Topic
Home / Narasi Islam / Politik / Geliat Kaum Muda dalam Realitas Demokrasi Pancasila

Geliat Kaum Muda dalam Realitas Demokrasi Pancasila

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (dakwatuna/hdn)
Ilustrasi. (dakwatuna/hdn)

dakwatuna.com – Demokrasi. Suatu pranata yang menyihir banyak mata di dunia. Dunia telah terbuai akan kebesaran demokrasi sebagai sistem politik. Kebebasan merupakan isu paling sentral yang disuarakan oleh mereka yang menerimanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa demokrasi merupakan sistem politik terbaik untuk zaman ini. Terlepas dari teori yang dikemukakan oleh Polybios bahwa suatu negara pasti secara periodik mengalami siklus sistem politik yang dianutnya[1]. Demokrasi tetap menjadi sebuah pranata terbaik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ia muncul sebagai sumber kehidupan bagi kelompok manusia. Layaknya air yang datang dari langit, memberikan kehidupan bagi bumi yang dahulunya gersang menjadi subur nan indah.

Demokrasi juga memiliki budaya seperti halnya sistem-sistem politik yang lain. Ia termanifestasikan dari nilai-nilai luhur yang kemudian mengkristal hingga tercipta sebuah budaya. Rakyat mendapatkan posisi utama dalam demokrasi sehingga kedaulatannya memberikan andil besar dalam menjalankan negara. Tidak ada tirani penguasa di dalamnya. Cukup konstitusi negara dan undang-undang derivatif yang menjadi kekuatan hukum.

Demokratisasi berarti proses menuju penyelenggaraan sistem demokrasi. Proses yang terjadi setelah suatu bangsa meruntuhkan asas otoritarianisme penguasa. Masa transisi adalah ciri utama keberlangsungan demokratisasi di suatu negara. Saat ini, bangsa Indonesia sedang melangsungkan proses demokratisasi sistem politik sejak era reformasi 1998.

Pembicaraan terkait demokratisasi di Indonesia hingga saat ini masih menyimpan banyak pertanyaan dalam rangkaian pemikiran masyarakat. Hal ini tidaklah mengherankan karena bangsa ini masih berada dalam masa transisi pemerintahan, dari otoritarianisme menuju demokrasi. Masa transisi ini dapat terindikasikan dari ketidakberdayaan semua institusi dari semua sektor (publik, swasta dan sektor ketiga) untuk mewujudkan sistem integritas nasional dalam orkestra pemberantasan kejahatan korupsi. Selain itu, pendangkalan nilai demokrasi, berkurangnya keadaban publik, dan buruknya perilaku wakil rakyat adalah beberapa contoh nyata yang menjelaskan bahwa bangsa ini masih berada dalam masa transisi yang berkepanjangan.

Anis Matta berpendapat, transisi akan berakhir ketika tanda-tandanya mulai memperlihatkan diri secara tegas. Pertama, terformulasikannya kembali platform kenegaraan. Kedua, terkonsolidasikannya kembali kekuatan-kekuatan politik nasional. Ketiga, munculnya kepemimpinan nasional yang kuat dan berwibawa. Keempat, tergalangnya dukungan rakyat yang besar terhadap pemerintah dan proses pemerintahan yang sedang berjalan (Matta, 2010: 59).

Ketika proses demokratisasi di Indonesia telah tercapai, maka akan terwujud keutuhan nasional negara ini. Namun, ada hal yang perlu digarisbawahi. Demokrasi tidak selamanya menjadi sebuah sistem politik terbaik yang sempurna. Ia juga memiliki sisi gelap yang tidak dapat dinafikan. Sisi gelap itu bersumber dari prinsip liberalisme dan individualisme yang menjadi pijakan paham demokrasi. Kebebasan dan sifat individualistik cenderung menodai prinsip representasi mayoritas dalam sistem demokrasi. Hal ini dapat mengakibatkan adanya determinasi sosial kepada kelompok minoritas yang terpinggirkan. Sisi gelap ini semakin mengkhawatirkan tatkala dibenturkan dengan prinsip pluralisme yang menjadi salah satu poin penting dalam sistem demokrasi. Keduanya merupakan prinsip utama demokrasi yang saling meniadakan.

Prinsip representasi mayoritas dan pluralisme tidak dapat dihilangkan begitu saja dari sistem demokrasi. Keduanya menjadi sebab adanya kegelapan dalam demokrasi. Namun, karena keduanya pula demokrasi memberikan harapan bagi sekelompok manusia. Demokrasi merupakan suatu tuntutan zaman yang harus diemban berhubung ia sistem politik terbaik yang seyogyanya dianut. Oleh karena itu, Indonesia tetap harus melaksanakan proses demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah bagaimana menyiasati agar sisi gelap demokrasi dapat diminimalisasi dengan maksimal? Masalah ini sebenarnya sudah mendapatkan solusinya sejak tanggal 18 Agustus 1945. Pada tanggal tersebut rumusan dasar negara diresmikan berupa Pancasila pada sidang pertama PPKI sehari setelah pelaksanaan proklamasi. Kelima butir komitmen bangsa yang  tercantum di dalamnya menjadi tolak ukur pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Komitmen tersebut menjadi landasan dalam pelaksanaan sistem demokrasi Pancasila yang saat ini masih diperjuangkan perwujudannya di Indonesia.

Pada tahun ini, Indonesia sedang mengalami gegap gempita pesta demokrasi. Pesta yang dimaksudkan tak lain ialah Pemilu 2014 untuk masa jabatan 2014-2019. Di tahun ini pula Indonesia memasuki tahapan penting secara demografis, di mana jumlah penduduk produktif lebih banyak dibandingkan kelompok tidak produktif. Hal ini menjadi sangat spesial karena komposisi penduduk Indonesia sedang condong ke usia muda yang didominasi oleh penduduk berusia 45 tahun ke bawah.

Proyeksi demografi Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada tahun 2014 angka usia produktif (15-64 tahun) mencapai sekitar 65 persen. Penduduk berusia muda ini memiliki tingkat pendidikan dan penghasilan yang cukup tinggi. Bahkan, pada satu titik, sejumlah pakar meramalkan pada 2020, angka rasio ketergantungan (Dependency Ratio) Indonesia begitu rendah karena jumlah usia produktif jauh di atas kelompok tergantung. Selisih yang tinggi ini oleh pakar ekonomi dan kependudukan  disebut sebagai “dividen demografi” atau ‘bonus demografi”. Sejarah mencatat, sejumlah negara mencapai kesejahteraan sebagai hasil dari bonus demografi yang termanfaatkan dengan baik (Matta, 2014: 71-73).

Besarnya jumlah umur produktif ini diikuti oleh beragamnya penduduk Indonesia dengan tingkat heterogenitas yang tinggi dan meluas. Keberagaman ini, menurut Fahri Hamzah, menciptakan masyarakat yang mengedepankan adanya keragaman budaya sebagai suatu hal yang niscaya. Bahkan, ia merupakan kodrat manusia dengan menekankan pada realitas budaya-budaya yang minoritas (Hamzah, 2010: 119). Implikasi yang didapatkan adalah bangsa ini memerlukan strategi khusus untuk memanfaatkan dan mengoptimalkan besarnya komposisi penduduk produktif yang multikultural.

Berbicara mengenai penduduk usia produktif tentu tidak akan terlepas dari kaum muda. Setidaknya mereka yang berumur 18-45 tahun dapat disebut kaum muda. Ada empat karakteristik yang dimiliki kaum muda seperti yang disampaikan oleh tokoh pembaru Islam abad ke-20, Hasan Al Banna, yaitu: memiliki rasa keyakinan yang kuat, ikhlas dalam berjuang, semangat dalam menjalankan hidup atas dasar pemikirannya, dan siap dalam beramal serta berkorban untuk mewujudkan keinginannya (Al Banna, 2010: 128).

Keempat karakteristik kaum muda yang disebutkan di atas bertransformasi menjadi sebuah kapasitas besar yang berpotensi menjadikan kaum ini layak untuk tetap disebut sebagai pilar kebangkitan dari dahulu hingga sekarang. Dalam setiap kebangkitan, kaum muda merupakan rahasia kekuatannya. Dalam setiap pemikiran, kaum muda adalah pengibar panji-panjinya.

Oleh karena itu, pendayagunaan kapasitas potensi kaum muda dalam proses demokratisasi negara Pancasila sangatlah dibutuhkan. Apa lagi dengan keadaan kekinian, bonus demografi memberikan secercah harapan adanya peran kaum muda di dalamnya. Diperlukan pendekatan tersendiri untuk mendayagunakan kapasitas potensi mereka sebaik mungkin dalam rangka mewujudkan sistem demokrasi Pancasila di negara Indonesia.

Pendayagunaan kapasitas potensi kaum muda dalam proses demokratisasi negara Pancasila dapat dioptimalkan dengan memberdayakan keberadaan para pemuda[2]. Pemuda dalam konteks ini memasuki jenjang masa yang pertama kali dialami oleh setiap insan ketika terjadi labelisasi kaum muda pada dirinya. Para pemuda dengan begitu adalah kelompok kritis yang menjadi tolak ukur tingkat kualitas kaum muda suatu bangsa.

Pemuda adalah tumpuan kemajuan bangsa. Mereka identik dengan kata perjuangan. Mereka seperti pusaran gelombang yang bergejolak menggerakkan segala sesuatu. Mereka laksana ombak yang menerpa tembok ketidakadilan. Mereka layaknya pelangi, memberikan secercah harapan indah yang muncul menuju cahaya. Bahkan, mungkin setiap apa yang telah ada di dunia tidak terlepas dari peran serta dan kontribusi yang mereka pelopori untuk diciptakan.

Di kalangan para cendekiawan, Pemuda memiliki tiga amanah yang diharapkan menjadi tumpuan mereka dalam bergerak, yaitu sebagai agent of change, iron stock, dan agent of control. Masing-masing dari ketiga amanah tersebut menjadi sebuah tuntutan tersendiri bagi pemuda untuk dilaksanakan.

Begitulah para pemuda. Mereka dapat mengambil poin penting dalam mengaktualisasikan diri semaksimal mungkin. Seyogyanya mereka melakukan katalisasi implementasi budaya demokrasi dalam tubuh masyarakat berdasarkan asas Pancasila. Hal itu harus dilakukan karena saat ini mereka menatap suatu gelombang baru dalam sejarah Indonesia. Tahun ini, 2014, menjadi starting point kemunculan gelombang baru tersebut. Gelombang sejarah yang akan mengubah Indonesia menjadi tidak sekadar sebagai entitas kolektif-nasional. Namun, bertransformasi menjadi entitas peradaban yang diakui dunia. Oleh karenanya, seharusnya para pemuda sudah mengetahui kapasitas potensi mereka. Tinggal bagaimana mendayagunakan potensi tersebut sebaik mungkin.

Dalam rangka mewujudkan pendayagunaan kapasitas potensi pemuda, ada langkah yang sepatutnya dilaksanakan dalam rangka memberdayakan kapasitas potensi tersebut. Ketika pemberdayaan kapasitas potensi mereka dapat dioptimalkan, maka kapasitas potensi kaum muda dapat didayagunakan sebaik mungkin dalam proses demokratisasi negara ini.

Permasalahan utama yang selayaknya harus diselesaikan segera adalah mengembalikan dan mengembangkan pemahaman pemuda tentang sila pertama dasar negara, yaitu “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Ketika pemahaman ini menjadi tolak ukur setiap pemikiran yang dihasilkan akal dan pijakan dalam bertindak, maka dengan sendirinya akan tertanam dengan kuat keyakinan pemuda di dalam hatinya mengenai kebenaran mutlak dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Dampak yang akan timbul dari munculnya keyakinan yang kuat ini akan melahirkan pemikiran cemerlang berlandaskan nurani manusia yang pada dasarnya mengedepankan kebenaran. Nurani yang selalu condong akan kebenaran tentu akan menciptakan benih-benih kebaikan sehingga seseorang memiliki perilaku normatif dalam interaksi sosial kemasyarakatan. Lebih jauh lagi, keyakinan transenden yang kuat akan memberikan motivasi spiritual ketika memasuki dunia politik praktis sehingga tidak terjadi pendangkalan nilai demokrasi karena menghalalkan segala cara seperti praktek korupsi yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan utama bangsa.

Urgensi sila pertama dalam kepribadian seorang pemuda memberikan implikasi positif dalam pemberdayaan kapasitas potensi mereka untuk didayagunakan secara maksimal dan utuh. Keyakinan seorang pemuda atas keberadaan Tuhan yang berkuasa atas segala sesuatu merupakan sikap dasar yang fundamental dan harus dimiliki. Sikap ini dijamin oleh Undang-Undang Dasar sebagai suatu manifestasi perwujudan kebebasan beragama (dan bukan kebebasan untuk tidak beragama). Bahkan, hal ini justru merupakan pelaksanaan dasar negara Pancasila. Sikap mengembalikan segala permasalahan kehidupan kepada ajaran Tuhan Yang Maha Esa adalah sikap yang konsekuen kepada nilai-nilai Pancasila. Jikalau tidak demikian, akan dibawa ke mana sila pertama Pancasila?

Almarhum Nurcholish Madjid atau populer dengan sebutan Cak Nur dalam salah satu bukunya menyebutkan urgensi sila pertama Pancasila dengan pemaparan yang apik dan mendalam. Pemahaman beliau tentang ketuhanan tidak dapat diremehkan. Apa lagi ketika masalah ketuhanan ini dibawa ke dalam ruang politik praktis dalam menjalankan negara demokrasi.

Benar sekali pendapat Pak Hatta, salah seorang penanda tangan Piagam Jakarta, yang di dalamnya untuk pertama kali secara resmi nilai-nilai yang kelak disebut Pancasila itu dirumuskan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa adalah sila primer dan utama yang menyinari dan menjadi sumber dalam kehidupan manusia. Benarlah perumpamaan yang diberikan oleh Buya Prof. Dr. Hamka tentang Pancasila sebagai suatu bilangan 10.000 (sepuluh ribu). Di mana angka 1 (satu) merupakan perumpamaan sila pertama (Ketuhanan Yang Maha Esa) dan empat angka nol berikutnya merupakan perumpamaan empat sila selanjutnya. Sekarang hilangkan angka 1 (satu) itu, maka yang akan terjadi ialah deretan empat angka nol semata. Betapa pun panjangnya deretan angka nol itu, nilainya akan tetap juga. Demikianlah Buya Hamka. Pendeknya, Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang secara mutlak memberi arti bagi Pancasila dan sila apa pun dalam kehidupan manusia. Sebab, seperti dikatakan oleh Gardner, Ketuhanan Yang Maha Esa itulah yang mendasari dimensi-dimensi moral yang akan menopang setiap peradaban manusia. Lebih terpahami lagi bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa atau tauhid itulah yang menjadi sentral dari intisari agama-agama yang dibawa oleh para nabi semenjak nabi pertama sampai nabi terakhir, Muhammad SAW. Demikianlah dikatakan dalam Al Quran, Surah Al Anbiyâ (21) ayat 25 (Madjid, 1987: 216).

Lebih jauh lagi, pemahaman sila pertama Pancasila yang diyakini oleh pemuda secara universal dan komprehensif akan diiringi oleh kematangan pribadinya. Matangnya kepribadian seorang pemuda menunjukkan kapasitas potensi mereka sebagai pilar kebangkitan bangsa. Bayangkan, jika saja ada beberapa pemuda (kaum muda) yang telah matang kepribadiannya berserikat menjadi pelopor pelaksanaan demokratisasi Pancasila berlandaskan ketuhanan, tentu pelaksanaannya akan berjalan dengan mudah, tepat, dan cepat.

Pernyataan ini tidaklah berlebihan. Melihat kondisi komposisi penduduk Indonesia yang notabene diisi oleh kaum muda, seharusnya masa depan Indonesia kelak akan cerah. Seperti cerah mentari yang memberikan kehangatan dan menutupi kegelapan malam. Tentu harapan ini akan terjadi jika para pemuda sejak hari ini (baca: tahun 2014) mengupayakan diri mereka masing-masing untuk memahami dan mengembangkan keyakinan mereka mengenai sila pertama Pancasila secara baik dan mendalam.

Semua orang meyakini bahwa peran pemuda dalam pelaksanaan demokratisasi Indonesia akan mendapatkan porsi besar. Apa lagi jika dihubungkan dengan tahun 2014 ini. Terdapat keyakinan bahwa para pemuda, khususnya kepada para mahasiswa, akan mengisi pos-pos strategis dalam semua sektor institusi yang tercakup dalam sistem integritas nasional. Maka, pemberdayaan kapasitas potensi pemuda sangat dibutuhkan agar dapat didayagunakan dengan sebaik mungkin. Pemberdayaan tersebut dilakukan dengan memupuk pemahaman sila pertama Pancasila dan meyakininya dengan konsekuen.

Jika kembali mengingat dua prinsip demokrasi yang saling menjatuhkan, sepertinya permasalahan tersebut segera terselesaikan ketika kebenaran moral yang berlandaskan keyakinan akan ketuhanan menjadi motif seseorang – khususnya para pemuda yang kelak akan mengisi pos-pos strategis di semua sektor – dalam berpikir dan bertindak. Kelak nilai-nilai demokrasi yang luhur akan diaplikasikan dengan baik dan sesuai keadaban publik.

Prinsip representasi mayoritas dan pluralisme menjadi suatu hal yang tidak perlu dipermasalahkan. Karena keduanya merupakan keniscayaan yang ada dalam demokrasi. Perbedaannya terletak dari bagaimana seseorang memperlakukan kedua prinsip tersebut, apakah untuk mewujudkan kemaslahatan kolektif ataukah keegoisan pribadi? Seorang pemuda, dengan kepemimpinan moral yang dimiliki, ia akan menyeimbangkan kedua prinsip tersebut secara proporsional. Ia tidak akan menjatuhkan kelompok minoritas dengan kekuasaan suara mayoritas yang ia miliki. Begitu pun sebaliknya. Ia tidak menuntut adanya kebebasan yang keluar dari kebenaran mutlak Tuhan dengan alasan pluralisme ketika berada dalam posisi mayoritas. Manakala memiliki kekuatan mayoritas pun ia tetap memperjuangkan kemaslahatan bersama dalam koridor hukum Tuhan yang kebenarannya mutlak. Karena sejatinya kedaulatan penuh yang dimiliki oleh rakyat dalam sistem demokrasi tak lain adalah untuk merealisasikan hukum Tuhan yang sifatnya given. Namun, jangan disalahartikan bahwa hanya satu agama tertentu saja yang menjadi superior, sedangkan agama-agama yang lain disisihkan. Sila pertama Pancasila tidak dimaknai seperti itu. Itu merupakan pemaknaan yang dangkal.

Frase “hukum Tuhan” dimaksudkan untuk mempertegas bahwa segala sesuatu yang ada di alam semesta ini merupakan ciptaan Tuhan. Maka pergerakan kehidupan dari semenjak ia dicipta hingga nantinya dimusnahkan merupakan gerak Tuhan atas kekuasaan makhluk-makhluknya. Sudah sepatutnya sebagai makhluk paling sempurna karena kepemilikan akal untuk menjalankan hukum Tuhan dalam seluruh gerak kehidupan.

Lebih jauh dari itu, kepedulian Pancasila lebih tertuju pada moralitas publik, bukan kepada keyakinan pribadi. Oleh karena itu, dalam kerangka ketuhanan menurut Pancasila, setiap orang diperkenankan secara pribadi untuk tidak memeluk agama formal (sebagai agnostik atau bahkan ateis). Bahkan, ditegaskan kembali dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Namun, dalam kehidupan publiknya harus tetap menghormati nilai-nilai ketuhanan-keagamaan seperti dikehendaki Pancasila berdasarkan hasil kesepakatan konstitusional sehingga tidak diperkenankan menyebarkan propaganda untuk menolak atau membenci agama (Latif, 2011: 112)[3].

Pada dasarnya semua agama menghendaki hukum Tuhan untuk diimplementasikan dalam sistem kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini menjadi suatu keniscayaan yang mutlak karena tidak ada satu agama pun yang menghendaki adanya kehancuran bagi umatnya. Sebaliknya, setiap agama memiliki syariat yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahatan bagi manusia. Inilah peranan Pancasila dirumuskan oleh generasi awal bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Ia dirumuskan dalam rangka mengambil jalan tengah antara ideologi sekularisme dan komunisme. Ia juga tidak dimaksudkan untuk melegitimasi adanya negara “agama”. Ia  tidak menghendaki adanya negara sekuler, komunis, maupun agama. Namun, ia ada karena menjadi solusi bagi kemajemukan bangsa ini. Ia menjunjung tinggi kemanusiaan yang adil dan beradab serta persatuan nasional. Ia menjadi landasan bagi terciptanya undang-undang hasil sistem demokrasi melalui permusyawaratan rakyat. Semua itu ditujukan untuk kemaslahatan bangsa dalam menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Sungguh, beranjak dari pernyataan di atas, seyogyanya para pemuda dapat memahami semua aspek nilai Pancasila. Baik dari segi nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Ketika pemahaman ini sudah diyakini dengan utuh oleh seorang pemuda, maka ia tentu akan memanfaatkan prinsip representasi mayoritas dalam memperjuangkan kemaslahatan kolektif bangsa dengan tetap meyakini kebebasan individu. Ia berjuang atas nama demokrasi Pancasila dan dalam koridor multikulturalisme yang inklusif dan toleran serta kebenaran mutlak Tuhan.

Terjawab sudah permasalahan utama yang dialami oleh para pemuda. Kepemimpinan yang dimotori oleh pemuda dengan hubungan transenden yang kuat, tentu akan mengubah percaturan politik demokrasi nasional kelak menjadi sebuah cetak biru sepenggal firdaus. Teodemokrasi – istilah yang digunakan Sartono Kartodirdjo dan Kuntowijoyo – yang pancasilais menjadi sistem politik negara, nilai-nilai demokrasi meningkat derajatnya, dan sistem integritas nasional antar semua institusi dari semua sektor terjalin dengan kuat. Itulah sekian contoh yang kelak akan didapat oleh bangsa ini manakala kaum muda mendayagunakan kapasitas potensi mereka akan nilai sila pertama Pancasila dengan utuh.

“Wahai para pemuda! Jika Indonesia jatuh, maka itu tak berarti apa-apa bagian kalian. Disebabkan keberadaan kalianlah semua kegagalan dapat diputarbalikkan menjadi peradaban yang menghegemoni dunia. Maka, konsolidasikan diri kalian sebaik mungkin dalam menyongsong babak baru gelombang sejarah bangsa Indonesia. Pahami dengan utuh dan mendalam komitmen utama bangsa yang dirumuskan dalam Pancasila oleh generasi awal, khususnya keyakinan kalian pada Tuhan Yang Maha Esa. Sungguh, kalian berada dalam fase awal generasi kaum muda yang ditunggu peranannya dalam kebangkitan bangsa. Jadilah seorang negarawan besar yang mencerdaskan kehidupan bangsa. Pemuda saat ini, kelak menjadi negarawan sempurna untuk bangsa.”

Kepustakaan

Al Banna. Risalah Pergerakan Ikhwanul Muslimin. Surakarta: Era Adicitra Intermedia, 2010.

Hamzah, Fahri. Negara, Pasar dan Rakyat: Pencarian Makna, Relevansi dan Tujuan. Jakarta: Yayasan Faham Indonesia, 2010.

____________. Demokrasi Transisi Korupsi: Orkestra Pemberantasan Korupsi 

Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2011.

Madjid, Nurcholish. Islam, Kemodernan, dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan, 1984.

Matta, Anis. Menikmati Demokrasi. Bandung: Fitrah Rabbani, 2010.

_________. Gelombang Ketiga Indonesia. Jakarta: The Future Institute, 2014.

Catatan Kaki:

[1] Menurut Polybios (200-118 SM), sistem politik sebuah negara akan mengalami siklus secara periodik. Hal ini disebabkan tidak ada sistem politik yang sempurna di setiap zaman. Ketika sebuah sistem politik sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan sebuah negara, maka akan digantikan dengan sistem politik yang lain. Periodisasi sistem politik ini terus berputar dari monarki, tirani, aristokrasi, oligarki, demokrasi, dan okhlorasi. Namun, menurut hemat penulis, demokrasi merupakan sistem terbaik untuk diimplementasikan hingga saat ini.

[2] Istilah pemuda dalam tulisan ini berbeda konteks cara pandang dengan frase “kaum muda”. Seorang pemuda berarti ia telah mendapatkan label seorang newbie sebagai kalangan kaum muda. Mendayagunakan kapasitas potensi kaum muda dapat dilakukan dengan memberdayakannya ketika masih berada dalam fase pemuda.

[3] Walaupun demikian, pendapat Yudi Latif mengenai setiap individu berkewarganegaraan Indonesia berhak untuk menyandang status sebagai seorang ateis – dengan tetap menjaga nilai ketuhanan dan keagamaan – menurut hemat penulis tidak relevan dengan makna sila pertama Pancasila. Makna ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ dimaksudkan bahwa setiap warga negara berhak untuk memeluk agama apa pun. Namun, tidak membenarkan adanya penganut ateisme. Bahkan, sila pertama ini ditegaskan kembali muatan kontennya dalam pasal 29 (2) UUD 1945.

 

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Medan, 8 Maret 1996. Saat ini tinggal di Kota Bandung. Pernah menempuh pendidikan di Yayasan Ummul Quro Bogor, Ma'had Husnul Khotimah Kuningan dan Insan Cendekia Serpong. Memiliki minat dalam sains dan energi serta selalu berusaha mengungkapkan kebenaran ilmiah dengan cahaya ilmu yang berada di Al-Qur'an. Berbagai perlombaan dan prestasi telah diraih olehnya dan Insha Allah dapat menorehkan prestasi yang lebih membanggakan. Dalam hidup berusaha untuk dapat menjadi yang terbaik dintara yang lain dalam ketaqwaan kepada Allah. Semoga Allah memudahkan sekaligus meridhoi apa-apa yang dilakukan olehnya dan ia pun ridho atas apa yang Allah SWT tentukan untuknya. Saat ini sedang berusaha menggeluti dunia tulis menulis dengan baik dan selalu menjadi mujahid yang haus akan ilmu dan hikmah. Penulis merupakan salah satu mahasiswa dan aktivis dakwah kampus di Institut Teknologi Bandung ??? ???? ?? ????? ??? ? ???? ??

Lihat Juga

Mengenang 2 Tahun Upaya Kudeta Militer di Turki: Sebuah Titik Balik

Figure
Organization