Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ramadhan Menurut Sayyid Quthb

Ramadhan Menurut Sayyid Quthb

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com 

فَالصَّوْمُ هُوَ مَجَالُ تَقْرِيْرِ اْلإِرَادَةِ الْعَازِمَةِ ؛وَمَجَالُ اِتِّصَالِ اْلإِنْسَانِ بِرَبِّهِ اِتِّصَالَ طَاعَةٍ وَانْقِيَادٍ؛كَمَا أَنَّهُ مَجَالُ اْلاِسْتِعْلاَءِ عَلَى ضَرُوْرَاتِ الْجَسَدِ كُلِّهَا ، إِيْثَاراً لِمَا عِنْدَ اللهِ

Maka puasa adalah momentum memantapkan kemauan dan tekad, momentum memperkuat hubungan dengan Allah dengan hubungan ketaatan dan ketundukan, sebagaimana ia adalah momentum untuk melepaskan diri dari semua kebutuhan-kebutuhan jasmani/fisik, mengutamakan apa yang ada di sisi-Nya. (Sayyid Quthub, Fii Zilalil Qur`an)

Seberapa siap kita menyambut bulan suci Ramadhan? Bahkan para sahabat pun membutuhkan waktu lima belas tahun sejak Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi rasul hingga turunnya kewajiban puasa. Dalam surat al-Hadid, Allah SWT memperingatkan agar kita tidak seperti kaum ahlul kitab yang telah melalui masa-masa yang panjang bersama sekian banyak nabi dan rasul, tetapi tetap saja keras hatinya.

Coba tengok, sudah berapa Ramadhan berlalu dalam hidup kita? Lalu, bandingkan diri kita dengan perangai orang-orang ahlul kitab tadi. Mereka tetap saja keras hati dan tidak ada perbaikan signifikan. Sudah jauh berbeda, atau masih banyak persamaannya? Maka, sebelum berubah menjadi kekecewaan di hari kelak, mari segera menyadari. Bahwa salah satu perangkap yang menghambat perbaikan kualitas diri adalah terjebak pada rutinitas. Karena itu, kita hanya mungkin mengambil manfaat dari bulan suci Ramadhan secara maksimal. Kalau kita memaknainya sebagai bulan tarbiyah, bulan pembinaan diri. Inti dari tarbiyah adalah proses perubahan ke arah yang lebih baik. Harus ada yang berubah dari diri ke arah yang lebih baik, melalui momentum Ramadhan ini, meskipun sedikit.

Ada baiknya kita menyimak paparan Sayyid Quthub tentang Ramadhan di atas. Sebagaimana tercantum dalam tafsirnya yang fenomenal, Fi Zilalil Qur`an.Menurut beliau, Ramadhan ini dipandang sebagai berikut:

1. Momentum untuk memantapkan kemauan dan tekad

Apa rahasia dari disyariatkannya i`tikaf? Itulah saat untuk merenung, mengevaluasi, melakukan SWOT diri. Lalu diikuti planning dan tekad untuk melaksanakannya. Cobalah mengingat-ingat kembali, amal baik apa yang belum terlaksana hingga sekarang. Manfaatkanlah Ramadhan nanti. Saat kita sedang berada pada kedekatan yang maksimal dengan Allah SWT. Untuk mencanangkan tekad yang kuat, melaksanakan amal-amal baik yang tertunda.

2. Momentum untuk menyempurnakan kualitas penghambaan kepada Allah SWT

Mari introspeksi sejenak. Kalau saat Ramadhan saja kita gagal melaksanakan sejumlah kebaikan, jangan harap kita bisa melakukannya di bulan-bulan yang lain. Sebab Ramadhan adalah saat pintu kebaikan dibuka lebar, dan setan-setan dibelenggu. Kita dimudahkan untuk melakukan sejumlah kebaikan. Kita diringankan untuk melakukan sekian banyak prosesi peribadatan. Inilah saat yang tepat untuk berprestasi maksimal dalam tema penghambaan kepada Allah. Ibnul Qoyyim, dalam kitab Madarijus Salikiin menyebutkan, puncak penghambaan kepada Allah adalah gabungan dua unsur: rasa cinta dan ketundukan. Berarti, tidak termasuk menghamba, kalau kita mencintai tapi tidak tunduk, atau tunduk tanpa rasa cinta. Antara kita dengan Allah, seperti apa model hubungan kita?

3. Momentum untuk melepaskan diri dari ikatan-ikatan duniawi

Barangkali kita punya sejumlah harta yang sangat kita sayangi. Keluarga, anak dan istri yang sulit untuk berpisah barang sejenak. Di bulan Ramadhan, mari kita mencoba mengurai ikatan-ikatan duniawi itu, mengutamakan sesuatu yang Allah janjikan di sisi-Nya. Sebab di bulan Ramadhan ini, bahkan makan dan minum saja, yang merupakan kebutuhan paling primitif makhluk hidup, bisa kita tinggalkan. Maka semestinya, kita mampu meninggalkan ketergantungan-ketergantungan duniawi yang lain.

Ikhwati fillah, adalah sunnah nabi untuk menyambut Ramadhan dengan penuh kegembiraan. Kemudian membagi kegembiraan itu kepada orang lain. Inilah yang disebut dengan menghidupkan syiar Ramadhan. Maka, sejumlah spanduk dipasang, berbagai acara dihelat, dan pawai keliling pun dilakukan. Semuanya dalam kerangka menyambut Ramadhan. Nanti, ketika sudah tiba Ramadhan, ada program buka bersama, tarawih keliling dan i`tikaf berbasis geografis dakwah. Tentu, tidak ada yang salah dari semua itu, dan harus terus dihidupkan. Hanya saja, untuk memaknai Ramadhan, kita tidak boleh berhenti pada serangkaian seremoni kolektif itu. Harus ada makna yang kita rasakan dari Ramadhan ini, yang pribadi sifatnya, menembus wilayah batin kita yang paling privat. Sebab, ketika kita berhenti memaknai, jebakan rutinitas kembali akan membelenggu kita. Pada gilirannya, perbaikan kualitas diri menjadi jalan di tempat. Ramadhan datang dan pergi, dan kita tidak beranjak ke mana-mana. Wallahul Musta`aan. 

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir dan tumbuh di lingkungan pesantren, di Tengaran, yang kebetulan diasuh oleh Bapaknya sendiri. Mengenyam pendidikan TK dan SD di Tengaran,sambil nyantri di Pesantren Sabilul Khoirot, Tengaran. Sampai lulus dari Mts Negeri Salatiga tahun 1996. Setelah menyelesaikan studinya di MAPK Solotahun 1999, sempat merasakan bangku kuliah IAIN Sunan Kalijaga. Hanya satu tahun, sebelum kemudian lolos seleksi untuk melanjutkan studi ke Universitas Al Azhar Kairo, di Fakultas Syariah. Kemudian kembali ke Indonesia setelah menyelesaikan S1 pada tahun 2005. Sekarang menjadi pengurus yayasan pendidikan islam sabilul khoirot, Tengaran sekaligus sebagai pengajar di MA NUrul Islam YPI Sabilul khoirot di bidang Fiqih.

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization