Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Debu-Debu Penghias Bingkai Pertunangan

Debu-Debu Penghias Bingkai Pertunangan

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (sebeningembun-azzahra.blogspot.com)
Ilustrasi. (sebeningembun-azzahra.blogspot.com)

dakwatuna.com – Sebulan sudah umur ta’arufnya dengan seorang akhwat nun jauh di sana. Ta’aruf yang begitu singkat bagai kilat itu masih sangat kuat melekat dalam pikiran dan seluruh jasad. Terngiang-ngiang di telinganya kata-kata lembut bagai aliran susu menyirami kerongkongan yang tercekik dahaga cinta. Indah suaranya belum pernah ia dengar sebelumnya. Ini adalah suara terindah yang pernah menyapa lembut gendang telinganya. Suara yang nantinya ia harapkan selalu menyapa menghiasi canda hari-harinya, di rumahnya, dalam kehidupannya.

Suaranya terdengar, tapi tak terlihat wajah cantik empunya. Terpaut jarak ribuan mil nun jauh tak terjangkau dan terlihat mata. Dia ada di ruangan kamarnya yang hanya berukuran dua kali tiga meter. Sedangkan akhwat yang bersuara indah itu berada di Negeri Tirai Bambu. Mereka berbincang ala ta’aruf hanya bermediakan telepon genggam. Didampingi murabbi masing-masing mereka saling berbincang, bertanya dan memberi jawaban. Berusaha mencari kesamaan visi dan misi dalam kehidupan. Merajut bersama dan melukis indah dalam bingkai pernikahan.

Dia sudah yakin bahwa inilah jodohnya. Ia tak sedikit pun ragu. Cinta dan rindunya membuncah menggebu. Seolah jiwanya kini saling bersatu. Keyakinannya tumbuh sedari awal wanita itu memberi salam. Suara lembutnya memberi sejuk kedamaian. Terasa perjalanan jiwa cinta sejatinya menemukan peraduan. Bak musafir menemukan oase dalam terik panasnya panggang matahari membakar kerongkongan. Inilah wanita yang menjadi bukti bahwa Allah menciptakan makhluk-Nya berpasang-pasangan. Inilah tulang rusuk yang telah dua puluh delapan tahun menghilang. Kini dia sudah semakin dekat masanya, walau masih begitu jauh jarak lintasnya. Tapi, dia punya keyakinan. Suatu saat, mereka pasti bisa bersatu. Dia akan mampu menyeberangi lautan. Menaklukkan gagahnya pegunungan.

“Gunung kan kudaki lautan kusebrangi,” ucap batinnya dalam sunyi. Jangankan negeri China, ujung dunia pun akan dia jemput bidadarinya.

Ini lukisan sanubarinya. Ini rajut-rajut kain dalam renda cintanya. Namun, dalam batinnya masih menyisakan sebuah tanda tanya yang menjadi beban menggelayuti pikiran di setiap hela nafasnya.

“Adakah kesamaan rasa dalam jiwa yang ia rindukan?” Pikirannya melayang menjelajah setiap ruang langit-langit angan kosong. Menembus sekat-sekat ruang tak terpikirkan. Inilah sumber bayang-bayang keraguan itu berakar. Di sesi akhir ta’aruf, terucap kata bernada kecewa dari balik tabir handphonenya bersuara.

“Sebenarnya tidak apalah, tapi yang namanya ta’aruf itu kan biar kenal. Dan bagian dari perkenalan itu bisa melihat satu dengan yang lain. Karena skypenya tak berfungsi, kalau memungkinkan lain hari kita ulang lagi.” Suara akhwat yang tegas dan lugas itu terus menghantuinya.

Dia mampu membaca bahwa jiwa yang ia rindu tak menyatu. Cintanya mungkin tak bersambut.

“Tapi, aku laki-laki. Tak masalah bila memang ta’aruf ini harus kandas di kemudian hari.” Hibur hatinya.

Namun, ada secercah cahaya harapan di sini. Saat sang murabbiyah memecah ketegangan.

“Oke.. Semua kan sudah saling kenal. Kalau ikhwannya menghendaki berlanjut, nanti proses selanjutnya bisa diusahakan secepatnya.”

Kata ini memberi harapan. Tapi, juga mempunyai banyak tafsir-tafsir kemungkinan. Terlalu umum, masih jauh dari devinitif. Yang ia harapkan adalah satu kata saja dari dua pilihan, “Iya atau tidak,” yang tak mengandung banyak tafsir dan persepsi.

Kini, jiwanya tidak kosong. Ada jiwa yang ia ingat dalam senyumnya. Ada wajah yang selalu terlihat dalam pejamnya. Harinya penuh canda ria, bahagia, bertabur bunga. Tapi, tetap ada benih cemas tersisa dalam lubuk hatinya. Dalam jiwa yang penuh harap dan doa. Kini, ia beranikan diri melangkah pasti. Ia tidak ingin berlama-lama berjalan dalam proses ta’arufnya. Ia utarakan niat suci untuk segera mengkhitbah harapan jiwanya.

“Assalamu ‘alaikum, Mas..” Ia mengirim sms ke kakak laki-laki Zahra. Kakak yang memang mewakili pihak keluarga Zahra sekaligus sebagai walinya.

“Untuk kelanjutan proses ta’aruf yang sudah berjalan, ana berniat untuk mengkhitbah secara resmi adik Zahra ke orang tua di Jakarta. Bagaimana dengan adik Zahra apakah memang sudah yakin dan tidak ada kebimbangan? Atau, ada hal-hal yang mau disampaikan lagi? Kalau memang bersedia, mungkin nanti perlu dicari waktu yang pas untuk itu. Bagaimana dengan pendapat dik Zahra dan keluarga semua?”

Lama smsnya tak berbalas. Ia nantikan dengan penuh cemas. Setiap detik ia buka telepon gengam bututnya. Teriring doa membasahi mulut dan iba kepada Rabbnya. Keningya ia dekatkan dengan tempat sujud. Ia berlama-lama i’tikaf tak beranjak dari masjid.

Jantungnya berdegub kencang. Pikirannya kosong. Jiwanya guncang. Emosinya menegang. Ia bak si buta kehilangan tongkat pegangan. Saat sms yang ia kirim tak segera berbalas jawaban. Seharian, ia menantikan sms itu datang, apapun jawabnya. Tak henti ia tengadahkan wajah hinanya ke langit. Tinggi-tinggi kedua tangannya ia angkat. Ia terus menanti sejak Subuh hingga menjelang Maghrib.

Kini, sms pertanyaannya terjawab. Kalaupun itu adalah suatu jawaban, tapi itu bukanlah jawaban yang ia harapkan:

“Wa’alaikum salam ya akhi,” sms balasan dari kakak laki-laki Zahra mewakili keluarga. “’Afwan baru dibalas. Jadi, kondisinya saat ini keluarga ana masih sedikit agak berat akh. Terutama mengenai kehidupan nanti setelah di China. Kalau mulai dari nol agak berat memang. Jadi sekarang ana mewakili keluarga dan dik Zahra meminta waktu untuk kami bicarakan pelan-pelan di internal keluarga. Mungkin sekitar dua minggu. Nanti ana kabari lagi. Wassalamu alaikum.”

Ia tersenyum. Senyum hibur ia persembahkan untuk hatinya yang sedang hancur. Kristal kebahagiannya melebur. Warna indah lukisan cinta pada dambaan hatinya luntur. Bunga-bunga rindu yang telah tumbuh subur dalam lubuk hatinya layu, kering-kerontang. Tapi jiwanya dekat dengan yang menciptakan cinta. Yang membagi dan menyirami bunga-bunga bahagia. Yang membolak-balikkan hati manusia. Sekali lagi, ia mengiba, mendekat sedekat-dekatnya dengan pemilik jiwa. Ia tersungkur di gelap malam yang mulai buta. Saat mata terlelap lalai dari yang Mahakuasa. Saat makhluk tak lagi bernyawa. Doanya masih saja sama:

“Ya Rabb..” Dia menyeru Tuhannya.

“Ya.. Rabb.. Jika memang dia jodohku, dekatkan. Dan jika bukan, jauhkan.”

Dua pekan adalah penantian sangat panjang. Menanti yang tak pasti. Seolah ini adalah penyiksaan terhadap jiwa perindu cinta. Ia segera mencari tempat mencurahkan hati. Ia tuju sang murabbi, berbincang untuk mencari solusi. Perasaan halusnya ia kedepankan. Ia mulai meraba mentafsirkan yang bukan-bukan. Prasangkanya mulai menguasai dirinya:

“Ini adalah alasan. Ini sekedar alasan seorang yang tidak menemukan kecocokan, tidak lagi menemukan kesamaan. Ini adalah penolakan.”

Murabbinya kembali menenangkan. Ia begitu paham tentang perasaan murid tersayangnya. Kebimbangannya lenyap seketika. Terhapus oleh nasihat yang begitu lembut menyentuh jiwa, membelai hatinya.

“Akhi…” seru murabbinya lembut.

“Jangan terburu-buru,” murabbinya melanjutkan.

“Menikah itu tidak untuk sehari dua hari. Ia akan sampai ke akhirat nanti. Saya tidak melihat sedikit pun Zahra ingin mengulur waktu, akhi. Dia sudah terima antum Lillahi Ta’ala, dengan segala kelebihan yang Antum miliki.”

Dan ingat, menikah hakikatnya bukan hanya menyatukan dua manusia. Tapi menyatukan dua keluarga. Kita tunggu Zahra meyakinkan keluarganya, bahwa antumlah jodohnya.

Hatinya berbunga kembali tersiram air sejuk nasihat sang murabbi.

“Lama atau sebentar itu relatif. Dan dua pekan itu waktu yang singkat. Proses ta’aruf saya dulu malah enam bulan.” Murabbinya membandingkan.

****

Ia menanti. Berharap semoga jawaban yang nanti datang adalah kebahagiaan. Doa, tasbih dan istighfar tak henti dilantunkan dalam sunyi. Setiap pagi menjelang, matanya sembab oleh air mata berlinangan semalaman. Saat azan Subuh menggaung, suaranya parau tak seindah biasanya ia kumandangkan. Dua pekan menanti adalah penantian panjang.

***

Hari pertama telah hengkang. Tiba-tiba hpnya berdering. Ada sms dari teman sekelasnya saat sama-sama duduk di bangku S2. “Akhi, ada hafidzah.” Ia membaca sms itu, sedang dadanya kempis kembang. “Siap antum menikah?” Ia melanjutkan. Tak disebutkan usia dan kecantikannya. Atau dia lulusan universitas mana. Tapi baginya seorang hafidzah melebihi segala-galanya. Cukup menutupi seluruh isi dunia yang ada. “Ini adalah ujian keteguhan,” batinnya meronta. Ia lebih mempertahankan kesetiaannya untuk menunggu keputusan pihak keluarga Zahra. Apapun keputusannya!

***

Hari-harinya kini penuh doa. Akun facebooknya kini selalu ia buka saat usai shalat atau saat-saat istirahat. Berharap mendapat pesan dari kakak laki-laki Zahra atau pihak keluarganya. Yang ia tunggu kini benar-benar datang. Inbox Facebooknya ada pesan. Pesan cinta dari seorang wanita yang tidak asing baginya. Pesan yang ia telah faham isi kontennya. Pesan bergambar foto sepiring kue berbentuk hati.

Ia segera konfirmasi, “Gambar ini untuk siapa?” tanyanya, lalu ia kirim ke pesan lewat facebook miliknya.

“Untuk kakak,” jawab wanita itu.

Hatinya berbunga tapi lagi-lagi ini ujian. Ujian penantian. Wanita itu bukan Zahra.

Ya Allah jangan beri aku beban melebihi kemampuan punggungku.” Pintanya.

***

Dengan kepenatan penantian yang ada. Sejenak ia mencoba bernostalgia. Berbincang dan bertukar pikiran dengan kawan-kawan ketika ia menempuh S1-nya dulu. Mereka berkelakar, tertawa lepas tanpa beban. WhatsApp miliknya kini tak pernah sepi dari pesan-pesan nasehat, hikmah dan berbagai informasi. Ia dikejutkan dengan pesan WhatsApp dari nomor yang tak bertuan. Nomor aneh yang belum pernah ia lihat. Kodenya +966! Pikirannya beputar melayang-layang mencoba menemukan kode nomor  ini. Tak lama, ia segera menemukan ini nomor telepon Madinah, Saudi Arabia.

“Ini siapa? Ammar?” Ia menebak-nebak.

“Iya.. Muammar Madinah.” WhatsAppnya berbalas.

Akhi..” pesan dari Muammar.

“Antum belum daftar wisuda? Uangnya masih kurang berapa?” Inilah seorang sahabat sejatinya. Dia selalu tau apa yang sedang terjadi dan dialami saudara seperjuangannya. Walaupun ia nun jauh di kota Madinah. Tapi pesan-pesan dan ungkapan hati persaudaraannya selalu ia sampaikan.

He..he.. Insya Allah nunggu rezeki kiriman Allah bulan depan akh..” balasnya sambil mengiba pada yang Maha Memberi rezeki pada makhluk alam raya.

“Ada hafidzah, mau?” Dia mirip seperti antum. Akhwat militan tak pernah mundur dari perjuangan. Keinginan belajarnya keras seperti antum. Dia sedang S2 juga.” Pesan Muammar yang menginginkan sahabat sejatinya segera mempunyai pendamping diri.

Ia bimbang kembali. Inilah ujian kesetiaannya kepada Zahra. “Ya Allah berilah aku yang terbaik dari hamba-hambamu yang kelak menjadi pendamping perjuanganku.” Rintihnya.

***

Bebarapa hari kemarin dia sedang tugas menjadi imam Ramadhan di salah satu masjid Jami’ di Bandung. Telepon genggamnya berdering. Telepon dari seorang Ustadz Pimpinan Pondok Pesantren di salah satu ujung kota Sumatra. Lama mereka berbincang. Sampai ustadznya menanyakan dan meminta agar dia segera pulang kampung.

Kapan kuliah S2 mu selesai? Segeralah pulang.” Tanya sekaligus permintaan ustdaznya.

“Insya Allah secepatnya, Ustadz. Mohon doa antum.” Jawabnya minta doa.

“Siap menikah?” Sang Ustadz bertanya lagi.

Ia jawab dengan senyuman, “Hemm.. Nanti setelah wisuda, Ustadz..”.

“Kalau siap, ada akhwat luar biasa. Dulu, dia murid pesantren lulusan terbaik. Baik secara akademik maupun akhlaknya. Hafalan Qur’annya tak usah ditanya. Dia sedang kuliah di Jakarta. Dia sedang duduk di semester dua. Antum orang yang cocok untuknya.” Ustadznya mengenalkan.

Ya Allah ujian apalagi ini?” Dalam hatinya.

***

Ujian kesetiaan yang bertubi seolah memintanya berteguh hati. Sejauh mana komitmennya mempertahankan janji. Janji untuk menanti sampai kapan pun jawaban itu diberikan. Seperti apapun; baik menyenangkan maupun menyakitkan. Janji yang nanti akan menghantarkan dia pada bingkai sebuah pertunangan.

Dan kini, seorang muridnya yang dulu ia kenalkan dengan dakwah menyapanya lewat dunia maya. Murid yang luar biasa dalam seluruh aktifitas dakwah di kampusnya. Murid militan yang pernah ia didik saat dulu merintis dakwah di kampung halaman. Inbox facebooknya berisi pesan dari seorang akhwat didikannya saat dia mengajar di pesantren. Kini, dia datang dengan membawa dan mengenalkan teman sekampusnya yang lebih militan dari dirinya.

Afwan ustadz, boleh nanya? Tapi afwan, mungkin kurang ahsan.” Tanyanya sopan.

Tafadhol, gak papa.” Dia coba menjawab dengan berhati-hati.

“Afwan, ustadz udah mau walimah belum?”

Belum.. Masih menyelesaikan tesis dulu. Kenapa?” Jawabnya ringan.

Owh ana ada teman di Pesantren al-Qur’an yang siap menikah. Insya Allah shalihah dan juga luar biasa. Ana pengenya dan kalau Allah mengizinkan, beliau menikah dengan antum.” Pujinya.

“Afwan kalau bahasanya kurang ahsan. Ana bingung bagaimana menyampaikannya. Ana ingin sekali beliau dibimbing oleh orang luar biasa yg qowwam.” Harapan pada gurunya.

“Ya, semoga Allah berikan yg terbaik. Beliau penyayang, lembut dan cerdas. Akhwat mandiri dan shalihah banget, tidak seperti akhwat pada umumnya.” Inbox di facebooknya datang dengan derasnya.

***

Doanya tak henti. Memohon petunjuk Ilahi. Diberikan yang terbaik untuk menjadi pendamping diri. Hari-harinya penuh haru. Memuji kuasa Yang Maha Pencipta. Yang menciptakan jodohnya. Yang menumbuhkan cinta dan rindunya. Dia yakin, bila dia tak bergeming dari janji awal masa ta’arufnya. Debu-debu itu akan terbang mengangkasa. Pada akhirnya, akan terlihat indah lukisan cinta dalam bingkai pertunangan pada nantinya.

Dia lebih memilih setia pada janji menanti Zahra. Apa pun keputusan Zahra dan keluarga. Hingga Allah yang memberi keputusan bahwa Zahra adalah tulang rusuknya.

Dia hanya berbekal yakin kepada janji Rabbnya. Dia tadabburi janji Yang Mahakuasa. “Wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik.” (Qs. An-Nur: 26) Ia mendekat dengan Tuhan, sedekat-dekatnya. Segala yang haram dijauhinya. Membina diri memperindah hiasan akhlak dan kepribadiannya.

Rasul panutannya telah memerintahkan para wali wanita untuk menikahkan anak perempauan mereka pada laki-laki shalih dan yang baik akhlaknya, yang lahir dari rahim ummatnya, “Jika datang kepada kalian lelaki yang baik agamanya (untuk melamar), maka nikahkanlah ia. Jika kalian tidak melakukannya, niscaya akan terjadi fitnah dan kerusakan besar di muka bumi” (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah)

Ia segera sadar, masih jauh dia dari keshalihan. Doanya kini tertuju pada pribadinya. “Ya Rabb.. Kuatkan pijakan kakiku untuk berdiri di barisan hamba-hamba-Mu yang shalih. Kuatkan hatiku untuk tetap dalam ketaatan dan agamamu.”

Ya Allah, berikan yang terbaik untuk mereka yang tak pernah durhaka. Tak pernah mencari cinta kecuali pada makhluk-Mu demi cinta-Mu yang satu

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, aktif di beberapa kajian keislaman, pembinaan remaja dan kepemudaan di kota Solo.

Lihat Juga

Kiat Bertahan Hidup

Figure
Organization