Topic
Home / Dasar-Dasar Islam / Aqidah / Al-Madzahib al-Islamiyah (Bagian ke-2): Madzhab dalam Aqidah

Al-Madzahib al-Islamiyah (Bagian ke-2): Madzhab dalam Aqidah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com 

III. A. Madzhab dalam Aqidah (Teologi)

Pada mulanya, Islam hanyalah satu, yaitu yang dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam, lalu dilanjutkan oleh orang-orang beriman setelahnya, yakni para sahabat Ridhwanullah ‘Alaihim Ajma’in. Kelak, jalan inilah yang ditempuh oleh Ahlus Sunnah wal Jamaah.  Adapun jalan yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Salam dan para sahabatnya adalah jalan setan yang dilakukan para ahli bid’ah yang sesat, yang akan memecah belah umat Islam. Sebagaimana yang digambarkan oleh al-Quran dan al- Hadits.

Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), yang akan memecahbelahkan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. al-An’am: 153)

Tentang ayat ini, Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, katanya, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam membuat garis lurus dengan tangannya lalu ia membaca, “Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus.” Lalu, ia membuat garis di kanan dan kiri garis lurus tersebut lalu bersabda, “Inilah jalan yang tidak ada darinya kecuali pasti dilalui setan yang selalu menyeru ke jalan itu.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, II/190)

Sementara itu, kita juga diperintah untuk mengikuti jalan para sahabat. Firman Allah Ta’ala,

“Katakanlah, ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata. Mahasuci Allah, dan aku tiada termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108)

Dalam tafsir dikatakan, “Inilah jalanku dalam dakwahku. Di atas keyakinan dan hujjah yang jelas. Kepadanyalah seruan seluruh sahabatku dan orang-orang yang beriman kepadaku.” (Khalid Abdurrahman al-‘Ik, Shafwatul Bayan li Ma’anil Qur’anil Karim, hal. 248)

Namun, dalam perkembangan selanjutnya, pasca perselisihan pengikut Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu dan pengikut Mu’awiyah bin Abi Sufyan Radhiallahu ‘Anhu, umat terpecah menjadi banyak kelompok. Khususnya setelah perundingan antara Abu Musa al-Asy’ary (utusan dari Ali) dengan Amr bin al-Ash (utusan dari Mu’awiyah). Mereka berdua sepakat bahwa kedua-duanya (Ali dan Mu’awiyah) dicopot dari jabatan khalifah. Namun, tiba-tiba Amr bin al-Ash kembali membaiat Mua’wiyah menjadi khalifah.

Akhirnya, pengikut Ali marah. Merekalah  yang selanjutnya disebut Syi’atu ‘Ali (pengikut Ali, Syi’ah). Adapun kelompok manusia yang keluar dari mereka semua adalah Khawarij (dari kata kharaja, keluar), tidak mendukung Ali dan Muawiyah. Bahkan mengkafirkan mereka berdua. Karena –menurut mereka- Ali dan Mu’awiyah tidak menggunakan hukum Allah dalam memutuskan perdamaian. Melainkan menggunakan hukum manusia (Abu Musa dan Amr bin al-Ash). Sebenarnya, cikal bakal Khawarij sudah ada pada masa Rasulullah hidup. Namun, kisah ‘pengkhianatan’ Amr bin al-Ash ini diragukan validitas sanadnya (dhaif).

Sedangkan, kelompok mayoritas tetap memuliakan Ali dan Muawiyah, dan orang-orang yang terlibat dalam perundingan. Karena semuanya adalah sahabat nabi yang mulia, dan masing-masing mempunyai keistimewaan. Para  ulama mengatakan, keduanya berijtihad. Hanya saja, pihak yang benar adalah Ali. Sedangkan Mu’awiyah keliru. Namun, kesalahan dalam ijtihad mendapatkan pahala satu. Sesungguhnya, kesalahan para sahabat tidaklah menutupi setinggi gunung dan seluas samudera kebaikan yang telah mereka persembahkan untuk Islam. Itulah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Mereka pertengahan dalam menilai masalah ini, dan masalah-masalah lainnya.

Syaikh Said bin Ali Wahf al-Qahthany berkata“Umat Islam adalah umat pertengahan (wasath) di antara milah-milah yang ada. Sebagaimana firman-Nya, ‘Dan demikianlah kami jadikan kalian umatan wasathan’. Dan, Ahlus Sunnah merupakan umat pertengahan di antara firaq (kelompok-kelompok) yang disandarkan kepada Islam.” (Said bin Ali Wahf al Qahthany, Syarh al Aqidah al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah, hal. 48)

Jadi, perbedaan teologi dalam Islam, ternyata diawali polemik politik di antara sahabat yang sebenarnya tidak seberapa. Lalu dibesarkan oleh golongan munafik dan yahudi (Abdullah bin Saba’).

(Insya Allah) Bersambung.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Anggota DPR AS: Trump Picu Kebencian pada Islam di Amerika

Figure
Organization