjemah dari kata-kata singkat yang ayah tuturkan tadi. Aku takut untuk sekadar bertanya kenapa, kubiarkan kepalaku terus menoleh ke kiri, menatap jalanan dari balik kaca pintu mobil dengan mata berkaca sampai akhirnya tertidur.

“N-na, bangun. Sudah sampai rumah ibu” Ayah membangunkanku.

“Hhmmmmm” Aku menggeliat.

Ayah menuntunku menuju rumah ibu, mengantarku sampai depan pintu rumah dan berbicara sebentar dengan ibu. Hanya sejenak, kemudian pamit pergi.

 Ayah, kenapa gak tidur di sini? Bukankah ini rumah Ayah juga? Rhen masih kangen Ayah, masih ingin dimandikan dan disuapin Ayah, masih ingin main puzzle dan menyusun huruf bersama Ayah. Ayah mau ke mana lagi?

 Kenapa Ayah tinggalin Rhen? Jangan pergi Yah, Ayah belum melihat Rhen yang udah pinter mewarnai dan menghafal surat-surat pendek. Rhen ingin Ayah menemani saat Rhen membaca buku dongen jack dan pohon kacang. Ayaaaah, apa Ayah merasakan getar kerinduan ini yang belum juga hilang???

 Ayah jangan pergi … tetaplah di sini, temani Rhen melengkapi kepingan mozaik cinta ibu yang telah terbagi untuk adik. Ayah jangan pergi! Rhen enggak mau seperti anak bebek yang enggak punya ayah.

Aku hanya mampu meronta dalam diam, rongrongan pengharapanku tersekat oleh dinding bilik hati, tak mampu tergetar oleh ujung kedua bibir. Diam, bisu, melangkahkan kaki menuju kamar dengan luka hati yang menyayat.

Orang dewasa memang kadang penuh misteri. Aku tak tahu apa yang ayah dan ibu sembunyikan. Oh, bukan tak tahu. Tapi tak ingin tahu dan berusaha memaklumi keadaan. Karena aku ingin ayah tetap ada di sini, bersamaku dan ibu!

Aku tutupi semua yang kutahu, aku diam saat ibu menginterogasi setiap aku pulang jalan-jalan bersama ayah. Bukan kuingin membohongi ibu, aku juga tak tahu kenapa rasanya begitu sulit bercerita pada ibu tentang kebohongan-kebohongan yang ayah sembunyikan.

***

Juni 1997 … Aku lulus TK.

Aku masih menunggumu Yah, aku menunggu Ayah menjemputku untuk sekolah di SD yang dulu Ayah tunjukkan padaku. Ayah pasti datangkan? Ayah enggak bohong lagi kan? Aku di sini menunggu, menantimu untuk menjemputku kemudian menuntunku menuju mobilmu untuk berangkat ke sekolah.

“Pokoknya Rhen mau berangkat ke sekolah sama ayah di SD yang pernah ayah tunjukin ke Rhen!” Aku ngambek dan tetap duduk saat ibu mengajakku untuk berangkat sekolah di hari pertamaku masuk SD.

“Rhen, tapi ayah gak di sini,” Bujuk ibu.

“Pokoknya gak mau, Rhen mau nungguin ayah!” Aku menangis.

“Mengertilah Rhen! Ayah sudah tidak bersama kita, Rhen sekarang sama ibu, sama adik, sama mbah!” Ibu memarahiku.

“Tapi …. Rhen enggak mau kaya anak bebek yang enggak punya ayah, Rhen ingin sama ayah sama ibu sama adek disini, Rhen maunya berangkat sekolah sama ayah di SD yang pernah ayah tunjukkin” Aku masih tetap menangis, teguh pada kekeras kepalaanku.

“Ayah enggak ada, mati mungkin!” Bentak ibu.

Aku semakin terisak, tak juga mau beranjak dari dudukku, mematung sambil terus menyeka air mata yang mengalir deras membasahi muka tembemku.

Ibu tetap menuntunku berangkat  ke sekolah, mengusap air mataku dan berkata “Jangan menangis terus, enggak apa-apa sekolah di SD sini, yang penting Rhen rajin belajar biar kelak bisa masuk SMP favorit di Wonosobo. Rhen harus jadi yang terbaik dalam hal apapun, harus jadi nomor satu, jangan sampai kalah oleh siapapun. Meski tanpa ayah, tunjukkin kalau Rhen bisa! Rhen harus tangguh kaya anak bebek yang enggak pernah nangis meski nggak punya ayah.”

***

Juli 2002

Setelah menjual sawah ibu memutuskan bercerai secara hukum dengan ayah. Awalnya kuanggap biasa saja, toh sudah 6 tahun lebih aku tak mengenal sosok yang bernama ayah dan ibu juga sudah berjanji walaupun sudah bercerai tidak akan menikah lagi, ibu akan fokus mendidik kami.

Namun janji ibu hanya sebuah omong kosong. Setelah ibu resmi bercerai dengan ayah, ibu kian dekat dengan orang yang sudah dekat dengan ibu sejak aku kelas 2 SD, bahkan sekarang ibu jarang pulang, dan kudengar dari omongan tetangga, ibu sudah menikah dengan orang itu. Kenapa aku harus kehilangan kedua orang tua? Kenapa hidupku tak bisa seperti teman-teman?

Ibu semakin dingin terhadapku dan adik, adik kecilku yang dulu anak kesayangan kini mulai terabai, padahal ia baru memasuki kelas satu SD dan sangat membutuhkan kasih sayang dan perhatian dari ibu.

Inilah masa-masa tersulit dalam hidupku. Masih sulit untuk memahami kenyataan bahwa ibu telah menikah lagi, pergi meninggalkan kita bertiga dalam kekurangan dan tahun ini adalah lebaran terpahit yang aku rasakan. Malam takbir, ibu belum juga datang. Tangis mulai meleleh dari sudut mataku. Hari itu mbah benar-benar tidak memegang uang, sementara adikku yang masih kelas satu meminta uang untuk bekal takbiran di masjid, seingatku mbah jual beras untuk memberi uang saku pada adikku dan aku sendiri membuka celengan ayam yang ternyata hanya berisi uang seribu delapan ratus rupiah.

Pagi sepulang shalat Idul Fitri, kuharap ibu sudah ada di rumah tapi ternyata belum juga datang, kita berlebaran hanya berempat di rumah. Aku, dek Dhena, dek Anjar dan mbah, lebaran tanpa senyum ceria, lebaran dengan lelehan air mata di sudut mata setiap menyaksikan teman-teman silaturahim bersama ayah dan ibunya, lebaran dengan baju baru ala kadarnya dan hanya memegang uang seribu rupiah dari hasil mbah menjual beras semalam.

“Allah … Ajari Rhen setangguh anak bebek, agar Rhen tetap bisa bertahan hidup meski tanpa ayah dan ibu.” Gumamku lirih sambil menahan isak tangis yang terasa begitu menyumbat saluran nafas dan sesakkan dada.

***

Aku kini layaknya anak bebek. Yaa … aku anak bebek yang harus tangguh dan berjuang menaklukkan tantangan hidup tanpa dekapan hangat cinta dan nafkah orang tua. Aku bisa, aku pasti bisa jalani semua ini.

Aku belajar bangkit dalam keterbatasan, aku belajar dan terus belajar untuk mempertahankan peringkat 1 di sekolah agar aku bisa masuk SMP favorit di Wonosobo. Dengan segala tekanan hidup, aku masih bisa memperolah juara 1 olimpiade matematika tingkat kecamatan dan nilai ujian akhirku masuk 10 besar tingkat kecamatan dengan nilai matematika tertinggi dari seluruh siswa SD di Kecamatanku.

Ibu begitu mendukung keputusanku untuk masuk SMP 2 Wonosobo, itu berarti aku harus tinggal di Wonosobo. Baru kuketahui kata orang-orang ibu sengaja membuangku agar aku tak mengusik kehidupannya dengan suami barunya. Sakit, sangat sakit. Namun aku harus bangkit, aku tak boleh tunduk pada keterpurukan, bangkit, terus melaju, abaikan kesakitan yang menghujam dan fokus pada pencapaian cita-cita.

SMP dan SMA aku selalu bersekolah disalah satu sekolah favorit di Wonosobo, selama SMP aku selalu peringkat 3 besar, kelas 1-2 SMA 5 besar  juga masuk dalam kelompok bimbingan olimpiade Biologi.

Semua itu aku peroleh bukan tanpa perjuangan. Setelah aku masuk SMP aku tinggal bersama pakdhe dari ayah. Berat, sangat berat. Aku tak bisa menikmati masa remajaku, kebebasan hidupku terpasung oleh belenggu aturan yang kadang tak masuk akal, aku tak pernah punya kesempatan untuk berpendapat, aku harus menjalani semua aturan yang pakdhe buat, bukan sekadar tak bisa bermain bersama teman, namun untuk bertemu adik juga sangat sulit, aku harus rela dimarahi jika mau kerumah simbah untuk bertemu dengan adik dan biasanya setelah aku melakukan kesalahan sekecil apapun aku selalu didiamkan beberapa hari. Aku juga tak pernah dianggap layaknya saudara setiap berkumpul di keluarga besar eyang, bahkan aku selalu diperlakukan seperti pembantu oleh saudara-saudaraku.

Aku memang sering menangis, namun kemudian tangisku itu justru menjadi sumber kekuatan untuk terus semangat belajar, agar aku berprestasi di sekolah sehingga bisa menjadi titianku menggapai sukses dan pada akhirnya merdeka dari semua keadaan ini, agar semua beban hidup segera berakhir dan aku bisa hidup bahagia bersama adikku.

Tantangan hidup yang semakin berat aku hadapi saat kelas 3 SMA, baik pihak pakdhe maupun ibu sangat menentang keinginanku untuk melanjutkan kuliah. Setengah tahun aku berjuang agar tetap bisa melanjutkan kuliah sampai akhirnya simbah dari ibu merelakan sawahnya dijual untuk biaya kuliahku.

5 Mei 2009 aku diterima di Universitas Negeri Semarang pada prodi pilihan kedua melalui jalur SPMU, awalnya tak ingin kuambil karena aku kurang berminat di prodi itu, namun jika tidak kuambil ibu mengancam tidak akan menjual sawah simbah, itu berarti aku tidak bisa kuliah. Butuh waktu panjang untuk meyakinkan hati, sampai akhirnya aku menuruti kemauan ibu. Bagiku saat ini yang penting aku bisa kuliah sebagai batu loncatanku menggapai kesuksesan.

***

Biaya kuliahku memang ditanggung simbah dari uang menjual sawah, namun ibu yang mengendalikan keuangan,  uang penjualan sawah masuk rekening tabungan ibu. Ibu tak pernah mau tahu kebutuhanku, aku sering kekurangan sampai aku tak pernah memberi tahu nominal beasiswaku agar aku bisa menggunakannya untuk kebutuhan hidup. Selain itu aku juga mulai mengajar di bimbel untuk mencukupi kebutuhan hidupku. Sampai semester 3 aku tak punya motor karena ibu tak mengizinkan motornya kubawa, jadi setiap mengajar aku selalu meminjam motor teman 1 kost dengan mengganti uang bensin.

Teman-temanku memang orang baik, mengetahui kesulitan keuanganku, Reva mengajakku untuk bekerja sama reseller baju dengan modal sepenuhnya dari dia dan laba dibagi 2. Itu berjalan sampai aku lulus. Selain itu aku juga jualan makanan khas Wonosobo, bros, dan anion dengan sistem bagi hasil, aku sama sekali tidak mengeluarkan modal.

Aku berusaha membagi waktuku untuk kuliah, organisasi juga bekerja sampai aku sering mengabaikan kondisi kesehatanku. Semester 3 aku mulai jatuh sakit, aku divonis dispepsia kronik sampai pernah muntah berdarah, hipotensi, anemia juga leukopenia. Ibu tak pernah mau tahu, malah justru memarahiku. Aku berjuang sendiri untuk berobat dengan biaya yang tak sedikit.

Lagi-lagi justru teman-temanku yang begitu peduli, mereka tak pernah berkeberatan meminjamkan uang untukku berobat tanpa pernah meminta batas waktu pengembalian. Bahkan saat aku harus terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit karena GERD, mereka yang menemani juga mencarikanku pinjaman untuk biaya opname-ku.

Aku tau, ini begitu berat, bahkan dalam kondisi kesehatan yang begitu lemahpun aku harus berjuang tanpa orang tua, namun inilah hidup yang begitu bermakna, ini hidup yang mengajariku agar setangguh anak bebek yang mampu taklukkan keadaan, aku harus bisa, pasti bisa menghadapi semua ini.

3 bulan menjelang lulus aku tidak lagi mendapat uang saku padahal aku sudah tidak mengajar di bimbel. Pendapatanku hanya dari  laba jualan baju, bros, makanan khas Wonosobo juga anion yang jika diakumulasi tetap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhanku apalagi aku sedang butuh banyak biaya untuk menyelesaikan Tugas Akhir.

Lagi dan lagi, tantangan yang semakin berat justru membuatku semakin bersemangat. Dengan kondisi kesehatanku yang belum pulih benar, aku bergerak cepat mengerjakan TA dengan biaya pinjaman dari teman-teman, disela-sela kesibukan mengerjakan TA aku tetap berjualan dari kost ke kost yang salah satu penghuninya kukenal. Kebetulan saat itu aku sudah membawa motor, meski harus ribut dengan suami ibu namun aku tak peduli, karena aku membawa motor untuk menyambung hidupku, bukan untuk bersenang-senang.

Indah, begitu luar biasa hidup ini kujalani, dengan segenap perjuangan dan pengharapan akan perubahan hidup ke arah yang lebih baik, aku yakin Allah pasti memberi akhir cerita yang indah untukku, cerita hidup yang begitu bermakna.

Alhamdulillah … 28 agustus 2012 aku lulus sidang Tugas Akhir tanpa revisi, selang 1 minggu kemudian aku diterima sebagai Staff HRD sebuah LSM, sebelum aku memiliki ijazah, hanya bermodal surat bukti validasi transkrip nilai dan surat keterangan lulus. Aku tak perlu lagi pontang-panting mencari pinjaman untuk sekadar bertahan hidup.

***

“Mbak, kok malah nangisnya sesenggukan? Ini kan hari bahagianya mbak,” Kata dek Ika yang sadarkan lamunanku sedari tadi sambil menangis dalam pelukannya.

“Mbak nggak nyangka akhirnya bisa lulus dek,” Jawabku singkat sambil melepas pekukannya dan menyeka tangis.

“Allah selalu memberi kemudahan dan indah pada akhirnya kan mbak?” Kata dek Ika sambil tersenyum.

Aku hanya membalas dengan senyum, beban berat selama 17 tahun ini rasanya telah hilang terhempas oleh ijazah dan transkrip nilai yang kini kugenggam, begitu ringan nafas ini, tak lagi sesakkan dada. Indah dan damai dalam binar rona bahagia. Namun ini belum akhir cerita, ini baru sepotong episode dalam perjalanan hidupku, kesuksesanku pasca lulus dan masa depan yang indah sudah menanti untuk segera kuhampiri.

Hidup ini indah kunikmati. Meski kadang kesakitan menghujam dan menggerogoti benteng ketangguhan diri.

Hidup ini indah kunikmati. Siapa yang berharap ada jalan berkelok dan terjal dalam alur hidupnya? Tak ada! Namun takdir tak pernah salah bidik, mengokohkan hati yang mengimani, bukan mencabik dengan luka.

Semangat menjadi yang tangguh, jauhi keluh yang buat kekuatan meluruh, jadikan kesungguhan ikhtiar dan senandung doa sebagai teman perjalanan hidup. Hadapi, taklukkan tantangan dan majulah dalam barisan orang-orang luar biasa. Layaknya anak bebek yang tak pernah menyerah akan beratnya tantangan hidup.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Sosok biasa yang terus belajar untuk menjadi luar biasa, karena-Nya ...

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization