Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menikah, Awalnya Basmalah Selanjutnya Hamdalah

Menikah, Awalnya Basmalah Selanjutnya Hamdalah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Pernikahan - inet / arabe-media.com
Pernikahan – inet / arabe-media.com

dakwatuna.com –  Awalnya, saya memang punya keinginan untuk segera menikah di usia sekitar lulus SMA. Entahlah, semenjak saya ikut ROHIS di SMA bahkan sempat diamanahkan menjadi ketuanya, saya mulai memperbanyak bacaan buku mengenai Islam dan sebagian besar buku Islam bergenre remaja berbicara tentang cinta, motivasi, pergaulan muda-mudi Islam dan lain-lainnya. Dulu awalnya sering terbesit enggak enaknya jadi anak Rohis salah satunya harus banyak-banyak bersabar ketika melihat teman-teman seusianya melakukan hubungan-hubungan jahiliyah seperti pacaran. Bahkan naudzubillah beberapa teman-teman Rohis banyak juga yang resign/futur dari dakwah dan pengajiannya gara-gara sibuk dan tergoda pula. Namun salah satu yang menguatkan saya, selain tetap berkumpul dengan orang-orang yang keimanannya bisa membawa kebaikan, saya pun memperbanyak ilmu tentang Islam dan tentang hubungan laki-laki dan perempuan yang sesuai dengan syariat Islam.

Semenjak itu saya berazzam untuk menyegerakkan menikah. Menikah bagi sebagian orang merupakan sebuah pilihan yaitu mengenai kapan dan dengan siapa kita akan membangun rumah tangga. Namun bagi saya ini adalah amanah yang harus segera ditunaikan. Saya mengibaratkan seorang pemuda yang telah baligh maka di waktu itu seakan-akan seorang jamaah yang tengah berada di waktu adzan shalat telah berkumandang maka seharusnya tak harus menunggu lama lagi untuk segera menunaikan ibadah. Walau urusan yang besar ini (mitsaqan ghaliza) memang tidak hanya sebatas menyegerakan namun perlu adanya persiapan. Sebaik-baik bekal untuk dipersiapkan adalah bekal takwa. Sungguh ironi ketika hari ini saya menemukan banyak sekali para muslimah tengah menanti-nanti seorang yang segera mengajaknya untuk berlayar di samudera kehidupan rumah tangga. Namun hal yang dinantikan tak kunjung datang. Di sisi lain saya pun melihat sahabat-sahabat atau saudara-saudara ikhwan yang entahlah dari segi usia, kematangan emosi dan kemampuan ekonomi sudah mencukupi namun masih saja bertahan dengan kesendiriannya.

Jadi teringat salah satu riwayat Rasulullah SAW mencela seorang sahabat yang hendak berbuat ekstrim tak akan menikah karena ingin berkonsentrasi dengan ibadahnya. Semoga saudara-saudara para ikhwan yang masih membujang tidak termasuk yang dicela oleh beliau.

Beberapa bulan yang lalu bahkan saya menerima BBM dari salah satu akhwat teman di beda sekolah dulu. Inti dari pesan yang ia kirim adalah ia minta dicarikan ikhwan yang siap menikah syaratnya adalah berkomitmen dengan pengajian dan keislaman. Lanjutnya bahkan sambil mengatakan “kami para akhwat tak akan mempermasalahkan kemapanan ekonomi”. Pikir saya dalam hati ikhwan bujang yang shalih sih banyak saya temui tapi ketika dihadapkan dalam urusan ini entahlah saya kok banyak ragunya kalau para ikhwan siap. Itu mungkin potret realita hari ini bahwa akhwat yang ingin segera menikah namun di sisi lain para ikhwan juga masih belum berani untuk melangkah. Di tempat lain saya menemukan beberapa akhwat sudah mulai memasuki usia senja untuk menikah namun tak kunjung ada ikhwan yang datang ke rumah. Sebuah realita sosial yang kita selaku muslim yang sedang berusaha menjadi muslim yang baik maka kita perlu peduli dengan kondisi di sekitar kita.

Saya pernah membaca quote yang menurut saya sesuai dengan realita sosial yang saya ceritakan tadi. “Menikah itu hanya berbicara 2 : yang pertama, penantian seorang akhwat dan yang kedua keberanian seorang ikhwan”. Oleh karena itu kita harus menguatkan para akhwat dalam penantiannya dan memunculkan keberanian dari diri para ikhwan.

Awalnya dengan mengucap basmalah dan akhirnya perjuangan itu saya mulai. Saya beranikan diri mendatangi ustadz untuk konsultasi mengenai urusan menikah kepada ustadz yang saya pikir telah banyak ilmu dan pengalamannya. Saya lupa mungkin saya melakukan hal ini sekitar tahun 2012. Di awal 2013 akhirnya saya pun membuat biodata singkat dan beberapa catatan-catatan mengenai berbagai perencanaan dalam rumah tangga. Kata ustadz saya harus menunggu apakah akhwat yang akan ditawari untuk menikah sudah siap menikah atau belum. Hari berganti hari hingga berlalu, Allah masih menguji kesabaran saya. Karena cukup lama saya menunggu informasi yang diharapkan. Saya masih teringat dengan materi pengajian mengenai basmalah yang senantiasa menguatkan saya walau berbagai ujian datang bertubi-tubi. Ujian pertama adalah ujian batin mengenai keberanian diri padahal usia saya masih terbilang muda saat itu berusia 22 tahun. Mungkin yang jadi masalah adalah salah satunya adalah urusan ekonomi pada saat itu penghasilan saya masih belum jelas.

Saya berani melangkah, pada saat itu hanya berbekal kemampuan mengajari anak untuk belajar privat mengaji dan uang yang dikasih sebagai insentif hanya 200 ribu setiap dua pekan. Dan ternyata niat baik itu disambut oleh sang akhwat. Seorang akhwat sarjana yang baru saja lulus dan baru mengajar di sebuah SD. Entah ini juga ujian bagi saya yang tentunya ketika dilihat dari segi ekonomi tidak seberapa dibandingkan dengan penghasilan akhwatnya. Begitupun strata pendidikannya. Kami pun ta’aruf waktu itu sekitar bulan Oktober dan Alhamdulillah ternyata akhwat tersebut bersedia. Selang satu pekan saya diminta untuk mendatangi kedua orang tua akhwat tersebut. Waktu itu ditemani dengan seorang sahabat saya melaju dengan mengendarai sebuah motor dengan waktu tempuh hampir 4 jam. Yang saya khawatirkan adalah mungkin banyak yang dikhawatirkan para ikhwan yaitu tentang bagaimana nanti kalau ditanya terkait dengan urusan persiapan atau keadaan ekonomi oleh calon mertua? Entahlah pada saat itu justru tak ada sepatah kata pun percakapan mengenai hal itu. Akhirnya saya diminta untuk datang bersama keluarga jika memang saya benar-benar serius. Selang satu pekan saya pun datang bersama keluarga waktu itu tepat di hari raya Idul Qurban dari pihak saya mengkhitbah. Dan hanya berselang 3 pekan dari khitbah, kami melangsungkan pernikahaan. Dalam waktu yang singkat saya pun cukup kebingungan darimana saya dapat uang untuk biaya pernikahan. Waktu itu saya punya tabungan sekitar 1,2 juta. Sebagian sudah habis dipakai investasi bisnis namun bisnisnya gagal. Kemudian, 600 ribu, saya sedekahkan kepada salah satu teman yang sedang terjerat rentenir. Pihak akhwat berharap ada pesta pernikahan soalnya akhwat yang saya nikahi anak perempuan satu-satunya. Jika memang dihadapkan dalam kemampuan ekonomi mana mungkin saya bisa membantu menyumbang untuk biaya pesta itu. Tapi entahlah semua sudah diurus oleh keluarga termasuk urusan mahar. Waktu itu saya hanya meminjam uang ke teman 500 ribu. Sedangkan 300 ribunya untuk membayar percetakan surat undangan dan sisanya untuk kebutuhan yang lain. Alhamdulillah semuanya berjalan dengan lancar. Allah AWT memang berkuasa atas segala urusan makhluk-Nya. Bahkan saya langsung memboyong istri tanpa harus tinggal bersama mertua atau tinggal di rumah orangtua saya. Saat ini kami menempati rumah salah seorang dosen yang tengah mengambil studi di Jerman. Kami menempatinya dengan gratis bahkan sang pemilik berterima kasih.

Alhamdulillah. Semoga para ikhwan bersegera melangkah menggenapkan dien dan saya hanya mengingatkan bahwa pernikahan yang berkah bukan dilandasi oleh kehidupan ekonomi yang mapan melainkan ketakwaanlah yang akan menjadi bekal terbaik di dunia sampai akhirat. Jangan sampai kita terjebak oleh hegemoni kehidupan yang semakin mengedepankan nalar materialistik. Dan selanjutnya bersiaplah untuk memperbanyak hamdalah atas segala pertolongan dan nikmat yang akan Allah hujani kepada kehidupan kita.

Dan ketika saya menulis ini, Alhamdulillah istri saya tengah mengandung anak pertama kami usianya sekitar 3 bulan. Semoga kelak terlahir manusia yang menjadikan bumi ini berbobot dengan pengagungan kalimat tauhid; laa illaha illallah.

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Ketua Yayasan Profetik Muda Indonesia.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization