Topic
Home / Konsultasi / Konsultasi Agama / Bagaimana Supaya Doa Kita di Bulan Ramadhan Dikabulkan?

Bagaimana Supaya Doa Kita di Bulan Ramadhan Dikabulkan?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

Pertanyaan:

Assalamu’alaikum wr wb

Ustadz, Bagaimana supaya doa kita di bulan Ramadhan segera dijawab? Apa yang harus dilakukan dan apa yang sebaiknya tidak dilakukan?

Terima kasih. Wassalamu’alaikum.

Kurcaci Cantik

Jawaban:

dakwatuna.com – Wa ‘Alaikum Salam wa Rahmatullah wa Barakatuh. Bismillah wal Hamdulillah wash Shalatu was Salamu ‘Ala Rasulillah wa ‘Ala Aalihi wa Shahbihi wa Man waalah, wa ba’d:

Secara umum, berdoa jika terpenuhi adab-adabnya dan sebab-sebab terkabulkannya, Insya Allah akan Allah Ta’ala kabulkan, di waktu kapan pun itu. Sesuai janji-Nya: ud’uni astajib lakum (berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan). Oleh karenanya, jawaban ini bukan semata-mata konteks Ramadhan, tetapi kami bahas secara global: adab, sebab ditolak, momen mustajab berdoa, dan orang spesial yang doanya dikabulkan.

1. Adab-Adab Berdoa

Dalam keadaan merendahkan diri. Hal ini sesuai hadits:

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

كَمْ مِنْ أَشْعَثَ أَغْبَرَ ذِي طِمْرَيْنِ لَا يُؤْبَهُ لَهُ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لَأَبَرَّهُ

“Berapa banyak orang yang pakaiannya kusut dan berdebu yang sudah usang, doanya tidak ditolak, dan seandainya dia bersumpah kepada Allah, Dia menerima sumpahnya.” (HR. At Tirmidzi No. 3854, katanya: hasan. Ahmad No. 12476. Abu Ya’la No. 3987. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Shahihul Jami’ No. 4573. Syaikh Syu’aib Al Arnauth menshahihkannya dalam tahqiq terhadap Musnad Ahmad No. 12476)

2. Menengadahkan kedua tangan

Dari Salman Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إنَّ ربكم تبارك وتعالى حَيِيٌّ كريم يستحي من عبده إذا رفع يديه إليه أن يردهما صفراً

“Sesungguhnya Rabb kalian Tabaraka wa Ta’ala yang Maha Pemalu, merasa malu terhadap hamba-Nya jika dia mengangkat kedua tangannya kepada-Nya, dia mengembalikan kedua tangannya dalam keadaan kosong.” (HR. At Tirmidzi No. 3556, katanya: hasan gharib. Abu Daud No. 1488, Ibnu Majah No. 3856. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 2965. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1830, katanya: sanadnya shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim. Dishahihkan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 1757)

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin Rahimahullah mengatakan:

ومد اليدين إلى السماء من أسباب إجابة الدعاء،كما جاء في الحديث: إنَّ اللهَ حَيِيٌّ كَرِيْمٌ يَسْتَحِييْ مِنْ عَبْدِهِ إِذَا رَفعَ يَديْهِ إِلَيْهِ أَنْ يَرُدَّهُمَا صِفْرَاً

“Membentangkan kedua tangan ke langit termasuk sebab dikabulkannya doa, sebagaimana hadits: Sesungguhnya Allah Yang Maha Malu dan Mulia, merasa malu terhadap hamba-Nya jika dia mengangkat kedua tangannya kepada-Nya lalu dia mengembalikan keduanya dalam keadaan kosong.” (Syarhul Arbain An Nawawiyah, Hal. 138)

Banyak sekali riwayat shahih yang menceritakan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat kedua tangannya ketika berdoa. Baik yang terlihat ketiaknya seperti ketika istisqa dan terbunuhnya paman Abu Musa Al Asy’ari, atau mengangkat tangan biasa saja. Kenyataan ini membuat Imam Bukhari berpendapat bahwa mengangkat kedua tangan ketika berdoa adalah mutlak dilakukan doa kapan pun.

Berkata Imam Abdurrahman Al Mubarkafuri Rahimahullah:

وَلِذَلِكَ اِسْتَدَلَّ الْبُخَارِيُّ فِي كِتَابِ الدَّعَوَاتِ بِهَذَا الْحَدِيثِ عَلَى جَوَازِ رَفْعِ الْيَدَيْنِ فِي مُطْلَقِ الدُّعَاءِ .

Oleh karenanya, Imam Bukhari berdalil dengan hadits ini (hadits tentang istisqa) dalam kitab Ad Da’awat atas kebolehan mengangkat kedua tangan secara mutlak (umum) ketika berdoa.” (Tuhfah Al Ahwadzi, 2/201-202. Cet. 2. Maktabah As Salafiyah, Madinah Al Munawarah)

Al Hafizh Ibnu Hajar telah mengumpulkan dalam Fathul Bari, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengangkat tangan ketika berdoa dalam berbagai kesempatan, di antaranya doa ketika gerhana, doa nabi untuk Utsman, doa nabi untuk Sa’ad bin ‘Ubadah, doa nabi ketika Fathul Makkah, doa nabi untuk umatnya, doa nabi ketika memboncengi Usamah, dan lainnya. Semuanya dengan sanad shahih dan jayyid, dan menyebutkan bahwa nabi mengangkat kedua tangannya ketika melakukan doa-doa tersebut. (Fathul Bari, 11/142)

3. Menghadap Kiblat dan Mengulang-ulang doa

Hal ini pernah dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika menjelang pertempuran Badar. Dengan menghadap kiblat dan mengangkat kedua tangannya, Beliau berdoa:

اللهم! أنجز لي ما وعدتني. اللهم! آت ما وعدتني. اللهم! إن تهلك هذه العصابة من أهل الإسلام لا تعبد في الأرض

“Ya Allah! Penuhilah untukku apa yang Kau janjikan kepadaku. Ya Allah! Berikan apa yang telah Kau janjikan kepadaku. Ya Allah! jika Engkau biarkan pasukan Islam ini binasa, … maka tidak ada lagi yang menyembah-Mu di muka bumi.”

Beliau senantiasa berdoa dengan suara tinggi seperti itu dan menggerakkan kedua tangannya yang sedang menengadah dan menghadap kiblat, sampai-sampai selendang yang dibawanya jatuh dari pundaknya. Lalu Abu Bakar menghampirinya dan meletakkan kembali selendang itu di pundaknya dan dia terus berada di belakangnya. Lalu Abu Bakar Radhiallahu ‘Anhu berkata:

يا نبي الله! كذاك مناشدتك ربك. فإنه سينجز لك ما وعدك

“Wahai Nabi Allah! Inilah sumpahmu kepada Tuhanmu, sesungguhnya Dia akan memenuhi apa yang dijanjikan-Nya kepadamu.”

Lalu turunlah firman Allah Ta’ala:

إذ تستغيثون ربكم فاستجاب لكم أني ممدكم بألف من الملائكة مردفين

“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya bagimu: “Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepada kamu dengan seribu malaikat yang datang berturut-turut.” (QS. Al Anfal (8): 9). (HR. Muslim No. 1763, At Tirmidzi No. 5075, Ibnu Hibban No. 4793. Ahmad No. 208, Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/95)

Juga dalam Shahih BukhariKitab Al Jum’ah Bab Al istisqa’ fil Masjid Al Jami’, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdoa diulang tiga kali ketika meminta turun hujan: “Allahumma isqinaa (Ya Allah turunkanlah kami hujan).”

4. Mendahului dengan pujian kepada Allah Ta’ala dan bershalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam

Fadhalah bin ‘Ubaid berkata, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi was Sallam mendengar seorang laki-laki berdoa dalam shalatnya, tapi dia tidak memuji Allah dan tidak bershalawat kepadanya, lalu Beliau memanggilnya dan berkata kepada dia dan lainnya:

إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ فَلْيَبْدَأْ بِتَحْمِيدِ رَبِّهِ وَالثَّنَاءِ عَلَيْهِ، ثُمَّ لِيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ، ثُمَّ لِيَدْعُ بَعْدُ بِمَا شَاءَ

  Jika kalian berdoa mulailah dengan memuji Rabbnya lalu bershalawat kepada Nabi, lalu berdoalah setelah itu sesukanya. (HR. At Tirmidzi, katanya: hasan shahih. 3477, Ahmad No. 23937, Al Hakim, No. 840, katanya: shahih sesuai syarat Imam Muslim. Disepakati oleh Imam Adz Dzahabi dalam At Talkhish. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 23937)

5. Khusyu’, Mantapkan Hati, Penuh Harap, Percaya Diri

Allah Ta’ala berfirman:

إِنَّهُمْ كَانُوا يُسَارِعُونَ فِي الْخَيْرَاتِ وَيَدْعُونَنَا رَغَبًا وَرَهَبًا وَكَانُوا لَنَا خَاشِعِينَ

Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dengan harap dan cemas. Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu’ kepada Kami.” (Al-Anbiya: 90)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

لاَ يَقُولَنَّ أَحَدُكُمْ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي إِنْ شِئْتَ، اللَّهُمَّ ارْحَمْنِي إِنْ شِئْتَ، لِيَعْزِمِ المَسْأَلَةَ، فَإِنَّهُ لاَ مُكْرِهَ لَهُ

Janganlah kamu berdoa: “Ya Allah ampunilah aku jika Engkau mau, rahmatilah aku jika Engkau mau,” hendaknya dia mantapkan hati atas doanya itu karena sesungguhnya Allah tidaklah dipaksa oleh doanya itu. (HR. Bukhari No. 6339, 7477, Muslim No. 2679)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ادعوا الله وأنتم موقنون بالإجابة واعلموا أن الله لا يستجيب دعاء من قلب غافل لاه

Berdoalah kepada Allah dan kalian meyakininya akan dikabulkan, ketahuilah bahwa Allah tidak akan mengabulkan doa dari hati yang lalai dan lengah. (HR. At Tirmidzi No. 3479, Al Hakim No. 1817, Al Bazzar No. 10061, Al Kharaithy, I’tilal Al Qulub, No. 5, Ath Thabarani, Al Awsath, No. 5109. Sanad hadits ini dhaif (lemah) namun memiliki beberapa jalur riwayat yang menguatkannya, sehingga para ulama menghasankannya, seperti Syaikh Abdul Qadir Al Arnauth (Raudhatul Muhadditsin No. 4861), Syaikh Al Albani (Shahihul Jami’ No. 245), Al Mundziri (At Targhib wat Tarhib, 2/491-492), Al Haitsami (Majma’ Az Zawaid, 10/148) )

6. Melirihkan suara, sedang-sedang saja, jangan mengeraskan suara kecuali jika ada alasan syar’i

Allah Ta’ala berfirman:

ادْعُوا رَبَّكُمْ تَضَرُّعًا وَخُفْيَةً إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ

“Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al A’raf: 55)

Allah Ta’ala berfirman:

وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَابْتَغِ بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا

Janganlah kalian mengeraskan doa kalian dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra: 110)

Inilah adab dasar dalam berdoa yaitu dilirihkan suaranya, seperti ketika berdoa sendiri-sendiri. Namun, dibolehkan dikeraskan suara, jika ada kebutuhan seperti berdoa ketika khutbah Jum’at dan ‘Id, istisqa, qunut nazilah, atau seseorang berdoa yang diikuti jamaah , sebagaimana dicontohkan dalam beberapa riwayat shahih berikut.

Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu menceritakan keadaan menjelang perang Badar, katanya:

لَمَّا كَانَ يَوْمُ بَدْرٍ نَظَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى الْمُشْرِكِينَ وَهُمْ أَلْفٌ وَأَصْحَابُهُ ثَلَاثُ مِائَةٍ وَتِسْعَةَ عَشَرَ رَجُلًا فَاسْتَقْبَلَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْقِبْلَةَ ثُمَّ مَدَّ يَدَيْهِ فَجَعَلَ يَهْتِفُ بِرَبِّهِ اللَّهُمَّ أَنْجِزْ لِي مَا وَعَدْتَنِي……

“Di hari ketika perang Badr, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memandangi kaum musyrikin yang berjumlah 1000 pasukan, sedangkan sahabat-sahabatnya 319 orang. Lalu Nabiyullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menghadap kiblat, kemudian dia menengadahkan kedua tangannya lalu dia berteriak memanggil Rabbnya: Ya Allah! Penuhilah untukku apa yang Kau janjikan kepadaku …… (HR. Muslim No. 1763)

Al Imam An Nawawi Rahimahullah berkata:

وَفِيهِ: اِسْتِحْبَاب اِسْتِقْبَال الْقِبْلَة فِي الدُّعَاء وَرَفْع الْيَدَيْنِ فِيهِ ، وَأَنَّهُ لَا بَأْس بِرَفْعِ الصَّوْت فِي الدُّعَاء .

“Dalam hadits ini disunahkan menghadap ke kiblat ketika berdoa dan mengangkat kedua tangan, dan tidak apa-apa meninggikan suara ketika doa.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/213. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Dalam Shahih Bukhari, Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu berkata:

أَتَى رَجُلٌ أَعْرَابِيٌّ مِنْ أَهْلِ الْبَدْوِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلَكَتْ الْمَاشِيَةُ هَلَكَ الْعِيَالُ هَلَكَ النَّاسُ فَرَفَعَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَدَيْهِ يَدْعُو وَرَفَعَ النَّاسُ أَيْدِيَهُمْ مَعَهُ يَدْعُونَ

“Datang seorang laki-laki Arab Pedalaman, penduduk Badui, kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Jumat. Dia berkata: “Wahai Rasulullah, ternak kami telah binasa, begitu pula famili kami dan orang-orang.” Maka, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallm mengangkat kedua tangannya, dia berdoa, dan manusia ikut mengangkat kedua tangan mereka bersamanya ikut berdoa.” (HR. Bukhari No. 983)

7. Mengutamakan doa-doa Ma’tsur

Hendaknya kita berdoa lebih mengutamakan doa-doa ma’tsur, yaitu kalimat doa yang berasal dari Al Quran dan As Sunah. Tetapi boleh saja kita menggunakan doa buatan manusia, terkait hajat dunianya, walau doa ma’tsur lebih utama.

Para ulama mengatakan:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى جَوَازِ كُل دُعَاءٍ دُنْيَوِيٍّ وَأُخْرَوِيٍّ، وَلَكِنَّ الدُّعَاءَ بِالْمَأْثُورِ أَفْضَل مِنْ غَيْرِهِ.

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bolehnya semua bentuk doa duniawi dan ukhrawi, tetapi doa yang ma’tsur lebih utama dibanding selainnya. (Raudhatut Thalibin, 1/265, Asna Al Mathalib, 1/16)

Orang-Orang Spesial Yang Doanya Dikabulkan

Dalam hal ini kami akan berikan beberapa contoh, sebagaimana tertera dalam beberapa hadits berikut:

Pertama. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: Ada tiga manusia yang doa mereka tidak akan ditolak: 1. Doa orang yang berpuasa sampai dia berbuka, 2. Pemimpin yang adil, 3. Doa orang yang dizalimi. (HR. At Tirmidzi No. 2526, 3598, katanya: hasan. Ibnu Hibban No. 7387, Imam Ibnul Mulqin mengatakan: “hadits ini shahih.” Lihat Badrul Munir, 5/152. Dishahihkan oleh Imam Al Baihaqi. Lihat Shahih Kunuz As sunnah An Nabawiyah, 1/85. Sementara Syaikh Al Albani mendhaifkannya. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 2526)

Kedua. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ثَلَاثُ دَعَوَاتٍ مُسْتَجَابَاتٌ دَعْوَةُ الْمَظْلُومِ وَدَعْوَةُ الْمُسَافِرِ وَدَعْوَةُ الْوَالِدِ عَلَى وَلَدِهِ

“Ada tiga doa yang dikabulkan: Doa orang yang dizalimi, doanya musafir, dan doa orang tua untuk anaknya.” (HR. At Tirmidzi No. 1905, 3448, katanya: hasan. Abu Daud No. 1536, Ibnu Majah No. 3862, dan ini menurut lafaz At Tirmidzi. Syaikh Al Albani menghasankan dalam berbagai kitabnya, seperti Shahihul Jami’ No. 3030, 3031, 3032, 3033. Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 1905. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1536, Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 3862, Shahih At Targhib wat Tarhib No. 1655, 2226, 3132. As Silsilah Ash Shahihah No. 596)

Ketiga. Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

الغَازِي فِي سَبِيْلِ اللهِ وَالْحَاجُّ وَالْمُعْتَمَرُ وَفْدُ اللهِ دَعَاهُمْ فَأَجَابُوْهُ وَسَأَلُوْهُ فَأَعْطَاهُمْ .

“Orang yang berperang dijalan Allah, haji, dan umrah, adalah duta-duta Allah, jika mereka berdoa Allah akan mengabulkannya, jika mereka meminta, Allah akan memberinya.” (HR. Ibnu Majah No. 2893, hadits ini hasan. Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 2893)

Dalam tiga hadits ini, ada banyak orang yang doanya tidak akan ditolak:

  1. Doa orang yang sedang puasa (baik sunah atau wajib)
  2. Pemimpin yang adil
  3. Doa orang yang dizalimi (ini dua kali disebut dalam hadits di atas)
  4. Doa musafir
  5. Doa orang tua kepada anaknya
  6. Mujahid fi sabilillah
  7. Orang yang sedang umrah
  8. Orang yang sedang menunaikan haji

Waktu dan Momen Mustajab untuk Berdoa

Agama ini telah menginfokan waktu-waktu istimewa untuk berdoa, yang dengannya berdoa akan dikabulkan. Di antaranya sebagai contohnya adalah berikut ini:

Pertama. Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, beliau berkata:

أيُّ الدُّعاء أسمعُ؟ قال صلّى الله عليه وسلّم: «جوف الليل، وأدبار الصلوات المكتوبة»

“Doa manakah yang paling didengar? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Doa pada sepertiga malam terakhir, dan setelah shalat wajib.” (HR. At Tirmidzi, No. 3499. Syaikh Al Albani menghasankan hadits ini, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, No. 3499)

Kedua. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

ينزل الله تعالى كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل الأخير فيقول عز وجل: من يدعونى فأستجب له، من يسألنى فأعطيه، من يستغفرنى فأغفر له

Allah turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Allah berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, Aku kabulkan, siapa yang meminta, akan Aku beri, dan siapa yang memohon ampunan pasti Aku ampuni’.” (HR. Bukhari No. 1145, dan Muslim No. 758)

Ketiga. Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَقْرَبُ مَا يَكُونُ الْعَبْدُ مِنْ رَبِّهِ وَهُوَ سَاجِدٌ فَأَكْثِرُوا الدُّعَاءَ

“Posisi paling dekat antara hamba dengan Rabbnya adalah ketika sujud, maka perbanyaklah kalian berdoa.” (HR. Muslim No. 482)

Keempat. Dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إِنَّ أَبْوَابَ السَّمَاءِ تُفْتَحُ عِنْدَ زَحْفِ الصُّفُوفِ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَعِنْدَ نُزُولِ الْغَيْثِ، وَعِنْدَ الإِقَامَةِ لِلصَّلاةِ الْمَكْتُوبَةِ، فَاغْتَنِمُوا الدُّعَاءَ

Sesungguhnya pintu-pintu langit dibuka ketika perang fi sabilillah berkecamuk, turunnya hujan, ketika shalat wajib, maka banyaklah berdoa saat itu. (HR. Al Baghawi, Syarhus Sunnah No. 429)

Kelima. Dari Abu Umamah Radhiallahu ‘Anhu, dia mendengar Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

تُفْتَحُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ، وَيُسْتَجَابُ الدُّعَاءُ فِي أَرْبَعَةِ مَوَاطِنَ: عِنْدَ الْتِقَاءِ الصُّفُوفِ فِي سَبِيلِ اللهِ، وَعِنْدَ نُزُولِ الْغَيْثِ، وَعِنْدَ إِقَامَةِ الصَّلَاةِ، وَعِنْدَ رُؤْيَةِ الْكَعْبَةِ

Dibukanya pintu-pintu langit dan dikabulkannya doa ada empat keadaan: ketika berperang fi sabilillah bertemu barisan musuh, turunnya hujan, ketika berdirinya shalat, dan ketika melihat Ka’bah. (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir No. 7713, Al Baihaqi, As Sunan Al Kabir No. 6460, juga Ma’rifatus Sunan wal Aatsar No. 7239)

Dari lima hadits di atas ada, ada informasi kita dapatkan bahwa ada beberapa momen dikabulkannya doa:

  1. Serpertiga malam terakhir
  2. Ketika shalat
  3. Ketika sujud
  4. Setelah shalat [1]
  5. Ketika berperang
  6. Turunnya hujan
  7. Melihat Ka’bah

Khusus Doa-Doa dan Wirid Ramadhan

Berikut ini beberapa doa yang memiliki riwayat dalam sunah yang shahih atau hasan ketika bulan Ramadhan atau berpuasa.

Pertama. Berdoa di waktu berbuka puasa juga diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Berikut ini adalah doanya: “Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, jika sedang berbuka puasa dia membaca:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ، وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ

Dzahaba Azh Zhama’u wab talatil ‘uruqu wa tsabatal ajru insya Allah.” (HR. Abu Daud No. 2357, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7922, Ad Daruquthni, 2/185, katanya: “isnadnya hasan.” An Nasa’i dalam As sunan Al Kubra No. 3329, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1536, katanya: “Shahih sesuai syarat Bukhari- Muslim”. Al Bazzar No. 4395. Dihasankan Syaikh Al Albani dalam Shahihul Jami’ No. 4678)

Kedua. Bacaan ketika Lailatul Qadar.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِنْ عَلِمْتُ أَيُّ لَيْلَةٍ لَيْلَةُ الْقَدْرِ مَا أَقُولُ فِيهَا قَالَ قُولِي اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

Dari ‘Aisyah dia berkata “Aku berkata: Wahai Rasulullah, apa pendapatmu jika aku mengetahui bahwa pada suatu malam adalah Lailatul Qadar, apa yang aku katakan?” Beliau menjawab: “Ucapkanlah, ‘Allahumma innaka ‘afuwwun karim tuhibbul ‘afwa fa’fu’anni.” (HR. At Tirmidzi No. 3513, At Tirmidzi berkata: hasan shahih. Ibnu Majah No. 3850. Syaikh Al Albani menshahihkannya. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 3337, Shahihul Jami’ No. 4423, dan lainnya)

Kita tidak mengetahui datang pastinya Lailatul Qadar, maka untuk antisipasi tidak mengapa dibaca tiap malam.

Ketiga. Dari Abdurrahman bin Abza, dari ayahnya, katanya:

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُوتِرُ بِسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَقُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ، وَقُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ، وَإِذَا أَرَادَ أَنْ يَنْصَرِفَ مِنَ الْوِتْرِ قَالَ: سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ ” ثَلَاثَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ يَرْفَعُ صَوْتَهُ فِي الثَّالِثَة

Dahulu witirnya nabi dengan membaca Sabbihisma Rabbikal A’la, Qul Yaa ayyuhal kaafirun, dan Qul Huwallahu Ahad. Jika sudah selesai dari witirnya, Beliau membaca: “Subhaanal Malikil Qudduus” sebanyak tiga kali, dan dia meninggikan suaranya pada bacaan yang ketiga. (HR. Ahmad No. 15361, Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 15361)

Demikian. Wallahu A’lam.

Catatan Kaki:

[1] Sebagian ulama TIDAK MENYETUJUI adanya berdoa setelah shalat, bagi mereka tidak ada dalilnya, dan cukup wirid saja. Menurut mereka makna adbarush shalawatil maktubah adalah diakhir shalat wajib, bukan setelah shalat. Inilah yang diyakini oleh Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Abul Abbas Al Qurthubi, Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin, dan lainnya.

Pendapat ini telah dikoreksi Al Hafizh Ibnu Hajar dengan berbagai hadits shahih tentang contoh doa ba’da shalat yang diajarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (Fathl Bari, 11/133)

Imam Al Bukhari, dalam kitab Shahih-nya, telah menulis BAB AD DU’A BA’DA ASH SHALAH (Bab Tentang Doa Setelah Shalat). Entah, kenapa keterangan ini dikatakan tidak ada dalilnya?

Al Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah berkata:

قوله: “باب الدعاء بعد الصلاة” أي المكتوبة، وفي هذه الترجمة رد على من زعم أن الدعاء بعد الصلاة لا يشرع

“Ucapannya (Al Bukhari), “Bab Tentang Doa Setelah Shalat” yaitu shalat wajib. Pada bab ini, merupakan bantahan atas siapa saja yang menyangka bahwa berdoa setelah shalat tidak disyariatkan.” (Koreksi lengkap beliau terhadap Imam Ibnul Qayyim, lihat di Fathul Bari, 11/133-135. Darul Fikr)

Adanya berdoa setelah shalat adalah pendapat mayoritas ahli fiqih. Dalam Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah disebutkan:

ذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ إِلَى أَنَّ مَا بَعْدَ الصَّلاَةِ الْمَفْرُوضَةِ مَوْطِنٌ مِنْ مَوَاطِنِ إِجَابَةِ الدُّعَاءِ

“Pendapat mayoritas fuqaha adalah bahwa waktu setelah shalat fardhu merupakan waktu di antara waktu-waktu dikabulkannya doa.” (Al Mausu’ah, 39/227). Wallahu A’lam.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Doa dan Munajat untuk Keselamatan Dalam Menghadapi Pandemi COVID-19

Figure
Organization