Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Hanya Allah yang Jadi Tujuan

Hanya Allah yang Jadi Tujuan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – Berbicara soal salimul aqidah, aqidah bagi seseorang muslim, ialah pondasi awal dalam menjalankan kehidupan. Maka aqidah laksana konsep juga paradigma di dalam hati yang menuntunnya dalam menentukan arah dan berjalan ke arah yang diyakini. Bahkan Sayyid Sabiq mengungkapkan bahwa aqidah adalah cahaya yang apabila manusia tidak mendapatkannya, maka ia akan tersesat dalam berbagai kancah kehidupan, dan mengalami kebingungan di berbagai lembah kesesatan[1].” Dengan kemantapan aqidah, seorang muslim akan menyerahkan segala perbuatannya kepada Allah sebagaimana firman-Nya yang artinya: “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, semua bagi Allah Tuhan semesta alam” (QS 6 : 162). Ayat tersebut garis besarnya tidak mengedepankan makhluk atas Khaliq[2]. Para pembaca yang berbahagia, jelas bahwa Allah SWT sebagai “Khaliq” ialah tujuan utama dari semua aktifitas yang dijalani (Allah Oriented).

Ada sebuah kisah dalam suatu organisasi, seusai shalat dzuhur berjamaah Rudi, Ahmad dan Uus sedang istirahat sambil bersandar di koridor masjid kampus. Percakapan pun terjadi “beuhhh organisasi sekarang ini nampaknya kurang progres ya Us, dengan kondisi kader yang minim, pengurus pun disibukan PPL, KKN, Job training dan lain-lain lah apa yang keliru ya Us?” tanya Rudi. “iya nih aku juga kurang semangat, aneh tau dulu mah yah sewaktu Kang Hanif Fuadi yang menjabat, aku mah bela-belain panas-panasan, hujan-hujanan, berangkat sendiri, angkut-angkut barang berat tapi sekarang semenjak kang Hanif Fuadi lulus aku jadi sangat berat banget untuk melakukan semua itu. Maklum lah kang Hanif Fuadi itu orangnya ABCDEFGH alias Asik, Baik, Cakep, D’best lah, Easy going juga, Fun, Gaul dan humoris sosok qiyadah yang cucok pokoknya mah”. ujar Uus panjang lebar. “ohhh jadi ente mah Us melakukan hal tersebut karena ada kang Hanif Fuadi yahh, bukan karena ada Allah Swt?”. timpal Ahmad. Percakapan serentak berhenti dan ketiga aktifis tertidur di pelataran masjid.

Dari penggalan kisah di atas, hal penting yang perlu dipahami ialah Allah Swt di nomer berapakan dalam berorganisasinya? Bukankah hidup dan mati ini hanya untuk Allah Swt semata? Jadi ini yang dinamakan salimul aqidah? Iya, dari mananya?? Memang kadang kita butuh teladan dalam beraktifitas, hanya saja kembali lagi Khaliq diutamakan di atas Makhluk. Efeknya saat seseorang yang dikagumi tidak ada ialah kondisi prihatin yang boleh jadi seseorang itu mau bekerja karena ada seseorang yang dikaguminya bukan karena Allah Swt.

Pelajaran penting pula yang serupa dengan kisah di atas. Mengenai kisah Wafatnya Rasul Saw, Umar bin Khattab r.a. berkata: “Demi Allah, tiada seorangpun yang kudengar menyebutkan Rasulullah Saw. wafat, melainkan akan kupenggal (kepalanya) dengan pedangku ini!” Kemudian Abu Bakar angkat bicara, “Barangsiapa di antara kalian yang menyembah Muhammad, maka sesungguhnya Muhammad telah wafat. Dan barang siapa di antara kalian yang menyembah Allah, maka sesungguhnya Allah hidup dan takkan pernah mati.” Saat itu pula Umar menyadari[3]. Pelajaran pentingnya adalah lagi-lagi kembalikan segala urusan kepada Allah.

Kisah menarik selanjutnya yang bisa menguatkan niat kita pada Allah Swt di setiap kehidupan seperti kisah teladan Jendral Khalid bin walid. Jendral Khalid bin Walid seorang jendral yang ditakuti lawan dicintai kawan namanya harum kemana-mana kalau beliau datang kesuatu tempat disambut meriah “hidup Khalid bin Walid, hidup Khalid bin Walid”. Suatu ketika Jendral Khalid bin Walid di garis depan medan peperangan tiba-tida secara mendadak datang surat perintah dari panglima tertinggi Sayyidina Umar bin Khattab, isinya singkat “Dengan ini saya nyatakan jendral Khalid bin Walid dipecat segera menghadap”. Menerima surat pemecatan tersebut Khalid bin Walid tidak bisa tidur masalahnya bukan apa-apa karena merasa tidak bersalah. Tapi karena beliau prajurit yang baik taat pada atasan, turut perintah serahkan jabatan pada pengganti langsung menghadap Umar bin Khattab.”Assalamualaikum ya Amirul Mukminin” sapa Khalid bin walid. “Waalaikumsalam, silakan duduk” jawab Umar bin Khattab. “Saya menerima surat pemecatan, apa benar saya dipecat?” tanya Khalid. Umar menjawab “Ya”. “Kalau soal dipecat itu hak Anda. Anda atasan, saya bawahan. Tapi boleh saya tahu apa kesalahan saya sampai dipecat?”. Umar menjawab bahwa Khalid tidak punya kesalahan. “Tapi dipecat?” Apa kurang baik saya jadi jendral?”. Umar bin Khattab menjawab bahwa di jaman ini anda jendral yang terbaik, “Tapi dipecat? Boleh saya tanya apa alasan Anda memecat saya”.  tanya Khalid. Dengan santai Umar bin Khattab menjelaskan “Khalid, Anda itu jendral yang baik, panglima yang baik setiap hari saya dengar masyarakat/rakyat, prajurit selalu memuji-muji anda tidak ada yang menjelekkan. Catat Khalid, Anda manusia biasa, terlalu banyak orang yang memuji bukan mustahil dalam hatimu akan timbul rasa sombong. Sedangkan dalam ajaran Islam “Innahu laa yuhibbul mustakbiriin, Allah tidak menyukai orang yang sombong. Seberat debu rasa sombong dalam hati, neraka jahannam yang menanti karena itu maafkan aku wahai saudaraku, untuk menjaga agar engkau tidak terjerumus ke neraka jahannam, apa boleh buat saya pecat Anda, supaya Anda tahu jangankan di hadapan Allah, baru di hadapan Umar masih belum bisa apa-apa.”

Mendengar jawaban yang demikian, jendral Khalid berdiri dan memeluk Umar bin Khattab sambil menangis dan berkata “Terima kasih wahai Umar engkau saudaraku.” Allahu Akbar! Itu jiwa Islam. Jaman sekarang belum tentu ada satu dari seribu jendral seperti itu. Dan yang paling hebat, setelah dipecat apa beliau “pundung”, beliau tidak “pundung[4]”. Beliau kembali ke medan perang bertempur lagi, dengan catatan bukan sebagai jendral bukan sebagai panglima tapi sebagai prajurit biasa. Bayangkan mantan jendral berperang di bawah komando sersan. Tetapi ada yang bertanya “Yaa Khalid, apa-apaan anda sudah dipecat tapi masih mau berperang sebagai prajurit pula.” Lantas, apa jawabannya? “Saya berperang bukan karena pangkat, jabatan, saya berperang bukan karena khalifah, saya berperang semata-mata karena Allah, mencari keridhaan Allah.

Kesimpulannya bahwa aqidah merupakan pondasi penting dalam menjalani kehidupan. Dimanapun kita berada yang kita lakukan semestinya hanya berorientasi pada Allah. Baik berorganisasi, bekerja, menjabat sebagai pemerintah dan lain-lain. Konkretnya pada kisah Khalid bin Walid meski dipecat namun tetap mengabdi pada agama dengan niat lurus mencari Ridha Allah. Serta nasihat bijak Abu Bakar pada Umar yang membuatnya tersadarkan akan sikapnya. Seperti itulah dalam hidup, perlu kita ingatkan dengan istilah 3 A (Allah Dulu, Allah lagi dan Allah terus). Wallahu a’lam…

Catatan Kaki:
[1] http://www.fimadani.com/salimul-aqidah-bagi-dai/21/06/2014
[2] http://www.nfbs.or.id/content/salimul-aqidah21/06/2014
[3] http://ervakurniawan.wordpress.com/2011/06/30/reaksi-umar-r-a-dan-sikap-abu-bakar-r-a-atas-wafatnya-rasulullah/21/06/2014
[4] Istilah sunda yang berarti kesal atau sakit hati.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Lihat Juga

Bentuk-Bentuk Penyimpangan di Jalan Dakwah (Bagian ke-1: Penyimpangan Tujuan)

Figure
Organization