Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Kepada Yang Maha Cinta

Kepada Yang Maha Cinta

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (blogspot/rohan-sutup)
Ilustrasi (blogspot/rohan-sutup)

dakwatuna.com – Kekuatannya begitu bening, menembus jagad sukma dan nurani hampa. Kekuatannya menggerakkan dengan lugas, tanpa pikir panjang pun siapapun akan memberikan daya yang terbaik. Rasa-rasanya, gunung pun bisa dilintasi tanpa mengharapkan fasilitas dan sarana. Lagak-lagaknya, bisa menyeruak ombak dan badai nan ganas, dengan tekad yang menghujam hati. Bisa-bisa, seisi kota menjadi berapi-api karena terbakar semangat yang mengharu-biru melebihi semangat zaman. Bisa-bisa, arus yang konsisten pun akan terjelajahi setiap riak gelombangnya melebihi rasa putus asa dan upaya untuk menantang arus.

Rasa ini terus bergerak, tapi tak tahu apa yang hendak dicapainya. Apakah ingin mendapatkan gelang indah Kisra Persia, sutra menawan dari Tanah Arab, ataukah kemegahan Colosseum Bangsa Romawi. Mungkin saja itu belum cukup, bisa jadi rasa ini terus bergerak berputar mencari pusat orbit kejayaan. Tamasya di Taman Gantung Babilonia, perkebunan subur nan indah penduduk Aikah, kemegahan dan keunikan arsitektur Aleksandria di Mesir, tanah makmur dan adil yang dipimpin Raja Najasyi di Habasyiyah, Tiang dan Mihrab Suci Masjid Al-Aqsha di Palestina, ataukah rasa ini akan terus bergerak mencari getar hati yang sesungguhnya.

Sebuah kondisi yang mencengangkan, rasa yang terus bergerak entah mengikuti kehendak yang memiliki rasa ataukah tidak mematuhi kehendak yang memiliki rasa tersebut. Seakan-akan tidak berujung, terus bergerak mencari kepastian, seperti kehilangan pijakan dan tak terkendali dengan akal sehat. Terus mencari apa yang sesungguhnya memang pantas dicari atau memang tak pantas untuk menjadi tujuan utama. Rasa yang membuat seluruh tubuh menjadi gelisah dan seperti kehilangan arah. Seakan-akan mengambang di udara dengan ketinggian yang membuat nyaman padahal tengah kehilangan pijakan. Seakan-akan leluasa bergerak kesana kemari tak tentu padahal tengah mengalami reduksi nilai, entah nilai siapa lagi yang harus dijadikan acuan, karena hampir semuanya mengaku sabagai pemilik kebenaran. Padahal di antara begitu banyak kebenaran nisbi hanya ada satu kebenaran yang absolut.

Menurut Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, dalam Raudhatul Muhibbin wan Nuzhatul Musytaqin, terdapat beberapa kemungkinan dari terjadinya pergerakan, antara lain:
1. Pergerakan karena didorong oleh kehendaknya artinya gerakan tersebut memang dikehendaki oleh dirinya sendiri.

2. Pergerakan yang lahir bukan berdasarkan kehendak, yang berarti ada dua kemungkinan:
a. Apabila pergerakan itu menuju ke pusatnya, maka itu merupakan gerakan alamiyah.
b. Apabila pergerakan itu bergerak tidak ke pusatnya, maka itu merupakan gerakan yang terpaksa.

Dengan pendapat Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ini, Semakin jelaslah bahwa rasa yang misterius dan sulit di definisikan ini bisa jadi karena kehendak yang dikehendaki pemilik rasa dan juga bukan berdasarkan kehendak pemilik rasa, bergerak ke pusat orbit disebut gerakan alamiah, bergerak tidak ke pusat disebut gerakan yang terpaksa. Banyak orang-orang yang kemudian senang menyebut rasa misterius ini dengan sebutan Cinta. Sulit di definisikan, tapi Cinta dengan kekuatan beningnya, bersumber dari Yang Maha Cinta, telah menjadi saksi sejarah perjalanan Dakwah Rasulullah SAW, Para Sahabat, dan Generasi orang-orang Shalih setelahnya. Untuk menggambarkan seperti apa itu rasa cinta, ada sebuah kisah yang semoga menginspirasi kami kutip dari Buku Jalan Cinta Para Pejuang karya Salim.A Fillah yang menceritakan tentang percakapan ‘Umar bin Khaththab ra dan Rasulullah SAW:
“Ya Rasulallah”, kata ‘Umar perlahan, “Aku mencintaimu seperti kucintai diriku sendiri.” Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tersenyum. “Tidak wahai ‘Umar. Engkau harus mencintaiku melebihi cintamu pada diri dan keluargamu.”
“Ya Rasulallah”, kata ‘Umar, “Mulai saat ini engkau lebih kucintai daripada apapun di dunia ini.”
“Nah, begitulah wahai ‘Umar.”

Muncul pertanyaan di benak kita tentang ketegasan ‘Umar bin Khaththab ra yang juga berlaku pada cinta. Bagaimana bisa orang seperti ‘Umar menata kembali cintanya agar bergerak dari cinta kepada diri sendiri berpindah dengan konstan pada kecintaan kepada Sang Nabi. Hanya dalam waktu yang singkat ‘Umar Sang Oposisi Kebathilan merubah arah gerak cinta yang merupakan persoalan hati langsung untuk mencinta Rasulullah SAW. Karena bagi beliau, cinta itu bergerak didasari oleh kerja-kerja dan amal nyata. Beliau memahami cinta sebagai kata kerja, tak perlu berrumit-rumit dengan persoalan hati, dengan menata ulang kerja-kerja dan amal dalam mencintai, maka hati akan menjadi makmum bagi kerja-kerja cinta yang dilakukan oleh amal shalihnya.

Inilah cinta, gerakan revolusioner yang apabila terus berkumpul dalam satu titik, akan melahirkan hentakan. Hentakan yang dahsyat dan begitu luar biasa menggetarkan jagad raya. Apalagi bila cinta tersebut didedikasikan hanya kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka cinta-cinta yang lain akan mengikuti dan menjadi makmum bagi cinta absolut yang sesungguhnya, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Hentakan cinta ini melebihi keindahan gelang indah Kisra Persia, melebihi daya tarik sutra menawan dari Tanah Arab, dan lebih megah nan mulia dari kemegahan Colosseum kebanggaan Bangsa Romawi.

Alkisah di Negeri Cina, pada zaman Tiga Kerajaan mendominasi peradaban Cina, hiduplah seorang raja yang begitu visioner memandang kemajuan dinasti yang dipimpinnya yaitu Dinasti Shu. Raja yang memimpin Dinasti Shu ini bernama Liu Bei, raja muda yang adil memimpin para panglima terbaik di zamannya. Sebut saja Zhuge Liang, Guan Yu, Zhang Fei, Zhao Yun, Ma Chao, dan beberapa tentara loyal yang berkapasitas dan siap berjuang di bawah keadilan Liu Bei. Liu Bei begitu mencintai setiap panglima dan tentaranya yang loyal terhadapnya, rasa cinta ini dimanifestasikan dengan menganggap para panglima dan tentaranya sebagai saudaranya. Dan suatu ketika, ketika terjadi bentrok antara Dinasti Shu dan Dinasti Wu, salah satu panglima terbaik dari Dinasti Shu harus menjadi korban, Guan Yu terbunuh. Liu Bei yang terlanjur mencintai para panglima dan tentaranya seperti saudaranya sendiri harus merasakan duka yang begitu mendalam. Rasa cinta yang begitu mendalam yang dimiliki Liu Bei berujung pada pembalasan dendam atas kematian Guan Yu kepada Dinasti Wu. Balas dendam ini menimbulkan konflik yang berkepanjangan, rasa cinta yang tadinya tulus dan begitu murni berakhir pada konflik berkepanjangan karena memposisikan cinta hanya sebagai rasa. Sehingga cinta yang dimiliki Liu Bei harus terkontaminasi dengan noda darah yang kotor dari ujung tombak dan mata pedang, karena tak ada yang membatasi dan mengatur cinta itu. Sehingga cinta nampak indah sabagai anugerah dari Yang Maha Cinta.

Berbeda dengan cinta Rasulullah SAW kepada para Sahabat dan cinta para Sahabat kepada Rasulullah SAW. Sekalipun Rasulullah SAW adalah pemimpin, sebagai teladan terbaik ia tidak memposisikan diri sebagaimana pemimpin-pemimpin di negeri tetangga. Tidak seperti Raja di Negeri Persia, tidak seperti Kaisar Agung di Byzantium Romawi, Rasulullah SAW membina hubungan yang baik layaknya persaudaraan yang kokoh dalam Iman. Hubungan mereka begitu indah dalam harmoni persaudaraan atas dasar aqidah, yang mana cinta mereka tidak liar dalam implementasinya, karena senantiasa dibatasi oleh pagar-pagar syariat Islam. Suatu ketika, sebelum Khalid bin Walid memeluk Islam, dan masih berstatus sebagai musuh Islam, Al-Walid bin Walid mengirimkan surat dengan sepenuh cinta kepada beliau. Surat ini berisikan ajakan dari Al-Walid bin Walid kepada Khalid bin Walid agar memeluk Islam. Al-Walid bin Walid juga menuturkan tentang cinta Rasulullah SAW kepada Khalid bin Walid dengan menanyakan kabar beliau. Sungguh indah akhlak dan cinta Rasulullah SAW sekalipun saat itu Khalid bin Walid belum memeluk Islam.

Jika saja ingin kembali melihat track record Khalid bin Walid pada Perang Uhud, di mana beliau berhasil memukul mundur pasukan Islam sehingga Rasulullah SAW dan para sahabat mengalami cedera, sungguh memilukan hati apabila mencinta orang yang pernah menjadi musuh Allah. Di Peristiwa Uhud, Rasulullah SAW harus merasakan cedera fisik akibat serangan kafir Quraisy, bahkan para Sahabat yang mengelilingi untuk melindungi beliau harus kemudian merasakan sabetan pedang yang beruntun dan terjangan anak panah yang mengincar Baginda Nabi SAW. Di Perang Khandaq pun Khalid bin Walid menjadi salah satu bagian dari Pasukan kafir Quraisy di bawah pimpinan Abu Sufyan yang sempat membuat Pasukan Islam kelabakan karena serbuan kafir Quraisy dari Utara dan pengkhianatan Yahudi Bani Quraizah dari arah Selatan. Sampai kemudian datang pertolongan Allah yang memenangkan kaum Muslimin para perang Khandaq tersebut.
Namun, begitulah cinta yang diajarkan oleh Yang Maha Cinta, tentang bagaimana Rasulullah SAW, Para Sahabat, dan seluruh Kaum Muslimin untuk menempatkan cinta kepada Allah sebagai prioritas utama dalam permata mahligai cinta dalam kehidupan. Meninggalkan segala bentuk dendam dan prasangka buruk menuju cinta yang benar-benar jernih dan tulus seindah persaudaraan yang diikat oleh Aqidah menembus sekat-sekat kesukuan, status sosial, pangkat dan jabatan, sehingga cinta tersebut dapat mengaburkan segala bentuk penyakit hati yang bersemayam dalam jiwa. Inilah cinta dari Yang Maha Cinta.

“Aslama Khalid!!.. Aslama Khalid!!.. Aslama Khalid!!” Seantero Madinah gempar dengan Islamnya Khalid bin Walid yang nantinya akan menjadi salah satu panglima Islam terbaik yang pernah ada, menggetarkan Singgasana Kisra di Persia dan menggentarkan mahkota Heraclius di Romawi. Dengan sepenuh cinta, Rasulullah SAW bersabda: “Dari sekian banyak pedang, Khalid bin Walid adalah Pedang Allah yang terhunus.”

Kepada Yang Maha Cinta, mari kita memohon ampun atas setiap cinta-cinta yang semu. Kita memohon ampun atas setiap cinta yang memalingkan kita dari cinta yang sesungguhnya, cinta yang absolut, cinta kepada Yang Maha Cinta, Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.
Kepada Yang Maha Cinta, kita menyadari bahwa tak ada satupun di dunia ini cinta yang dapat melampaui Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Cinta ini lebih indah dari tamasya di Taman Gantung Babilonia. Cinta ini lebih subur dari perkebunan subur nan indah penduduk Aikah. Cinta ini lebih megah dari kemegahan dan keunikan arsitektur Aleksandria di Mesir. Cinta ini lebih makmur dari tanah makmur dan adil yang dipimpin Raja Najasyi di Habasyiyah. Cinta ini lebih suci dari tiang dan mihrab suci Masjid Al-Aqsha di Palestina.
Kepada Yang Maha Cinta, kita akan mengikrarkan diri untuk mencintai Dakwah, sebagai salah satu sarana mencintai Allah dan Rasul-Nya. Kita mencintai Dakwah dan Umat ini sebagaimana Rasulullah SAW mencintai umatnya. Kita mengakrabkan diri dengan cinta kepada ketaatan, menjauhi segala larangan Allah, beramar ma’ruf dan mencegah kemungkaran sebagai deklarasi Sang Pencinta Sejati. Dengan segenap cinta Kepada Yang Maha Cinta.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Alumni Universitas Tadulako Sulawesi Tengah, Penulis Lepas, Trainer Nasional Faktor Destruktif Remaja Kemenpora RI, Trainer Nasional Character Building Kemenpora RI, Aktif di KAPMEPI Sulawesi Selatan.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization