Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ramadhan Kembali Berkesan

Ramadhan Kembali Berkesan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (dakwatuna/hdn)
Ilustrasi. (dakwatuna/hdn)

dakwatuna.com – Masih lekat dalam ingatan potret Ramadhan tahun lalu. Ramadhan yang diwarnai bercak darah ikhwan Mesir yang berjuang mempertahankan kehormatan dan hak mereka dari rampasan pasukan kudeta. Kembali kali ini sumber “warna” tidak pula berbeda dari negeri sebelumnya, karena masih merupakan negeri yang mulia, negeri para anbiya; Palestina.

Ratusan nyawa yang telah menjadi korban kebinatangan Zionis Israel sudah cukup untuk memberikan kesan bahwa Ramadhan kali ini tidak lebih baik dari Ramadhan sebelumnya. Bukan… sama sekali bukan Ramadhan yang disalahkan. Akan tetapi para pemilik Ramadhan yang seperti tak lagi pandai mencicipi keberkahan di bulan mulia ini.

Seharusnya di tiap perjumpaan dengan Ramadhan, umat ini bisa belajar bagaimana mewarisi kemenangan yang telah ditorehkan generasi terdahulu. Seperti kejayaan pada perang Badar yang diraih saat Ramadhan 2 H. Atau seperti kegemilangan penaklukan Mekah yang merupakan mercusuar kecemerlangan Islam pada Ramadhan 8 H. Semua kemenangan itu diraih karena generasi terdahulu benar-benar mengerahkan semua energi untuk kebaikannya di bulan ini. Karena Ramadhan adalah bulan di mana pancang-pancang yang menghambat hati untuk beramal terlepas semua, dan jiwa bebas menceburkan diri dalam limpahan rahmat dan bermandikan kebaikan sepuasnya . Maka di mana-mana akan ditemui semangat untuk beramal begitu memuncak dan menggelora.

Namun prestasi-prestasi itu seperti tidak berbekas pada kondisi umat saat ini. Bahkan sungguh tidak layak menyandingkan kualitas Ramadhan umat hari ini dengan generasi terdahulu. Barangkali karena pemaknaan Ramadhan yang sama sekali tidak menyentuh hakikat yang sebenarnya, yang hanya memahami Ramadhan sebatas bagaimana bisa memuaskan nafsu inderawi di waktu sahur dan berbuka. Sehingga tak mengherankan bila justru di bulan Ramadhan banyak ditemui yang suka berleha-leha dan membuang waktu dengan dalih agar dapat mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Setelah itu, “apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas” (an-Nisaa’: 142).

Musuh-musuh pun seperti telah memahami keterbalikan kondisi umat saat ini. Sehingga bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi bulan di mana semangat Jihad (dalam makna yang luas) umat Islam berlipat-lipat jumlahnya, justru menjadi bulan “rutin” bagi umat untuk terbuai dengan kenikmatan makanan, kesenangan hiburan, dan tipuan dunia. Para musuh pun seperti turut memanfaatkan momentum Ramadhan sebagai bulan “kemenangan” mereka untuk sepuas-puasnya menghinakan dan memporak-porandakan Islam.

Masih layakkah kita mengaku menang? Yang jelas kita pantas untuk berduka bahwa di belahan bumi lain masih ada saudara-saudara seiman yang melalui hari-hari Ramadhan dengan syahid dan luka.

Dan… akankah Ramadhan-Ramadhan berikutnya masih bercorak dengan “warna” yang sama? Entahlah… Namun sebelum kita mampu untuk berpuasa sekhidmat mereka yang berbuka hanya dengan seteguk air dan sebiji kurma, sebelum kita mampu ber-qiyam sekhusyuk mereka yang shalat di bawah dengungan pesawat yang kapan saja bisa menghajurkan jasad mereka, sebelum kita mampu membaca Al-Quran sesyahdu mereka yang mengeja dengan isak tangis dan doa, dan sebelum kita bisa merasakan kecemburuan pada kesyahidan mereka, maka rasa-rasanya kita masih belum akan mengakhiri Ramadhan dengan kemenangan.

Wahummimba’di gholabihim sayaghlibuun…

Semoga…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Mujahid Pena

Lihat Juga

Konflik Air Antara Ethiopia, Sudan, dan Mesir

Figure
Organization