Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Ada Jingga di Mataku

Ada Jingga di Mataku

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Seperti biasanya, siang ini aku bertemu lagi dengan Gadis Kecil penjual ikan itu. Dia selalu melewati halaman rumahku setiap mau pergi maupun pulang sekolah. Gadis Kecil yang menarik. Dia masih kelas tiga SD. Sering kudengar bisik tetangga bahwa Gadis Kecil ini pintar di sekolah serta baik perilakunya. Wajahnya manis, kulitnya gelap dan paling mungil di antara teman-temannya, gadis kecil yang periang. Lewat di depan rumahku dengan seragam merah putih, sepatu ditenteng. Rambutnya agak panjang dikuncir dua, kuncir yang semrawut. Kualihkan pandangan ke kakinya, terlihat kotor penuh debu.

Beginilah Sekolah Dasar di kampungku, sejak dulu murid tidak diizinkan memakai sepatu di dalam kelas. Alhasil sepatu cuma dipakai saat berangkat sekolah, setelah masuk kelas hingga pulang ke rumah sebagian besar anak tidak lagi memakai sepatunya. Jangan heran kalau akhirnya sepatu mereka tahan lama.

***

“huuuu…huu..hu..uhh……,hiks…,hiks……..”
“Astaghfirullah……….” Aku tersentak. Nafasku tersenggal. Air mata mengalir di pipiku. Untuk kesekian kalinya memori masa kecilku hadir dalam tidurku. Seperti malam ini, dalam mimpi aku terisak menangis hingga akhirnya terbangun. Mimpi itu sangat dekat, aku teramat merasakannya.

Dalam mimpiku malam ini, aku menangis sambil berlari kencang. Ayah mengejarku seperti mengejar maling. Kaki mungilku berlari dengan lincah menelusuri pematang sawah, sore menjelang malam. Dalam suasana yang hampir gelap seutuhnya dan penuh dengan rasa takut aku berurai air mata. Takut pulang dan tak ingin sama sekali pulang. Dingin, takut, sedih dan entah perasaan apa lagi yang kurasa. Hingga akhirnya paman menemukanku masih terisak di bawah pohon kopi di tepian sawah tidak jauh dari rumah. Aku benci Ayah.
Mimpi ini membuatku terpaksa mengingat kembali kisah silam itu.

***

“Dasar anak tak tahu diri. Memalukan!!! Benar-benar memalukan…!!!” Aku mengintip dari balik tirai jendela rumah.
Dadaku naik turun. Entah sudah berapa kali gadis kecil yang baik hati itu kulihat diperlakukan tidak baik oleh Ayahnya. Awalnya dia dikejar-kejar hingga Ayahnya mendapatkannya. Setelah itu si Ayah mengambil rotan yang memang sengaja disimpan untuk memukul anaknya itu bila melakukan kesalahan. Berkali-kali rotan itu dilecutkan ke kaki Si Gadis Kecil. Dia meraung kesakitan, terisak-isak sambil memohon kepada Ayahnya agar tidak dilecut lagi.

“Ampun Yaaah……, ampun Yaaahh. Tak kan ulangi lagi Yaaah……janji Yaaahh….Maaf Yaah…..”
Tetapi si Ayah keasyikan memukulinya hingga Si Gadis Kecil tidak mampu lagi mengeluarkan suara dalam tangisnya.
Tidak ada yang membela anak itu. Hatiku pilu. Dadaku naik turun. Ada sesuatu yang kurasakan. Perasaan berkecamuk. Pasti nanti malam aku akan bermimpi lagi. Ingin sekali aku berlari keluar rumah, manarik tangan anak itu dari cengkraman Ayahnya dan membawanya lari ke dalam rumahku. Karena Aku merasakannya…….sangat…..

***

Keesokan harinya dan dua hari berikutnya tak kulihat lagi Si Gadis Kecil. Andai dia lewat Aku ingin bertanya ada apa sehingga kemarin itu dipukuli? Akhirnya kuputuskan main kerumahnya. Di dalam rumah yang lebih cocok disebut gubuk itu kudapati hanya ada Gadis Kecil itu. Ayah dan Ibunya tidak dirumah.

“Apa kabar dek….?” Tanyaku sambil tersenyum. Gadis Kecil itu hanya membalas dengan senyuman. Dia berbaring di atas gulungan kasur yang sudah sangat tipis berselimutkan kain lusuh. Sesuai dugaanku dia sakit. Aku mengelus kepala anak itu penuh iba. Kusingkap selimut yang menutupi kakinya. Ada garis-garis biru bekas rotan.

“Aduh sakit kak jangan disentuh……” Katanya pada saat aku meraba kakinya.
“Oh maaf sayang….” Kulihat dia meringis tanda kesakitan.
Hari itu kuluangkan waktu untuk menghiburnya. Sambil berbincang-bincang. Ternyata beberapa hari yang lalu itu dia telah membelanjakan uang temannya. Mereka berniat menabung bersama dan Si Gadis Kecil dipercaya menyimpan uang itu.

Tiba-tiba ada perintah dari guru di sekolah agar membeli satu buah buku tulis, pensil, penggaris, penggarut dan penghapus. Si Gadis Kecil telah meminta uang kepada Ibu dan Ayahnya, tetapi mereka tidak punya uang. Kemudian timbul niat untuk meminjam uang tabungan itu, bukan mengambil. Suatu saat akan diganti.

Malangnya orang tua temannya mengetahui tabungan itu dan melarang anaknya ikut, serta meminta agar uangnya dikembalikan. Karena tidak bisa mengganti, orang tua teman Si Gadis Kecil memaki-makinya dan juga Ayah Ibunya. Makanya Ayahnya naik pitam karena malu, tanpa mau tahu kenapa anaknya melakukan hal itu. Langsung dihukum tanpa diadili, disebabkan uang yang tidak seberapa nominalnya itu ia tega memukuli anaknya.

Setelah lama bercerita, tiba-tiba dia bangkit dari tidurnya dan memelukku. Mengangis tersedu, tubuhnya terguncang. Kurasakan ada resonansi di dalam jiwa kami. Entah kenapa aku sangat sedih. Hidup dalam himpitan ekonomi, diabaikan orang yang disayang dan sering mendapat perlakuan kasar dari orang tua. Jelas jiwanya tertekan. Ingin sekali menjadi kakak asuhnya dan hidup bersamaku. Dia yang sekarang adalah potret aku di masa laluku.

“Ada Jingga di mata kakak…….” Bisikku pelan. Kusadari ternyata Aku menyayangi Gadis Kecil yang bernama Jingga ini.

***

“Ibu…., bunuh saja Vina….., bunuh saja Vina…., bunuuuuhhhhh….” Kalimat itu ku ucapkan berulang.
Peristiwa itu saat usiaku sembilan tahun. Aku diseret keluar dari rumah Nenek menuju rumahku yang berjarak sekitar 20 meter. Aku ngambek tidak mau sahur, sebagai bentuk protesku karena sejak punya adik baru aku kehilangan kasih sayang dan perhatian. Penampilanku seperti anak tak terawat, acak-acakan ke sekolah. Prestasiku turun drastis. Ibu tidak begitu mempedulikanku lagi. Perhatiannya tercurah kepada bayi laki-lakinya yang baru. Aku merasa seperti anak tiri. Aku cemburu, aku muak. Begitu juga Ayah, dia sangat pemarah. Kesalahan kecil dihukum dengan hukuman yang berat. Sampai aku tidak mengerti beda antara benci dan cinta.

Ahh Jingga, kenapa kau mengalami yang seperti ini juga, ikut menjadi anak malang sepertiku. Tapi kelak setelah kau dewasa maafkanlah Ayahmu walaupun itu agak sedikit sulit. Ikhlas dan ikhlaskanlah. Seperti aku yang telah memaafkan dan mengikhlaskan Ayah Ibuku.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Putri minang asli, daerah asal adalah Mungka Kab. 50 Kota, Payakumbuh Sumbar. sekarang domisili di Batam, bekerja disalah satu perusahaan swasta.

Lihat Juga

Ingat Allah Hatimu Akan Tenang

Figure
Organization