Topic
Home / Berita / Opini / Di Ambang Chaos, Gus Dur Datang dan ‘Mengacau’

Di Ambang Chaos, Gus Dur Datang dan ‘Mengacau’

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

KH Abdurahman Wahid (Gusdur)
KH Abdurahman Wahid (Gusdur)

dakwatuna.com – Ketegangan tahun politik 2014 ini mengingatkan kembali perjalanan bangsa yang tak pernah sepi dari berbagai ujian. Beberapa kali negara kita berada pada situasi genting, melewati peralihan kekuasaan dengan berdarah-darah.

Tragedi 1965 meninggalkan luka yang cukup dalam, mewarnai peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Sempat diwarnai beberapa tragedi dan sejumlah kerusuhan masal, reformasi 1998 yang mengakhiri Orde Baru sempat memunculkan kekhawatiran ancaman serupa, disintegrasi bangsa yang bisa mengakhiri riwayat negara ini.

Upaya melewati peralihan kekuasaan secara damai, di antara ketegangan antara mereka yang mengidentifikasikan diri sebagai kekuatan reformis menghadapi mereka yang diberi stigma sebagai pro ststus quo, seharusnya menjadi pembelajaran kita menghadapi kekhawatiran di 2014 ini.

Pemilu 1999 baru saja usai. Gambaran hasilnya sudah bisa terbaca. Jika diproyeksikan dengan keadaan bangsa secara keseluruhan, potensi konflik yang bisa terjadi memang mengkhawatirkan. Terbelah antara kubu Mega vis kubu Habibie. Membutuhkan terobosan politik untuk meredakan ketegangan tersebut. Yakni politik kompromi dan akomodasi yang bisa diterima kedua belah pihak.

Gus Dur menemui ketua umum PP Muhammadiyah, Syafi’i Ma’arif, mengajukan sebuah argumen. Jika Megawati yang menjadi Presiden, akibatnya akan begini-begini. Jika Habibie yang menjadi Presiden, akibatnya juga begini-begini. Demikian pula jika Amien Rais yang menjadi Presiden, akibatnya juga akan begini-begini. Kemudian, Gus Dur menawarkan diri, bagaimana jika dirinya saja yang menjadi Presiden? Saat itu, masih dianggap ide gila.

Dilanjutkan dengan perbincangan tentang bagi-bagi kekuasaan. Mengakomodasi semua komponen yang ada. Terbentuklah kabinet Persatuan Nasional yang menjadi pereda ketegangan bangsa ini. Meski hanya efek semu untuk solusi sementara.

Gus Dur memang tak punya niat menjadi Presiden. Meski juga bukan untuk main-main saja. Pendukungnya tak perlu sakit hati jika ia dilengserkan.

Begitulah Gus Dur dan reformasi 1998, agar tak mengulangi kecelakaan sejarah 1965. Gempa dahsyat yang mengancam bangsa ini, dipecah menjadi gempa-gempa kecil, meminimalisasi dampak kerusakan yang ditimbulkannya. Gus Dur datang dan ‘mengacaukan’ keadaan, ketegangan ideologis antara dua kubu yang berhadapan secara frontal, dialihkan kepada masalah-masalah lain. Kita disibukkan oleh korupsi berjamaah, bancakan uang negara dan berebut kekuasaan, melupakan konflik ideologis yang lebih dahsyat.

Di tengah ketegangan, Gus Dur membuat ‘kekacauan’. Pihak yang berseteru menjadi kalang kabut, tak sempat melanjutkan perseteruan. Bahkan, sesekali harus bahu-membahu dengan lawan, diributkan oleh Gus Dur. Gus Dur memang membuat semua jadi repot.

Gus Dur kini telah pergi. Meninggalkan PR bagi bangsa ini untuk diselesaikan ketika kita beranjak dewasa. Kita harus menyelesaikan tugas ini. Mengurai satu per satu permasalahan bangsa yang sangat komplek, bukan meminta orang tua kita yang mengerjakan PR tersebut. Tentunya, kita tidak mau dianggap masih seperti anak TK.

Gus Dur kini telah pergi, tak bisa lagi membuat ‘kekacauan’ di antara kita, di tengah ancaman letusan akumulasi persoalan bangsa yang kian sarat. 2014 ini, menjadi ujian berat bagi kita, ujian kedewasaan bangsa ini.

Wallahua’lambishawwab.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Seorang petani di kaki Gunung Ungaran. Mengikuti kegiatan di Muhammadiyah dan halaqah. Meski minim mendapatkan pendidikan formal, pelajaran hidup banyak didapat dari lorong-lorong rumah sakit.

Lihat Juga

Saat Tampilkan Quick Count, Anadolu Hadapi 90 Juta Serangan Elektronik

Figure
Organization