Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menyiasati Ujian Hidup

Menyiasati Ujian Hidup

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Warna Kehidupan (ilustrasi) - Foto: formulatv.com
Warna Kehidupan (ilustrasi) – Foto: formulatv.com

dakwatuna.com – Suatu hari terdengar kabar bahwa si A terlibat kasus korupsi. Padahal sebelumnya, dia sangat getol menentang korupsi. Di lain hari terdengar kabar bahwa si B yang tersangkut suatu kasus. Padahal sebelumnya, dia bersuara lantang di mimbar-mimbar mengingatkan orang akan hal itu.

Lalu, yang menjadi pertanyaan kita adalah kenapa hal itu bisa terjadi?

Apa yang diperbuat oleh semua bagian tubuh kita berupa sikap, ucapan, gerakan dan tingkah laku, semuanya punya nilai dan konsekuensi. Bahkan yang masih ada di dalam hati berupa niat atau rencana juga sudah punya nilai dan konsekuensi. Seberapa berat konsekuensinya dapat diketahui tatkala ujian datang menghadang. Dan seberapa besar nilainya akan terlihat setelah usai ujian. Yang sering menjadi bahan ujian hidup kita adalah:

  1. Apa yang diniatkan.
  2. Apa yang diucapkan
  3. Apa yang sangat ditakuti
  4. Apa yang sangat dicintai
  5. Apa yang tidak pernah terpikirkan

1. Apa yang Diniatkan

Sebagai amalan hati, niat punya peran sangat penting. Karena suatu amalan (perbuatan) akan dinilai berdasarkan niatnya.

Dari al-Qamah bin Waqqash al-Laitsi bahwa ia berkata, “Aku mendengar Umar bin Khattab RA berkata di atas mimbar, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Semua amal perbuatan tergantung niatnya dan setiap orang akan mendapatkan sesuai yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah karena dunia yang ia cari atau wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya untuk apa yang ia tuju.” (HR. Bukhari)

Hadist yang lain menyebutkan,

Dari Ibnu Abbâs RA,. Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah menulis kebaikan-kebaikan dan kesalahan-kesalahankemudian menjelaskannya. Barangsiapa berniat melakukan suatu kebaikan namun dia tidak (jadi) melakukannya, Allah tetap menuliskanya sebagai satu kebaikan sempurna di sisi-Nya. Jika ia berniat berbuat kebaikan kemudian mengerjakannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai sepuluh kebaikan hingga tujuh ratus kali lipat sampai kelipatan yang banyak. Barangsiapa berniat berbuat buruk namun dia tidak jadi melakukannya, maka Allah menulisnya di sisi-Nya sebagai satu kebaikan yang sempurna. Dan barangsiapa berniat berbuat kesalahan kemudian mengerjakannya, maka Allah menuliskannya sebagai satu kesalahan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadist tersebut menjelaskan bahwa ketika kita sudah mencanangkan niat untuk melakukan sesuatu, maka Allah SWT hanya mencatat niat yang baik saja dan memberi kebaikan seperti yang diniatkan. Jika niat tersebut dilaksanakan, maka Allah SWT akan melipatgandakan kebaikannya. Namun jika niatnya buruk, maka Allah SWT tidak mencatatnya, kecuali jika niat buruk itu diwujudkan.

Di sisi lain, ketika niat sudah di canangkan, maka musuh abadi manusia (setan) tidak akan tinggal diam. Jika niat yang dicanangkan baik, maka setan akan berusaha keras untuk menghalangi agar niat itu tidak dijalankan. Pertama manusia akan dibuat was-was, bimbang, dan ragu. Setelah itu akan dimasukkan rasa malas, dan akhirnya ditanamkan rasa takut. Semua perasaan tersebut akan membuat seseorang menunda atau bahkan membatalkan niat baiknya.

Jika niat yang dicanangkan buruk, maka setan akan berusaha agar niat tersebut segera dijalankan. Datanglah setan dengan bujuk rayu dan iming-imingnya untuk meyakinkan dan membolak-balikkan hatinya. Agar menilai benar sesuatu yang salah dan memandang baik sesuatu yang buruk.

Dan jika niat yang dicanangkan syubhat (samar-samar belum jelas kebaikan atau keburukannya), maka setan akan membantu mencarikan pembenarannya, agar dapat dilaksanakan ke sisi yang buruk.

Iblis (nenek moyangnya setan) menjawab, “Karena Engkau (Allah SWT) telah menghukum saya sesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka (manusia) dari jalan Engkau yang lurus. Kemudian saya (iblis/setan) akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat). (QS. al-A’raf: 16-17)

Untuk itulah, ketika kita sudah berniat untuk melakukan sesuatu, maka kita berlindung  kepada Allah SWT dari godaan setan dan kemudian bertawakkal. Agar niat baik bisa terlaksana dan niat buruk tidak jadi dijalankan dan yang syubhat (samar-samar) diberi petunjuk ke arah kebenaran.

Dan jika setan mengganggumu dengan suatu gangguan, maka mohonlah perlindungan kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Fushilat: 36)

Sesungguhnya setan itu tidak ada kekuasaannya atas orang-orang yang beriman dan bertawakkal kepada Tuhannya. (QS. an-Nahl: 99)                 

Maka disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka. Mohonkanlah ampun bagi mereka dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali ‘Imran : 159)

2. Apa yang Diucapkan

Sebagai amalan lisan, maka ucapan adalah realisasi dari apa yang diniatkan atau apa yang dipikirkan. Ucapan bisa menjadi awal dari sebuah perbuatan. Karena ada dua malaikat yang selalu menyertai, maka semua ucapan dicatat. Sebagaimana niat, ketika ucapan sudah terlontar, maka akan ada konsekuensinya. Allah SWT juga akan menguji kebenaran dari ucapan tersebut.

Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan, “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya kami telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta. (QS. al-‘Ankabut: 2-3)

Itu artinya, semakin banyak seseorang berkata, membuat pernyataan, mengkritisi orang, atau apapun yang menggunakan lisan, maka semakin banyak pula ujiannya. Pernah mendengar bahwa diam itu emas? Itu hanyalah slogan agar kita tidak asal bicara, atau lebih baik diam jika pembicaraan akan membawa akibat buruk. Sebagaimana niat, ucapan pun akan ada pasukan setan yang tidak akan tinggal diam. Mereka akan berusaha keras untuk membolak balikkan antara yang haq dan bathil.

Lalu, bagaimana dengan orang yang memang pekerjaannya harus banyak bicara?

Ada beberapa hal yang perlu diingat,

  1. Berlindung kepada Allah dari godaan setan sebelum berbicara.
  2. Menyebut Asma Allah.
  3. Berkata jujur dan benar.
  4. Memakai kalimat-kalimat thayyibah. Misalnya, jika yang dikatakan adalah sesuatu yang sudah terjadi dan itu baik ucapkanlah, “Alhamdulillaah”. Jika yang dikatakan adalah sesuatu yang sudah terjadi dan tidak menyenangkan, ucapkanlah, “Alhamdulillaahi ‘alaa kulli haal”. Jika yang dikatakan adalah sesuatu yang belum terjadi, ucapkanlah, “Insya Allah”. Jika melakukan kesalahan segeralah minta maaf dan beristighfar.
  5. Merendahkan diri agar tidak riya’ (melakukan sesuatu dengan tujuan pamer/agar dipuji), sum’ah (mengabarkan tentang amalan-amalannya agar didengar orang lain) dan ‘ujub (membangga-banggakan diri di hadapan orang lain).
  6. Memohon kepada Allah agar mampu melakukan apa yang diucapkannya.

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu sekalian kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Barangsiapa mentaati Allah dan RasulNya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenengan yang besar (Al-Ahzab: 70-71)

3. Apa yang Sangat Ditakuti

Sebagai insan yang dikaruniai perasaan, kadang dalam diri seseorang ada sesuatu yang membuatnya takut. Hal ini biasanya terjadi karena adanya suatu pemahaman, pengalaman pribadi, pengalaman orang-orang di sekitarnya, atau karena pengaruh informasi yang diterima.

Takut memang tidak selalu negatif, ada juga takut yang positif.

Takut terhadap sesuatu yang buruk akan membuatnya menghindari hal tersebut. Misalnya takut akan adzab Allah SWT, maka akan membuat seseorang menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Jika takut sakit, maka akan membuat seseorang berusaha untuk menjaga kesehatan. Jika takut kelaparan, maka akan membuat seseorang giat bekerja, dsb.

Takut terhadap sesuatu yang baik justru akan berakibat buruk. Karena ketakutan yang seperti ini akan membuatnya tidak berani melakukan apapun atau malah melakukan hal yang sebaliknya. Misalnya jika takut berkata jujur, maka bisa membuat seseorang berdusta. Jika takut mengambil risiko, maka akan membuat seseorang tidak berani berupaya, dsb.

Namun, perputaran roda kehidupan kadang menyuguhkan hal yang tadinya sangat ditakuti. Mau menghindar? Tidak akan menyelesaikan masalah. Harus tetap dihadapi. Itulah saatnya seseorang melatih dan mengasah kekuatan dan ketangguhannya. Saatnya seseorang mengukur dan mengetahui kemampuan dirinya, menampilkan potensi dirinya yang tertutup oleh ketakutan. Bukankah besi yang ditempa akan menjadi sebilah senjata yang tajam? Kayu yang diserut akan menjadi perabot yang indah? Jika tetap bersembunyi di balik ketakutan akan mengkerdilkan diri sendiri.

Karena sejatinya yang boleh kita takuti hanyalah Allah SWT.

Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah setan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang), karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepada-Ku, jika kamu benar-benar orang yang beriman. (QS. Ali ‘Imran: 175)

Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka). (QS. an-Nahl: 50)

4. Apa yang Sangat Dicintai

Sudah fitrah manusia untuk mencintai dan dicintai. Karena cinta adalah anugerah terindah dalam hidup manusia. Cinta itu pula yang akan membawa kebahagian dan ketenangan. Seperti apa model dan cara kita mencintai dan dicintai berbeda setiap individu.

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga). (QS. Ali ‘Imran: 14)

Apakah tidak boleh mencintai sesuatu itu? Tentu saja boleh. Karena dunia dan seisinya dengan segala keindahan dan kenikmatannya memang diciptakan oleh Allah sebagai karunia untuk manusia.

Ini juga ditegaskan oleh Allah SWT dalam firman-Nya,

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik  kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. al-Qashash: 77)

Hanya saja, kecintaan itu haruslah karena landasan cinta kepada Allah SWT, haruslah dalam rangka menjalankan perintah Allah SWT dan untuk menunaikan kewajiban kepada Allah SWT. Mengapa terkadang ujian dilewatkan apa-apa yang sangat dicintai oleh seseorang? Tak lain  adalah untuk memurnikan dan mengembalikan kecintaan itu hanya karena Allah SWT dan bukan karena sebab lain. Dan agar menempatkan kecintaan kepada Allah SWT di atas segala-galanya.

Katakanlah, “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan RasulNYA dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan NYA”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. at-Taubah: 24)

5. Apa yang Tidak Pernah Terpikirkan

Sudah menjadi fitrah manusia adalah ketidaksempurnaan. Setiap orang diberi kelebihan di satu sisi dan ada pula kelemahannya di sisi yang lain. Dalam menata hidup, kita sering membuat rencana yang telah dipikirkan dan disusun dengan sangat cermat dan lengkap. Apa yang akan kita lakukan, bagaimana caranya, di mana tempatnya dan sebagainya. Menurut perhitungan kita tidak ada yang kurang. Tapi ternyata tetap ada celah yang terlewatkan. Maka tidak mustahil jika apa yang tidak pernah terpikirkan itu yang malah terjadi. Burukkah itu? Belum tentu. Setiap apapun yang terjadi bisa menjadi ujian sekaligus menjadi anugerah. Semua itu rezeki bagi kita. Jika menghadapi sesuatu yang belum pernah terpikirkan, maka itulah kesempatan bagi kita untuk belajar, menambah ilmu, melatih kecakapan, dan menggali potensi diri yang belum tereksplorasi.

Dan (Allah) memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu. (QS. ath-Thalaq: 3)

Rezeki tidak hanya berupa harta benda, atau sesuatu yang bersifat materi saja. Tetapi rezeki juga bisa berupa non-materi seperti keimanan, kedamaian, kesabaran, keikhlasan, ilmu, hikmah, dll.

Jika ada peribahasa yang mengatakan, sedia payung sebelum hujan. Tapi bagaimana jika ternyata yang datang bukan hujan melainkan angin? Maka payung pun tidak bisa melindungi dari angin. Bisa-bisa malah kita akan terbawa oleh angin. Tapi jika kita punya pijakan yang kuat dan diri yang tangguh, maka hujan, angin atau apapun tidak akan menggoyahkan. Dengan iman, ihsan, dan tawakkal kepada Allah SWT, Insya Allah, Wallaahu A’lam.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Hamba Allah Ta'ala yang selalu berusaha untuk mendapat cinta-Nya. Lahir di Jawa Timur dengan nama Susanti Hari Pratiwi binti Harmoetadji. Pendidikan formal hanya sampai S1 Teknik Kimia ITS

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization