Topic
Home / Pemuda / Essay / Jadi Seleb di Akhirat, Yuk!

Jadi Seleb di Akhirat, Yuk!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

dakwatuna.com – “Kirim sms sebanyak-banyaknya buatku, yaaach! Ojo lali!” kata Bambang yang berada di dalam kotak kaca berukuran 14 inci di sebuah warung kopi, sambil terus mesem lebar dan tak lupa dada-dada.

Ajang pencarian bakat yang menjamur di banyak stasiun televisi, tentu tidak asing lagi bagi kita. Entah itu pencarian bakat jadi penyanyi, koki, bahkan hingga profesi yang katanya berbau surga: “dai”. Nah loh! Tidak dapat dipungkiri, dunia entertainment ini memang menggiurkan bagi banyak kalangan. Alasannya, tentu saja dunia entertainment ini—katanya—bisa menjamin hidup seseorang sampai tujuh keturunan lebih! Dunia ini juga menjanjikan kamu lebih dikenal orang banyak, lebih beken, lebih ngetop, lebih banyak followers twitternya *eh.

Dilihat dari layar kaca saja, para ‘public figure’ yang berkecimpung dalam dunia ini terkesan terlihat seperti orang yang nggak butuh duit. Gimana bisa, punya tas yang harganya bisa buat bayar biaya SD sampai lulus! Nah, maka dari itu, manusia yang hidup di era ini, banyak yang bercita-cita bisa berada dalam dunia itu. Dunia yang di mana gemilangnya begitu menyilaukan hati-hati yang rapuh.

Sobat muslim, cita-cita jadi tenar, beken dan segala tetek bengeknya, emang nggak masalah. Nggak dosa. Tapi, apa hanya itu tujuan kita diciptakan? Apa menjadi tenar bisa membuat kita merasakan sebenar-benarnya bahagia? Jika pun alasan kita tenar itu dihubung-hubungkan dengan dakwah yang begitu dianjurkan agama, apakah dalam diri, masih ada rasa ingin dipuji? Sebab jika begitu, masihkah ada keikhlasan hati?

Tidak perlu ketenaran, jika tenangmu mampu mengukir senyum bibir-bibir pucat di sekitarmu. Tidak penting harta berlimpah, jika iman di dadamu, terus menguat. Percayamu kepada pencipta, tertanam hebat. Bahwa semua ini, pasti berbatas. Bermasa. Kelak jika waktunya tiba, yang fana ini benar-benar akan lenyap tiada.

Maka dari itu, bolehlah bercita-cita jadi tenar. Jika ketenaran, benar-benar bisa mengantarmu pada kebahagiaan di fase hidup kita setelah ini. Bolehlah menjadi beken, jika dengan itu, kita lebih bisa mengucap syukur atas nikmat hembus napas ini dan bisa berbagi kebahagiaan yang sama terhadap yang lainnya.

Dunia ibarat air laut, diminum hanya menambah haus
Nafsu bagaikan fatamorgana, di padang pasir
Panas yang membahang, disangka air
Dunia dan nafsu bagai bayang-bayang
Dilihat ada, ditangkap hilang…
(Raihan – Antara Dua Cinta)

Who am I?
Sobat muslim, di usia kita yang sedang berada dalam tahap remaja ini, beragam cara sering dilakukan untuk mengenal diri sendiri. Sesungguhnya, aku ini siapa? Pikiran-pikiran itu, meski sejenak, pasti pernah terlintas di setiap benak anak-anak muda. Maka tak jarang, mereka mulai mencari jati diri mereka sebenarnya, dan sangat bersemangat membuktikan pada dunia bahwa, ‘Aku ini pernah ada!’. Beragam sekali cara yang dilakukan sobat-sobat muda kita. Ada yang meniru-niru idolanya. Ada yang mencoba mengenal kepribadian diri melalui tes-tes psikologi online gratis di internet, atau ada yang rutin mengikuti forum-forum yang dirasa sesuai dengan dirinya.

Di sini, saya ingin membahas remaja langka yang mencoba mengenal diri mereka lewat jalan tarbiyah. Ya, kita. Remaja muslim yang terus berusaha memuliakan dien ini. Ada yang menyebut mereka anak Rohis, LDK atau bahkan alien—karena dalam pandangan orang yang nggak paham, mereka ini… pokoknya aneh banget deh! Tak jarang juga ada yang mengatakan mereka sebagai manusia yang sok bau surga.

Orang yang berkecimpung di dalamnya ini, biasa disebut ikhwan dan akhwat. Seperti yang dituturkan oleh Muhammad Ihsan dari Fakultas Ekonomi Islam IAIN Walisongo, Sebenarnya, ditinjau dari segi bahasa, ikhwan berarti saudara laki-laki. Begitu juga dengan akhwat yang berarti saudara perempuan.

Tapi di era ini, penyebutan ikhwan dan akhwat lebih ekstrem. Kini, kata Aisyah Taqiyya mahasiswi LIPIA Jakarta, ikhwan dan akhwat, karena dilihat dari penyebutannya saja—karena berbahasa Arab—sudah terlihat sangat agamis, orang-orang menjadi mengidentikkan penyebutan ikhwan, pada seorang muslim yang berjenggot, tidak isbal, dsb. Begitu pula akhwat, disematkan pada wanita yang biasanya mengenakan pakaian yang longgar dan tidak membentuk lekuk tubuh, mereka yang sangat menjaga dirinya, dsb. Hingga sebagian kalangan menyebutnya sok alim.

Hey, tapi jika memang begitulah syariat, why not? Bukankah hidup di dunia ini hanya pemberhentian sementara? Dan jika kita akan melakukan perjalanan jauh, bukankah kita harus mengumpulkan banyak bekal? Jika pun caci dan hina menghampiri, bersabarlah, Sobat. Toh syariat Islam, tidak hanya berlaku di zaman Nabi, kan?

Maka sekarang, pilihan ada di tangan kita. Apakah kita akan mengisi bekal kita dengan sebaik-baiknya bekal dengan amalan-amalan yang disyariatkan, atau membiarkannya penuh dengan amalan-amalan yang kita anggap baik, tapi pada hakikatnya hanya tipuan semata karena syariat tidak pernah mengaturnya.

Jejak Manusia Langit

1. Terompah di Surga
Adalah Bilal ibn Rabah, budak dari Habsyah. Ia seorang berkulit hitam dan berbibir tebal. Panasnya padang gurun Arab itu menjadi saksi keimanan Bilal. Ia disiksa, diseret di pepasir yang membara, ditindih batu. Tapi semuanya itu tidak dengan mudah menghilangkan keteguhan dan keimanan Bilal. Saat itu, ia terus saja merapal kalimat “Ahadun Ahad,”

Maka, Maha Suci Allah ketika subuh itu, Rasulullah mengabarkan sembari bertanya kepada sahabat yang mulia ini.
“Sungguh dalam mimpiku, aku telah mendengar suara terompahmu di surga,” kata Rasul dengan takjub. “Maka ceritakanlah padaku, amalan yang mengantarkanmu pada amalan tersebut.”

“Ya Rasulullah,” jawab Bilal, “Setiap aku berwudhu, kapanpun itu, baik siang maupun malam, aku selalu melakukan shalat dengan wudhu tersebut.”

Masya Allah! Sobat muslim, lihatlah bagaimana Allah meninggikan Bilal di Antara sahabat lainnya sebab amalan yang dilakukannya secara konsisten. Dia dicela di dunia oleh orang-orang yang tidak suka dengan keislamannya, tapi Allah melangitkan namanya, bahkan suara terompahnya hingga surga!

2. Idola Malaikat
Uwais merasa bimbang dengan getar rindu di dadanya. Ia benar-benar tidak tega meninggalkan Ibunda yang telah renta. Kehidupannya yang miskin, dan statusnya yang menjadi penggembala kambing, membuat banyak penduduk Yaman yang tidak mengenalnya. Ia sering menerima cela dan cerca, bahkan tuduhan pencuri pun disematkan padanya.

Tetangga-tetangga Uwais yang juga pemeluk Islam, banyak yang telah pergi ke Madinah, menemui Rasulullah. Hal itu membuat rindu Uwais pada Rasulullah semakin bertambah-tambah. Dan Uwais hanya mampu memendam keinginan itu rapat-rapat dalam dadanya, sebab tak tega meninggalkan sang Ibunda yang telah udzur dan sudah kehilangan nikmat penglihatannya itu.

Namun pada suatu hari, ibunya mengizinkan Uwais untuk pergi menemui Rasulullah di Madinah, sembari berpesan agar segera kembali ke Yaman ketika urusannya telah selesai. Dengan mengucap terima kasih, tak lupa Uwais menyiapkan kebutuhan sang ibu ketika dia pergi dan meminta tetangganya untuk menemani ibunya. Ia melakukan perjalanan panjang untuk menemui Rasulullah.

Setiba Uwais di Madinah, ia segera menuju kediaman Rasulullah. Namun malang, saat itu, Rasul sedang berada di medan perang. Dengan sabar, Uwais menunggu Rasulullah pulang. Tapi di tengah penantiannya, Uwais teringat dengan sang ibunda. Maka karena ketaatannya, Uwais memutuskan untuk kembali ke Yaman.

Sekembalinya Rasul dari medan perang, beliau bertanya kepada Aisyah perihal orang yang mencarinya selama dia pergi.
“Kalau kalian ingin berjumpa dia,” kata Rasulullah, “perhatikanlah telapak tangannya. Ia mempunyai tanda putih di tengah-tengahnya.”
“Suatu ketika apabila kalian menjumpainya,” lanjut Rasulullah, kepada Umar Ibn Khaththab dan Ali, “mintalah doa dan istighfarnya. Ia adalah penghuni langit.”

Masya Allah! Meski penduduk bumi tidak ada yang mengenalnya, penghuni langit sudah tidak lagi asing dengan namanya. Rasul bahkan menyarankan Umar dan Ali untuk meminta doa pada Uwais. Beberapa riwayat menceritakan, di hari kematian Uwais, banyak orang yang tidak dikenal mengurusi jenazahnya. Maha Suci Allah yang telah memuliakan orang-orang yang bertakwa.

Bintang Paling Berkilau
Sobat muda muslim, akhirnya, kita hanya harus memilih, lalu menjalani amalan-amalan yang mendekatkan kita pada keinginan kita tersebut. Apakah kita mengejar kemuliaan di hiruk pikuknya kehidupan dunia, atau menjadi bintang paling berkilau di tengah-tengah penghuni surga. Semoga Allah selalu membimbing kita pada jalan lurus-Nya. Aamiin

Redaktur: Deasy Lyna Tsuraya

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Zulfa Rahmatina merupakan sarjana Psikologi. Asisten peneliti di Center for Islamic and Indigenous Psychology (CIIP) UMS (2015-2019), dan aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Pabelan sebagai pemimpin redaksi Majalah Pabelan (2017). Tulisan-tulisannya tergabung dalam buku-buku antologi yang diterbitkan oleh penerbit mayor maupun indie.

Lihat Juga

Kecanduan Film, Apa yang Harus Saya Lakukan?

Figure
Organization