Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Aqidah / Al-Madzahib al-Islamiyah (Bagian ke-4): Madzhab Terkait Nama dan Sifat Allah

Al-Madzahib al-Islamiyah (Bagian ke-4): Madzhab Terkait Nama dan Sifat Allah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com 

III.B. 3. Madzhab-madzhab berdasarkan kategori ‘Sikap Mereka Terhadap Ayat atau Hadits tentang  Nama dan Sifat Allah

a. Al-Mu’athilah, mereka melakukan ta’thil (mengingkari, meniadakan) nama dan sifat Allah. Bagi mereka Allah tidak memiliki nama dan sifat, sebab jika memiliki keduanya, maka Allah sama dengan makhluk. Inilah yang dilakukan oleh kelompok Jahmiyah (Jahm bin Shafwan) dan mu’tazilah.

b. Al-Mujassimah wal Musyabbihahmereka menganggap  Allah memiliki jism (wujud) seperti  manusia. Mereka melakukan tasybih (penyerupaan) dan tamtsil (perumpamaan) Allah dengan makhluk. Allah memiliki  wajah seperti wajah makhluk, tangan-Nya seperti makhluk,  betis-Nya seperti makhluk, marah-Nya seperti makhluk, tertawa-Nya seperti makhluk, bersemayam-Nya seperti makhluk, dan lain-lain.

c. Al-Asy’ariyah (al-Asya’irah), kelompok ini disandarkan kepada Imam Abu Hasan al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Salah seorang Imam Ahlus Sunnah. Dahulu, selama tiga puluh tahun ia bermadzhab mu’tazilah (mengingkari asma dan sifat) karena pengaruh ayah tirinya seorang tokoh mu’tazilah  zaman itu, yaitu Ali al-Juba’i. Lalu, ia bertobat menuju Ahlus Sunnah, yaitu ia mengakui asma dan sifat Allah Tabaraka wa Ta’ala, namun ia memberikan ta’wil (arti-tafsir) terhadap asma dan sifat tersebut. Fase selanjutnya, yaitu pada akhir hayatnya, ia meninggalkan ta’wil secara total terhadap asma dan sifat, ia mengikuti manhaj salaf yaitu itsbat (menetapkan dan mengukuhkan) adanya asma dan sifat. Sebagaimana tertera dalam kitabnya yang terakhir yakni al-Ibanah fi Ushulid Diyanah. Jadi, ia melalui tiga fase kehidupan bermadzhab. Pertama, menjadi mu’tazilahKedua,  menjadi Ahlus Sunnah tetapi masih menta’wil. Ketiga,  menjadi Ahlus Sunnah secara sempurna tanpa ta’wil sama sekali. Nah,  Asy’ariyah adalah golongan yang mengikuti Imam al-Asy’ary pada fase hidupnya yang kedua masih melakukan ta’wil. Jadi, tidak selalu sama antara Asy’ariyah dengan Imam al-Asy’ari.

Menurut Syaikh Yusuf al-Qaradhawi hafizhahullah, golongan inilah yang menjadi anutan mayoritas ulama dan umat Islam di dunia, walau belum ada datanya.  Berbagai universitas menjadikannya sebagai teologi resmi, seperti Universitas al-Azhar, Universitas Karachi di Pakistan, Universitas Punjab di India, Universitas Deobond di India, Universitas az-Zaitun di Tunisia,  Universitas Qarwayain di Maroko, pesantren-pesantren di Indonesia, organisasi massa seperti Nahdlatul Ulama, Jamiat Khair, dan lain-lain.

Sebagian manusia, khususnya kaum salafi progresif menganggap mereka ahli bid’ah. Sebagian lagi mengatakan, mereka adalah bagian dari –paling tidak mendekati- Ahlus Sunnah. Inilah pendapat yang lebih baik dan benar.  Sebab,  menuduh mereka sebagai ahli bid’ah (bukan Ahlus Sunnah) sama saja menuduh mayoritas umat ini dan ulamanya dalam kesesatan.

Para Imam besar adalah pengikut Asy’ariyah seperti Imam al-Baqillani, Imam al-Isfirayini, Imam al-Haramain (al-Juwaini), Imam al-Ghazali, Imam Fakhrurazi, Imam al-Baidhawi, Imam al-‘Amidi, Imam asy-Syahrustani, Imam Abul Faraj Ibnu al-Jauzi,  Imam Abdul Qahir al-Baghdadi, Imam Zainuddin al-‘Iraqi, Imam Izzuddin bin Abdussalam, Imam an-Nawawi, Imam ar-Rafi’i, Imam Ibnu Hajar al-Haitamy, Imam Ibnu Hajar al-Asqalani,  Imam as-Suyuthi, Imam an-Nasafi, Imam asy-Syarbini, Imam Zakariya al-Anshari. Dari Barat, Imam at-Tarthusi, Imam al-Maziri, Imam al-Baji, Imam Ibnu Rusyd (al-Jad), Imam Ibnul ‘Arabi, Imam al-Qadhi ‘Iyadh, Imam al-Qurthubi, Imam al-Qarafi, Imam asy-Syathibi. Dari Hanafi, Imam al-Khurki, Imam al-Jashshash, Imam ad-Dabusi, Imam as-Sarkhasi, Imam as-Samarqandi, Imam al-Kisani, Imam Ibnul Hammam, Imam Ibnu Nujaim, Imam al-Taftazani, dan Imam al-Bazdawi. (Yusuf al-Qaradhawi, 70 Tahun al-Ikhwan al-Muslimun, hal. 311-312) Biasanya kepada mereka inilah yang disebut  golongan khalaf.

Maka, wajar jika Imam Ibnu Taimiyah berkata dalam Fatawa-nya tentang para ulama Asy’ariyah, “Ulama pembela ulama-ulama agama. Ulama Asy’ariyah adalah pembela pokok-pokok agama.”   (Muhammad ‘Alwy al-Maliky, Paham-Paham Yang Perlu Diluruskan, hal. 132)

Tentang Asy’ariyah ini,  Syaikh Jasim al-Muhalhil (Syaikhul Ikhwan di Kuwait) mengatakan, “Pertama, para ulama mengakui Asy’ariyah adalah kelompok yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah dalam memahami asma wa shifatKedua, mayoritas ahli fikih setelah zaman imam empat madzhab adalah pengikut Asy’ariyahKetiga, seorang ‘alim yang melakukan kesalahan adalah wajar dan manusiawi. Keempat, sesungguhnya kesalahan yang dilakukan oleh ulama yang aktif dalam dakwah dan jihad tetaplah dianggap kesalahan. Tetapi, kesalahan tersebut tidaklah disebut secara berlebihan dengan menghapus jerih payah mereka dalam mencapai kebenaran, tetapi ia gagal dan  terhenti sampai pada pendapatnya.”  (Syaikh Jasim al-Muhalhil, Ikhwanul Muslimin, Deskripsi, Jawaban Tuduhan, dan Harapan, hal. 47)

d. Ahlus Sunnah wal Jamaah (madzhab salaf),  mereka itsbat (menetapkan dan mengukuhkan) adanya nama dan sifat Allah. Tanpa mengingkarinya (ta’thil), tidak menyerupakan dengan makhluk (tamtsil), tidak melakukan  ta’wil, tidak mengubahnya (tahrif), tidak bertanya bagaimana (takyif), dan mereka membiarkannya sebagaimana datangnya, mengimani makna-maknanya dan apa-apa yang ada padanya.

Ahlus Sunnah (salaf) menetapkan apa-apa yang telah Allah tetapkan untuk diri-Nya secara rinci “Dan Dia Maha Mendengar (As Samii’) dan Maha Melihat (Al Bashir)”, maka apa saja yang Allah dan rasul-Nya tetapkan untuk diri-Nya dari seluruh nama dan sifat, maka kita tetapkan adanya (nama dan sifat tersebut)  untuk Allah dengan cara yang patut bagi-Nya.

Ahlus Sunnah juga mengingkari apa-apa yang Allah dan rasul-Nya ingkari dari diri-Nya secara global dan menyeluruh, sesuai firman-Nya, ”Tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya.” (QS. asy-Syura: 11)

Berkata al-Ustadz Hasan al-Banna rahimahullah, ”Adapun salaf –ridhwanullah ‘alaihim- mereka mengatakan, ‘Kami beriman dengan ayat-ayat dan hadits-hadits sebagaimana datangnya, dan menyerahkan maksudnya kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, mereka itsbat (menetapkan) adanya tangan, mata, bersemayam, tertawa, ta’jub, ….dan lain-lain. semua itu kita tidak mencapai maknanya dan seluruh kandungan ilmunya kita serahkan kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala.(Al-Imam asy-Syahid Hasan al-Banna, Majmu’ah ar-Rasail, bab al-Qaid, hal. 362)

Dia juga berkata, “Kita meyakini bahwa pandangan kaum salaf yakni diam dan menyerahkan kandungan makna-makna tersebut kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala adalah lebih selamat dan utama untuk diikuti. Dengan memotong peluang untuk ta’ wil dan ta’thil. Maka jika Anda adalah orang yang Allah bahagiakan dengan ketenangan iman, dan Allah sejukkan dadanya dengan keyakinan. Maka, peganglah pendapat ini, dan jangan beralih.” (Ibid, hal. 368)

(Insya Allah) Bersambung…

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Bagaimana Menyikapi Perbedaan, Khilafiyah?

Figure
Organization