Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Pemimpin yang Sesungguhnya

Pemimpin yang Sesungguhnya

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Seseorang mampu menjadi pemimpin tanpa harus menempati jabatan struktural sebagai ketua dan atau penanggung jawab suatu perkara, kemudian mempunyai banyak bawahan, staf, ataupun jundi. Dia hanya perlu untuk mau menanggung beban yang kebanyakan orang tidak mau memikulnya.

Pemimpin sejati, seseorang yang mau mengambil peran lebih banyak dari yang lain. Dia tidak harus menjadi apapun. Tapi di satu sisi dia juga siap untuk menjadi apapun, siap melakukan apapun. Karena semua amal yang dia emban sebagai amanah diyakininya akan menjadi sarana untuk mendapatkan surga. Dia tidak berkeinginan untuk melakukan banyak hal, tapi dia bertekad melakukan yang terbaik yang dia mampu. Semangatnya adalah semangat amal, semangat menanggung beban. Bukan sekadar semangat mendapatkan posisi dalam jabatan struktural.

Terkait kapasitas dan kualifikasi diri, biarlah Allah yang mencukupkanya. Sebagaimana mengurus orang banyak (baca: dakwah), Ust Hilmi Aminudin meneguhkankan kita, “Dakwah ini proyek Allah, dan Allah sendiri yang akan membiayai terselesaikannya proyek tersebut.”

Memang beramal (baca: dakwah) membutuhkan ilmu. Tapi kita juga tidak harus menunggu menjadi mufti untuk diperbolehkan berdakwah. Kita hanya harus menjadi generasi Rabbani sebagaimana tercantum dalam QS Ali–Imran: 79, “Hendaklah kaum menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan karena kamu tetap mempelajarinya”.

Maka semangat yang tumbuh di awal adalah semangat menanggung beban, semangat kesediaan untuk memikul beban lebih banyak dari yang lain. Biidznillah, dengannya nanti kemudian kita akan memenuhi segala kualifikasi diri seiring dengan tuntutan dan kewajiban-kewajiban yang harus kita penuhi untuk menyelesaikan beban (baca: amanah) tersebut.

Karena bukankah,
Begitu banyak orang mampu tapi tidak mau
Begitu banyak orang berpunya tapi tidak mengulurkan tangannya
Begitu banyak orang mengetahui tapi tidak peka punya naluri

Sekali lagi, kita hanya harus bersedia menanggung beban lebih banyak daripada yang lain. Teringat tekad (Alm) Ust Rahmat Abdullah,
“Seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa yang mengaku bertanggung jawab? Bila semua pihak menghindar, biarlah saya yang menanggungnya, semua atau sebagiannya…”

Ketika orang–orang sibuk memenuhi kebutuhannya sendiri, seorang pemimpin sibuk memenuhi kebutuhan orang lain. Dan ketika orang–orang beristirahat, seorang pemimpin masih terus bekerja untuk dirinya sendiri.  Karena justru, paradigma yang sebenarnya melekat pada status ketua adalah:
1. Tidak ada yang lain. Kamu adalah opsi terakhir
2. Tidak ada yang mau. Secara kualitas diri, kamu tidak jauh lebih baik dari yang lain
3. Korban keadaan. Karena yang lain tidak mau repot maka kamu yang diajukan

Maka sungguh,
Tidak harus menjadi ketua untuk melakukan amal– amal luar biasa. Kita hanya harus menjadi pemimpin. Meskipun justru lebih sering kita harus memimpin diri kita sendiri untuk kemudian memimpin orang lain.

Akan tetapi,
Jika suatu ketika Allah memberikan amanah kepada kita untuk menempati amanah struktural sebagai ketua dalam arti yang sebenarnya, Ambil dan nikmatilah. Ini adalah jalan untuk kita mendapatkan peluang amal yang lebih banyak dan lebih baik lagi. Dengannya kemudian semoga kita melahirkan pemimpin–pemimpin baru yang akan meneruskan estafet perjuangan dakwah ini.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 2.00 out of 5)
Loading...
Single fighter yang ayah-able | Petani Muda Berdasi | Wirausahawan | Pusat Al-Qur'an Terpadu | Barkasmal Jogja

Lihat Juga

Sudirman Said: Orang Baik Punya Kesempatan Besar Pimpin Indonesia

Figure
Organization