Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Kontribusi Dakwah Dalam Mengubah Fenomena Sosial dengan Merevolusi Mental dan Karakter

Kontribusi Dakwah Dalam Mengubah Fenomena Sosial dengan Merevolusi Mental dan Karakter

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Begitu besar perhatian dan kebutuhan masyarakat kepada jasmani maka besar pula perhatiannya kepada rohani. Oleh karenanya kontribusi dakwah dirasa perlu hadir untuk merevolusi mental dan karakter dengan menggalakkan kegiatan-kegiatan positif berupa perhatian kepada dunia pendidikan, kajian, penelitian baik secara studi analisa, kritis, perbandingan serta studi kekinian lainnya yang dibalut dalam isu-isu sosial, politik, ekonomi, budaya dan keagamaan dengan kajian-kajiannya yang bersifat progresif untuk membentuk sebuah karakter serta membangun kesadaran masyarakat dalam hidup beragama, berbangsa dan bernegara. Karena sejatinya perjuangan para pahlawan terdahulu adalah berjuang mengusir penjajah dengan mengorbankan jiwa dan raganya, konteksnya kini berubah dengan diestafetkannya semangat kepada para pengisi kemerdekaan dengan berjuang mengusir kebodohan.

Sebuah negara akan maju jika masyarakatnya tergerak dan peka akan isu-isu yang terjadi di sekitarnya menyangkut pemenuhan kebutuhan hidup jasmani dan rohani. Karenanya jika karakter ini sudah terbangun dengan sendirinya kita hanya perlu mempersiapkan dan memfasilitasi sumber daya manusia untuk menjadi pribadi yang unggul dan siap bersaing di masa yang akan datang.

Umar bin Abdul Aziz seorang pemimpin di era Dinasti Umayah (661-750 Masehi) yang disebut-sebut oleh para ulama sebagai khalifah kelima karena kesolehan, kesederhanaan, perangainya yang lemah lembut dan kebijaksanaanya dalam memimpin negara, ia lebih menekankan pembangunan moral dan sosial dibandingkan infrastruktur dalam mewujudkan masyarakat madani. Hal senada juga diutarakan oleh seorang ekonom dan sosialis yang religius sekaligus negarawan dan tokoh bangsa Indonesia Sjafruddin Prawiranegara (The Guardian of Monetary stability: 1911-1989) disebut oleh sebagian kalangan baik dari politisi, akademisi dan sejarawan diantaranya oleh mantan ketua MPR Taufik Kemas, Dr. AM Fatwa, Prof. Dr. Taufik Abdullah, Drs. Lukman Hakiem, Fadli Zon, SS, Msc sebagai Presiden RI yang terlupakan, karena jasanya pernah memimpin negeri Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) berpusat di Tanah Minang, kala Jogjakarta sebagai Ibu kota ketika itu jatuh ke tangan penjajah Belanda tahun 1948. Sjafruddin Prawiranegara dengan tegas melontarkan kritik atas kebijakan Soemitro Djojohadikoesoemo (1917-2001) sebagai pemangku ekonomi di era kemerdekaan yang tetap pada pendiriannya menyelenggarakan industrialisasi berbasis utang luar negeri tanpa menyiapkan sumber daya manusia yang memadai. Pada akhirnya pada tahun 1989, Soemitro pun mengamini betapa kebijakan yang telah ditempuhnya itu salah dan Sjafruddin yang tepat.
Arus urbanisasi semakin tidak terbendung sebagai efek dari industrialisasi serta budaya kapitalis yang tidak berpihak pada ekonomi dan kemandirian desa di tiap-tiap daerah, ditambah lagi dengan arus kapitalis di negeri ini yang semakin berbahaya karena masuk pada wilayah pendidikan. Alhasil arah kurikulum pendidikan semakin menjadikan pelajar seperti “robot” dan melahirkan kalangan terpelajar yang kurang berkarakter. Maka dari itu tak heran budaya korupsi, kolusi dan nepotisme semakin merajalela selama kurikulum pendidikan tidak diubah atau diarahkan menuju perbaikan dan pembentukan karakter pelajarnya oleh para pemangku kepentingan di bumi pertiwi. Bagaimanapun juga awal kebangkrutan sebenarnya bukanlah pada melemahnya nilai rupiah saja atau terjadinya infalasi, melainkan hilangnya generasi yang melahirkan peradaban dan para pemudanya kehilangan makna hidup.

Jika melihat fenomena akhir-akhir ini semakin memprihatinkan, mulai dari jurang kesenjangan sosial antara si kaya dan si miskin yang semakin dalam, maraknya perbuatan anarkis, premanisme, perpecahan, aliran sesat serta korupsi yang tak kunjung usai.

Pada umumnya seseorang ketika menempuh jenjang pendidikan orientasi para pelajar adalah pekerjaan semata, padahal fungsi pendidikan agar dapat belajar dengan mengayakan pikiran, menjadikannya pandai berkomunikasi, diplomasi dan pandai membangun kesadaran guna Indonesia yang lebih baik. Jadi seseorang yang telah lulus dari bangku sekolah atau universitas bisa menjadi pribadi-pribadi mandiri, jujur dan berkarakter karena sejatinya pendidikan adalah untuk memanusiakan manusia.

Apalagi akhir-akhir ini hampir semua orang menyuarakan demokrasi, sekalipun banyak kerugian di dalamnya. Pemilukada yang begitu besar menggunakan pendanaan mulai dari miliaran rupiah hingga triliunan, angka yang begitu memboroskan di tengah masih banyaknya masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, belum lagi ditambah kerugian yang harus ditanggung negara akibat kisruh pilkada dan yang lebih disayangkan lagi adalah jatuhnya korban jiwa.

Belum lagi sumber daya manusia yang kurang dimanfaatkan di negeri yang kaya raya ini, kalau China saja mampu mengirimkan lima ribu calon kandidat Doktornya keluar negeri dan wajib bekerja di dalam negeri sebagai bentuk pengabdian dan pemanfaatan sumber daya manusia yang unggul, juga Amerika yang menjadi negara adikuasa lantaran budaya membaca yang sudah mentradisi ratusan tahun silam, Iran yang mempunyai pengaruh karena efek dari syi’ahnya yang begitu berambisi dalam mengusai dunia, Rusia maju karena komunisnya, Jepang bisa menjadi raksasa ekonomi dunia karena Shinto dan komitmennya, serta Perancis yang maju karena faham sekulernya. Seharusnya Indonesia bisa lebih maju karena banyaknya faktor pendukung baik dari segi sumber daya manusia (SDM) maupun hasil alamnya (SDA) ditambah dengan kuantitas umat Islamnya. Tetapi kemajuan negara Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga apalagi negara-negara lain pada umumnya.

Diperparah lagi penghargaan terhadap para ilmuwan dirasa masih sangat kurang di negeri ini, kalau Israel bisa maju lantaran banyak menghasilkan Doktor hingga berjumlah ratusan pertahun dengan dukungan penuh dari pemerintahnya, disusul Amerika, Mesir, bahkan kerajaan Maroko yang masuk kategori negara berkembang mampu membebaskan biaya pendidikan dari tingkat sekolah dasar hingga ke jenjang perguruan tinggi dari S1 hingga S3, lalu bagaimana dengan Indonesia?

1. Studi Kritis dan Analisa: Fenomena Politik Indonesia
Akhir-akhir ini marak diberitakan banyaknya kepala daerah, mulai dari Walikota, Bupati, Gubernur, pemegang kepentingan, para pengusaha yang tidak jujur masuk ke dalam penjara lantaran kasus pencucian uang dan penyalahgunaan wewenang yang menimpanya. Ini terjadi karena sebagian sistem demokrasi di Indonesia cenderung korup. Bayangkan berapa banyak dana yang dipakai untuk kampanye dan biaya administratif lainnya, jumlahnya tentu tidak sedikit.

Maka tak jarang para pejabat yang seharusnya menjadi pengabdi negara malah menyalahgunakan wewenangnya karena mengikuti cara yang salah, sebelum menjabat mereka banyak mengeluarkan uang hingga miliaran rupiah, saat terpilih dan menjabat di tahun pertama hingga ke-3 mencoba untuk mengembalikan “modal”. Alhasil di tahun ke-4 ditangkap oleh komisi pemberantasan korupsi (KPK) dan dijebloskan ke penjara jika terbukti bersalah di pengadilan berupa tindak pidana korupsi.

Hampir setiap hari kita menyaksikan fenomena sosial di media perihal kisruh pilkada, perpecahan antar kelompok, rasa tidak aman, kejahatan seksual, kebodohan yang merajalela dan fenomena keagamaan hingga fenomena pencalegan.

Yang menjadi pertanyaan adalah para caleg tersebut menyalonkan atas hasrat dan ambisi personal serta minta untuk dipilih masyarakat, atau memang diusung oleh masyarakat luas karena layak untuk dipilih? Kalau memang alasan personal, tentu ini sangat berbahaya karena bisa jadi pencalonan ini dikuasai oleh sindikat elit, mafia bisnis, para jawara atau penguasa daerah dan para ambisius yang mengandalkan materi semata. Alhasil para pemilik modal seperti para pengusaha, juragan tanah, bos-bos besar dan juga public figur seperti para pelakon sinetron, penyanyi dangdut, komedian dan lain sebagainya, merekalah yang bakal maju di dalamnya. Maka tak heran para calon pemimpin yang elektabilitasnya rendah sering menggaet para selebriti guna mendapat suara dan akhirnya terbukti ampuh mereka bisa menang di beberapa kasus pemilihan.

Adapun mereka yang lebih memiliki kapasitas, integritas, kapabilitas dan keilmuan tidak bisa ikut serta dalam pencalonan disebabkan kekurangan modal, kalaupun ikut serta biasanya kalah dengan para pemilik modal ataupun public figur di kebanyakan kasus.
Seandainya para caleg memang diusung oleh masyarakat, demokrasi macam apa yang ditawarkan. Karena selama ini masyarakat menengah ke bawah pada umumnya hanya dijadikan komoditas politik dan bukan sebagai “alat” yang ampuh untuk benar-benar mendewasakan politik. Apalagi sebuah idealisme bisa saja luntur saat bergesekan dengan parpol atau ormas, maka jarang dari kita menemukan mereka yang benar-benar memiliki kesadaran membangun karakter masyarakat dengan nilai-nilai kepekaan yang berorientasi kebangsaan.

Jika seseorang sudah menjabat sebagai politisi biasanya memiliki jiwa ‘’Manuver” yang sering kali berlawanan dengan hati nurani, karena harus bersentuhan dengan nilai-nilai pragmatis. Adapun seorang dai, ustadz, pendidik atau pengemban dakwah yang “concern” pada perbaikan dan perubahan sosial, dia harus berjiwa qudwah atau teladan bukan berjiwa manuver yang sering kali menawarkan kefanatikan kelompok.

2. Fenomena Sosial dan Keagamaan
Seorang dai, ustadz dan pemuka agama sudah biasa jika berbicara tentang “teks agama”, karena sebenarnya siapapun mampu untuk berkata demikian, apalagi di zaman sekarang yang serba canggih siapa saja dapat mengcopy paste artikel-artikel religi, menonton video-video keagamaan via youtube dan sumber teknologi informasi lainnya.

Mengambil manfaat via media online memang sah-sah saja, menjadi masalah adalah jika budaya instan ini berpengaruh pada pola pikir keagamaannya sehingga menjadikannya malas untuk berpikir dan membaca ke sumber aslinya apalagi jika artikel-artikel, bacaan-bacaan tersebut dijadikan justifikasi untuk kelompok dan afilisiasinya. Seharusnya yang dilakukan adalah mencari kebenaran bukan pembenaran, apalagi jika dalil-dalil agama dijadikan pembenaran untuk sebuah kesalahan personal seperti kasus yang terjadi akhir-akhir ini. Tentu hal seperti ini tidak diharapkan untuk terjadi.

Jika memperhatikan berita akhir-akhir ini perihal tingginya tarif seorang ustadz populer, hal ini tak luput dari pengaruh demokrasi yang kebablasan mengenai keagamaan. Padahal tinggi rendahnya ilmu agama seseorang tidak dinilai dari kepopuleran seorang dai. Paling tidak fenomena-fenomana semacam ini senantiasa akan mendominasi kehidupan sosial suatu negara yang masih berkembang seperti Indonesia, selama masyarakatnya masih miskin, minim pengetahuan, bahkan terkesan primitif dengan melakukan aksi tawuran, perpecahan dan lain sebagainya. Fenomena demi fenomena ini akan tetap terlestarikan dan terjaga dengan sendirinya dikarenakan kebanyakan masyarakat pada umumnya lebih tertarik pada simbol-simbol, atribut-atribut, aneka pencitraan, seperti layaknya yang diinginkan media-media berbau komersil, padahal sejatinya Islam lebih kepada esensi bukan pada yang nampak saja.

Tak heran ajaran Islam di negeri ini seperti diperjualbelikan layaknya produk-produk terkenal, padahal seharusnya ajaran Islam mempunyai kekuatan yang mampu mengubah haluan masyarakat ke arah yang lebih maju dan peka terhadap isu-isu kekinian seperti sosial, ekonomi, budaya dan politik. Artinya Islam bisa membentuk sebuah karakter suatu bangsa jika benar-benar difahami secara baik dan benar, dengan akal sehat bukan dengan sebaliknya. Islam di negeri ini baru sebatas menyentuh “luarnya saja” belum bisa memberikan perubahan yang berarti bagi kehidupan sosial masyarakatnya lantaran dai-dainya masih “tumpul” atau kurang memahami agama secara teoritis maupun praktis.

Dengan sendirinya ajaran Islam sebagai sebuah ideologi yang lurus kelak akan terhapuskan jika para dainya terus menerus mengikuti selera masyarakat apalagi jika mengejar selera pasar seiring dengan maraknya permintaan berbau komersial. Hal ini terangkum mulai dari fenomena ustadz memasang tarif yang cukup tinggi, sampai budaya sinetron-sinetron religi yang kadang kala mengesankan Islam sebagai ajaran yang kental dengan nuansa mistik dan takhayul, diperparah lagi dengan nuansa partai politik yang sering membawa-bawa umat Islam sebagai masanya yang belum tentu memberi keuntungan pada umat Islam itu sendiri dan terkadang malah terjadi konflik di internal partai Islam dan ini adalah hal sungguh memalukan sekaligus membosankan.

Apabila hal seperti ini terus terjadi maka sang dai, ustadz, para pemuka agama, dosen, akademisi muslim dan para pemangku kepentingan di negeri ini harus lebih peka menyampaikan isu-isu keagamaan dan pandai memilih serta memilah topik untuk diperbincangkan. Sebab masyarakat sebenarnya sudah sering kali disuguhi dengan majlis-majlis dzikir nasional, tabligh-tabligh super akbar, taubat berjamaah, tapi hasilnya sudahkah terdapat dampak perubahan prilaku yang berbanding lurus dengan banyaknya uang yang digelontorkan untuk menggelar acara-acara religi.

3. Memaknai Dakwah Sebagai Mesin Perubahan
Selama ekonomi kita masih kurang stabil, selama masyarakat masih pasif dan kurang peka dengan minimnya perhatian kepada dunia pendidikan, selama masih banyak kesenjangan sosial, selama cara berpolitik kita belum dewasa, selama kita masih kehilangan jati diri atau identitas suatu bangsa, selama rasa nasionalisme terus terkikis dan selama masih diam dengan kebodohan, selama itu pula seorang pengemban amanat dakwah dibantu dengan segenap masyarakat wajib sadar untuk mengubah isi ceramah kepada konteks-konteks keagamaan dengan mengedepankan nilai-nilai keIslaman yaitu ‘Kepekaan terhadap masalah sosial’. Karena itu yang kita butuhkan saat ini untuk membangun sebuah kesadaran serta karakter masyarakat, artinya ceramah keagamaan yang selama ini kita dengar “terlalu melangit” harus “dikondisikan” agar bisa lebih dicerna serta dirasakan manfaatnya.

Masyarakat tidak perlu membayar mahal ustadz untuk mengisi ceramah pada kegiatan bernuansa Islam, lebih baik dananya dialokasikan untuk kebutuhan masyarakat lain yang membutuhkan, seperti berbagi kepada sesama, menyantuni fakir-miskin, membantu anak putus sekolah atau pembangunan tempat ibadah dan infrastruktur lainnya.

Dengan demikian membangun tempat peribadatan, mendirikan yayasan, membantu anak yang tidak mampu tidak perlu lagi mengemis ke jalan raya, dari bis ke bis, rumah ke rumah. Hal ini dikarenakan penggunaan dana secara proporsional akan lebih bermanfaat daripada biaya tersebut dikeluarkan untuk mengundang seorang ustadz pesohor. Bukankah Islam ajaran sosial yang peduli dengan sesama dan mengedepankan nilai-nilai gotong royong.

Imam besar masjid Istiqlal Prof. Dr Mustofa Ali Ya’qub juga menambahkan perihal fenomena dai pasang tarif. Beliau dengan tegas mengharamkan bagi siapapun yang berdakwah dengan meminta imbalan, apalagi pasang tarif. Lain halnya jika pihak panitia yang memberi ustadz dengan sukarela bukan dengan dipinta, itu sah-sah saja hukumnya.

4. Membaca Fenomena: Tidak Adanya Otoritas Keagamaan
Fenomena yang sering terjadi di Indonesia bahwa masyarakat pada umumnya lebih antusias dalam menghadiri setiap acara keagamaan, tabligh-tabligh akbar dan majlis-majlis dzikir. Akan tetapi bila adzan berkumandang, berapa banyak yang tergerak untuk segera melaksakan shalat berjamaah di masjid ? berbeda halnya saat acara tabligh akbar, jamaahnya begitu ramai membanjiri sekalipun acaranya berlangsung sampai larut malam.

Di zaman ini banyak orang pandai berbicara mengenai keagamaan, karena pada dasarnya bicara itu mudah, yang berat adalah mempelajari ilmu-ilmu agama secara persuasif, intensif dan dipelajari dalam jangka waktu yang tidak sebentar, bahkan harus berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya sebagaimana tradisi para ilmuan dan akademisi muslim terdahulu.

Syeikh Ali Jum’ah yang pernah menjabat sebagai mufti Mesir di era rezim presiden Husni Mubarok pernah berkata: “Guru-guru kita di Universitas Al Azhar Mesir telah mengajarkan kepada kita bahwa janganlah kamu berkata sebelum kamu belajar. Orang yang berkata tanpa adanya ilmu bisa membawa kepada perkara yang membingungkan, kecerobohan intelektual ini bisa menggiringnya ke dalam api neraka”. Bila kita perhatikan hakikat daripada ilmu itu sendiri adalah takwa, tidak lebih daripada itu. Ini sesuai dengan perkataan ulama: Dari al Fazaari berkata, Aku mendengar Al-Tsauri berkata: Sesungguhnya Ilmu itu dipelajari untuk bertakwa kepada Allah ‘azza wajalla
Islam dan ilmu pengetahuan pada hakikatnya adalah ibarat dua muka yang saling berdampingan pada mata uang koin. Islam yang murni mesti berlandaskan pada dasar ilmu pengetahuan yang valid, dan ilmu pengetahuan yang sejati selalu mengantarkan kepada kebenaran Islam yang universal. Bahkan tokoh Barat Dr. Maurice Bucaille menambahkan perihal kitab suci umat Islam di dalam “La Bible, le Coran et la Science” (1976): Al Qur’an sangat konsisten dengan ilmu pengetahuan dan sains, namun Alkitab atau Bibel tidak konsisten dan bisa diragukan.

Dengan demikian jika publik merasakan betapa pentingnya kehadiran dan kebutuhan kepada ilmu pengetahuan dan dakwah (ajakan) kepada Islam, dengan sendirinya masyarakat akan bangkit dari keterpurukan dan mampu menjawab segala fenomena demi fenomena, karena sejatinya Islam adalah solusi yang bisa mengubah dunia menjadi lebih baik.

Umat Islam di Indonesia akan sulit untuk mengubah kehidupan sosial ke arah yang lebih bermakna dan sulit untuk menjadi kekuatan apabila kita sendiri belum menyadari akan pentingnya ber-Islam, belum memahami arti membangun sebuah karakter dengan menjadi pribadi-pribadi yang bertakwa untuk kemajuan bangsa serta menjadi pribadi-pribadi yang berkapasitas yaitu menggabungkan antara kejujuran dan keilmuan.

Maraknya fenomena keagamaan di Indonesia disebabkan dengan tidak adanya otoritas kegamaan yang berfungsi mengatur secara utuh oleh lembaga resmi negara. Otoritas keagamaan seharusnya dikembalikan ke Kementerian Agama Pusat.

Di Malaysia sertifikat penceramah diberikan kepada setiap pendakwahnya, sedangkan di negara-negara Arab begitu selektif memilih dai khususnya bagi yang berbicara agama di layar kaca, minimalnya mereka harus hafal Al-Quran serta menguasai disiplin ilmu-ilmu Islam, sejarah peradaban Islam dan literaturnya.

Di timur tengah juga ada jaminan kehidupan yang layak untuk para dai dari negara di bawah wewenang Kementrian wakaf atau Kementerian Agama. Jika di Indonesia KEMENAG mengambil alih secara utuh dan dibantu oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk menjadi pemegang kepentingan dalam penyeleksian atau uji kelayakan dai, para khotib di setiap masjid, termasuk para ustadz pesohor yang sering menghiasi layar televisi, tentu ini akan lebih baik dan efektif dalam mengubah pola pikir dan hidup masyarakat untuk kemaslahatan bersama menuju masyarakat muslim yang madani dan berwibawa.

Fenomena keagamaan di negeri ini diperparah lantaran jabatan Menteri Agama yang seharusnya dipilih dari kalangan profesional itu malah sebaliknya, karena diambil dari kalangan politikus, bagaimanapun juga memberikan jabatan atau pemangku kepentingan “Stakeholders” kepada ahlinya adalah awal dari pembenahan fenomena sosial dan keagamaan di Tanah air, adapun memberikan jabatan kepada para politikus tentu akan sarat dengan kepentingan kolektif maupun personal.

Kalau memang pemerintah sepenuh hati dan peduli dalam membenahi permasalahan sosial, keagamaan dan birokrasi haji, maka pembenahan itu harus dimulai dari kalangan elit KEMENAG dengan menjadi tauladan bagi masyarakat dan memahami Amanah yang begitu berat untuk menjadi seorang menteri bidang keagamaan, bukan sebaliknya menjadi ajang perebuatan kekuasaan apalagi ajang kebanggaan.

Kesimpulan
Kemajuan suatu bangsa sejatinya terletak pada kemajuan dan kebangkitan dari tiap-tiap daerahnya, artinya suatu negara akan maju jika tiap-tiap daerah mempunyai kemandirian dalam membangun desa dan menjadi tonggak peradaban. Bagaimanapun juga memajukan sumber daya manusia itu jauh lebih penting ketimbang membangun fisik atau infrastruktur semata, ini adalah bagian dari konteks-konteks keagamaan karena ruh, ide dan gagasannya sesuai dengan nila-nilai luhur keislaman yaitu jiwa merdeka dan kemandirian.
Membangun manusia sama dengan membangun peradaban, pendidikan adalah salah satu sarana dan pintu gerbang untuk menuju masyarakat madani “civil society” yang berlandaskan pada ilmu pengetahuan. Adapun sekolah atau universitas berbasis riset adalah tempat pembibitan guna mencetak generasi-generasi yang dapat memberikan kontribusi lebih demi perubahan pola pikir dan hidup masyarakat. Adapun kesimpulan tulisan, penulis rincikan dalam beberapa poin, diantaranya:
1. Niat yang disertai cara dan tujuan dakwah yang benar adalah hal terpenting dalam melakukan suatu aksi, karena dari situlah terlahir sebuah kontribusi yang efektif dalam mengubah fenomena sosial.
2. Dakwah yang efektif mempunyai kontribusi bermakna dalam mengubah masyarakat ke arah yang lebih baik.
3. Islam ajaran meliputi segala aspek mulai dari sosial, budaya, ekonomi, politik dan bidang lainnya.
4. Diskursus para elit acap kali menjadi faktor mendasar kehancuran suatu negeri.
5. Kecerobahan intelektual, kemiskinan, perpecahan adalah tanda awal dari runtuhnya suatu kejayaan dan menyuburkan fenomena sosial.
6. Islam yang murni mesti berlandaskan pada dasar Ilmu Pengetahuan yang valid, dan Ilmu Pengetahuan yang sejati selalu mengantarkan kepada kebenaran Islam yang universal.
7. Manuver para ambisius yang bersifat tidak sehat, menghalalkan segala cara, memaksakan persepsi, cenderung berapriori terhadap lawan politiknya dapat mematikan hati nurani dan akal sehat.
8. Persatuan adalah hal terpenting dalam suatu Negara.
9. Semakin beragama seseorang, maka semakin maju pula pola hidup dan pikirnya, karena sejatinya Ajaran Islam bukan terletak pada simbol, atribut dan aneka pencitraan semata melainkan lebih kepada esensi.
10. Setiap insan agar bersabar dan terus menerus belajar dari setiap fenomena serta dituntut untuk bisa mengambil hikmah yang terkandung di dalamnya agar bisa menjadi pribadi yang taat. Bukankah manusia yang baik tidak akan jatuh pada lubang yang sama.

 

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Dosen Fakultas Dakwah Universitas Islam Bandung (UNISBA) & PIMRED di www.infoisco.com (kajian dunia Islam progresif)

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization