Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Bagaimanapun, Aku Tetaplah Hamba

Bagaimanapun, Aku Tetaplah Hamba

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Apakah cukup jauh kita berjalan? Cukup keraskah usaha kita untuk meraih sesuatu yang kita ingini? Atau, hanya fantasi sesaat saja? Atau, ledakan emosional merasa hebat dan rasa-rasanya bisa menaklukan yang satu itu? Lantas, ketika dihadapkan pada satu gelombang, secuil liku, dan sejumput pilu, lalu langkah ini mundur seribu? Rasanya malu disebut pecundang, getir tiada pantas dijuluki pejuang. Diri lupa siapa sebenarnya kita. Limbung dan hilang pegangan. Akhirnya jatuh menghujam bumi, menyesakkan dada.

Allah sendiri menciptakan kita dari sebuah kata benda yang berarti kekokohan, pengikat, penyubur, menyerap, dan banyak lagi sifat tanah yang bisa digunakan untuk menggambarkan. Inilahkita sebenarnya. Lantas, asal mulanya rasa sombong itu dari mana? Kehendak siapa? Menyambung itu semua, kitalah hamba yang sangat rendah, sangat lemah, tanpa daya, mudah patah, lembek, lentur, kaku, kering, retak, dan masih saja menerka suatu hal dengan pola fikir dan pola duga kita saja. Parah!

Siang ini, hujan kembali turun, mengetuk-ngetuk atap rumahku. Jatuh ke bumi dan masuk ke dalam tanah. Sisanya tamasya sebentar, mengalir di parit-parit menyusuri permukaan untuk mencapai titik yang lebih rendah. Akhirnya, kembali lagi ke dalam tanah. Hujan siang ini mengajarkan sesuatu. Yang sudah di atas sekalipun, siap untuk jatuh, menghujam, dan menyusup ke dalam tanah. Untuk fungsi yang tidak habis, selagi di tanah ia menyuburkan dan menghidupi bersama jutaan kubik teman-temannya di bawah sana. Ia menyejukkan.

“Nan, kamu ini lahir dan besar di tanah Sumatera. Tapi, kok mirip orang Solo?” tegur seorang sahabat yang mencoba memperbaiki keresahanku. Lebih kepada resah yang memuakkan atas proses yang sangat panjang. Ujungnya adalah hikmah, “Tetaplah aku yang lemah. Engkau Mahaperkasa. Tetaplah aku yang fakir, Engkau Mahakaya. Bahwa aku lupa, dan melupakan-Mu dalam denyut langkahku. Kemarin terlalu banyak berkata tanpa menyertakan Engkau. Ampuni aku,” doa dalam hujan, di sudut sore.

Memaknai luas karunia-Nya. Mentadaburi begitu nikmatnya ketika hati lapang atas berserah diri. Sekali lagi, bergumam dalam hati, “Tak ada secuil pun nikmat-Mu yang sanggup untuk kudustai.” Walaupun masalah belum dan tak pernah selesai, masih menggunung. Namun, hikmah dan ibrah mengantarkan kita pada fase tenaga baru untuk bisa menaklukan dengan tetap merasa hamba pada-Nya. Untuk bisa menyelesaikan dengan beriringan rasa berserah diri pada-Nya, tawakal tentang semua yang menjadi keputusan-Nya.

Sekarang, jika melangkah dan berbuat sesuatu sudah faham urutannya. Meskipun tidak mesti berurut, tapi rasa keluh kesah baiknya dieleminasi saja, masukkan ke dalam wadah pembuangan sampah dan buanglah ke tempat yang jauh, agar tak kembali lagi. Karena sesulit apapun, diri ini sudah diajari untuk menyerahkan pada-Nya Yang Mahakuat lagi Mahaperkasa. Dalam doa di ujung senja, aku merasa bangkit dalam cinta. Lewat kuncup-kuncup bunga yang mekar dan semerbak harumnya, menembus dimensi kekalutan dan kegamangan dengan “pelukan-Nya”. Mensyukuri, menyabarkan, mengikhlaskan dengan tetap berserah, bahwa aku tetaplah hamba.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Pendiri #MakingPeopleSmileProject wadah kreatif untuk berekspresi di bidang sosial.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization