Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / Segenggam Iman Anak Kita

Segenggam Iman Anak Kita

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Cover buku "Segenggam Iman Anak Kita".
Cover buku “Segenggam Iman Anak Kita”.

Judul Buku: Segenggam Iman Anak Kita

Penulis: Mohammad Fauzil Adhim

Penerbit: Pro-U Media

Terbit: Tahun 2013

Tebal: 288 halaman

ISBN: 978-602-7820-07-4

 

Memahami Kebutuhan Anak

dakwatuna.com – Anak merupakan titipan Allah swt untuk para orang tua. Dengan begitu, orang tua memiliki tanggungjawab untuk melindungi, memelihara, dan memberikan pendidikan yang layak untuk anak. Telah diketahui bersama bahwa pola asuh orang tua pada anak sangat berpengaruh terhadap pembentukan kepribadian anak.

Jika anak dibesarkan dengan penuh kelembutan dan kasih sayang, maka dipastikan akan menjadi manusia yang pandai bersyukur dan memiliki jiwa sosial tinggi. Sebaliknya, jika anak dibesarkan di bawah tekanan dari orang tua, maka tak lain akan menjadi seorang yang memiliki jiwa kerdil (pesimistis) dan suka melanggar aturan.

Maka dari itu, sebagai orang tua harus bisa menerapkan pola asuh yang tepat bagi anaknya. Tidak serampangan dalam mendidik anak. Memang, tidak salah orang tua mendambakan anaknya menjadi orang yang cerdas. Tapi ingat, cerdas saja tak cukup untuk menghadapi ujian dan cobaan hidup. Perlu adanya bekal spiritual dan moral. Dengan kedua bekal ini, Insya Allah anak akan tumbuh dalam koridor ketaatan. Dengan ketaatan ini, anak akan memiliki semangat tinggi dalam meraih cita-citanya.

Untuk itu, perlu adanya sebuah panduan yang bisa digunakan sebagai ‘jalan’ untuk mengasuh dan mendidik anak. Kabar baiknya, semua itu terangkum apik dalam buku ini. Buku berjudul “Segenggam Iman Anak Kita” ini memaparkan beberapa panduan mengasuh anak agar menjadi pribadi mulia dan tidak mudah terseret arus globalisasi.

Pada bab pertama dipaparkan tiga bekal yang perlu dimiliki orang tua untuk mengasuh anak-anaknya. Pertama, rasa takut terhadap masa depan anak. Berbekal rasa takut, kita siapkan mereka agar tidak menjadi generasi yang lemah. Kedua, takwa kepada Allah swt. Berbekal takwa, ucapan kita akan terkendali dan tindakan kita tak akan melampaui batas. Ketiga, berbicara dengan perkataan yang benar (qaulan sadidan). Berbicara dengan perkataan benar akan mendorong kita untuk selalu berbenah.(hal. 50-52)

Setelah ketiga bekal tersebut tertanam dalam diri orang tua, tugas selanjutnya adalah menanamkan keberanian pada anak. Seorang anak haruslah memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Seorang anak yang percaya terhadap kemampuannya, meski prestasinya lebih rendah dibanding temannya, bisa jauh lebih berprestasi.

Keyakinan tinggi memacu anak untuk berusaha lebih gigih sehingga ia mampu menguasai apa yang sebelumnya terasa sulit. Sebaliknya, anak yang tidak memiliki perasaan mampu, akan mudah jatuh mentalnya dan kendor semangatnya, meski ia memiliki prestasi tinggi. Hilangnya perasaan mampu menjadikan anak takut menghadapi tantangan. (hal. 58-59)

Ironisnya, justru orang tualah penyebab hilangnya rasa percaya diri pada anak. Pasalnya, banyak orang tua yang membanding-bandingkan kemampuan anak dengan orang lain yang dianggap lebih cerdas darinya. Tidak hanya itu, disadari atau tidak, orang tua terkadang juga meremehkan kemampuan dan prestasi anak. Orang tua hanya melihat hasil dan menafikan proses. Padahal, yang terpenting adalah prosesnya. Seorang anak yang mendapat nilai 6 dalam ujiannya dengan belajar yang gigih, jauh lebih layak mendapat penghargaan daripada mendapat nilai 8 tapi hasil dari mencontek.

Kehidupan anak tak selamanya mulus. Anak, sebagai manusia kecil, juga memiliki permasalahan yang sulit dipecahkan. Anak membutuhkan seseorang yang bisa memahami permasalahan yang tengah ia alami. Dalam hal ini, orang tua memiliki peranan penting untuk menjadi ‘teman curhat’ sang anak. Orang tua harus mau mendengarkan cerita sang anak dan menerima perasaannya.

Jika anak menampakkan rasa takut terhadap sesuatu yang telah menimpanya, terimalah perasaan itu dengan penuh perhatian. Jangan sampai orang tua mengabaikan, apalagi menolaknya dengan perkataan, “Gitu aja kok takut, kamu gimana sih?” atau semacamnya. Semakin orang tua menolak perasaan anak, semakin sulit juga menetralkan trauma anak terhadap peristiwa yang terjadi. Bahkan bisa jadi, penolakan orang tua terhadap perasaan anak membuatnya merasa tidak diterima atau diabaikan. Pada akhirnya, anak akan tumbuh menjadi manusia berjiwa kerdil yang tidak memiliki semangat hidup.

Menginjak remaja, anak akan menemukan hal-hal yang baru. Mulai dari perubahan bentuk tubuh, sampai dengan ketertarikan kepada lawan jenis. Hal ini, jika tidak dipantau oleh orang tua, akan berbahaya. Untuk itu, orang tua harus mampu memahami kebutuhan anak remajanya. Merebaknya alat elektronik seperti Hp, laptop, dll, yang memiliki akses ke internet menjadi tantangan tersendiri bagi orang tua dalam memantau perkembangan anak di dunia maya.

Mau tidak mau, orang tua harus bisa mengoperasikan aplikasi-aplikasi yang ditawarkan internet (khususnya media sosial). Orang tua bisa sesekali mengecek facebook ataupun media sosial lainnya yang digunakan oleh anak remajanya. Dengan begitu, orang tua akan tahu apa saja yang dilakukan anak remajanya di dunia maya. Tentu saja, hal ini akan memudahkan orang tua dalam membimbing anak.

Akhirnya, dengan membaca buku setebal 228 halaman ini, pembaca akan menemukan berbagai informasi terkait parenting dan pendidikan berbasis tauhid. Bahasanya yang mengalir dan sederhana memudahkan para pembaca untuk memahami isinya. Sangat cocok bagi para orang tua dan calon orang tua sebagai bekal mengasuh dan mendidik anak agar menjadi generasi cerdas yang Islami. Selamat membaca!

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lahir di daerah pesisir selatan kota Kebumen. Tercatat sebagai Mahasiswa Jurusan PGMI UIN Sunan Kalijaga, Aktif di LPM Paradigma.

Lihat Juga

Keimanan Adalah Keberpihakan

Figure
Organization