Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Menanti yang (tak) Pasti: Jodoh, Rezeki, dan Mati

Menanti yang (tak) Pasti: Jodoh, Rezeki, dan Mati

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (arinarizkia.wordpress.com)
Ilustrasi. (arinarizkia.wordpress.com)

dakwatuna.com – Usianya hampir genap dua puluh delapan tahun. Rasanya sudah terlambat bila dibandingkan dengan teman-teman di kampungnya untuk menikah. Banyak sudah teman-teman seusianya yang hampir punya dua bahkan tiga momongan. Tapi, dia punya alasan kenapa sampai saat ini belum juga meminang seorang akhwat dambaan hatinya. Dia pergi dari kampung halamannya untuk menimba ilmu, membekali diri sejak empat belas tahun yang lalu. Sejak lulus sekolah dasar dia belajar di salah satu pesantren besar di kampung tetangga. Dan kini, dia sudah lulus sarjana. Saat ini pun, dia sedang menunggu jadwal untuk wisuda jenjang pasca sarjananya dalam bidang syari’ah di salah satu kota terkenal dan terbesar di Jawa Tengah.

Rindu begitu menggebu untuk segera mengajukan niatnya menikah kepada seorang guru. Namun, dia masih saja terbebani dengan bayang-bayang keraguan. Ia ragu dengan segala ketidakpastian. Dia hanya bisa berdoa mendekatkan jiwa kepada Rabbnya. Menjaga diri dari segala maksiat guna meninggalkan durhaka. Ia jaga pandangan dari yang haram dan belum halal baginya. Ia pertahankan izzah demi kehormatannya untuk dipersembahkan nanti pada sang pujaan yang Allah kirimkan sebagai teman perjuangan hidupnya. Dia yakin ketika cinta ilahi direngkuhnya, Rabbnya akan menjadikan semua makhluk mencintainya.

Keyakinannya semakin menghujam kuat. Jiwanya kokoh menjulang ke langit. Ibadahnya kini menumbuhsuburkan keyakinan dalam sanubari. Bahwa jodoh, rezeki dan mati telah ditulis dalam titah ilahi. Titah yang tertuang jauh sebelum ia terlahir ke alam kehidupan. Tak mungkin berubah, tak mungkin tersalah. Kini, jiwanya sejuk. Tumbuh keberanian dalam jiwa seorang yang berkeyakinan membaja dengan bekal izzah seorang yang terjaga dari segala durhaka.

Benar saja. Kini, di hadapannya tergeletak amplop berisi biodata. Di sampingnya duduk seorang berwajah kharismatik sedang memberikan wejangan dan memberi pemahaman tentang kemuliaan pernikahan. Gurunya terus memberi motivasi, dorongan dan sugesti, “Ini tawaran yang tidak ada duanya lho. Ambil kesempatan baik ini, akhi. Mau sampai kapan terus sendirian.” Begitu deras motivasi dari seorang ustadz, lalu diberikanlah amplop itu kepadanya, “Waktunya hanya tiga hari, akhi. Segera tentukan pilihanmu.” Tutup gurunya.

Hatinya semakin berdegub kencang. Memuji asma yang Maha Rahman. Tak henti batinnya berzikir memanggil dalam diam. Shalat dua rakaat pun ia dirikan. Sebelum ia memberanikan diri membuka isi amplop dari gurunya yang menjadi panutan. “Masya Allah, ia wanita yang luar biasa”. Pujinya dalam sunyi. “Seorang wanita cerdas dan trengginas. Wanita yang sedang menempuh pendidikan di manca negara. Jenjangnya pun pasca sarjana. Bahasa Inggris dan Mandarinnya juga luar biasa. Ia seorang peneliti profesional. Secara finansial jelas jauh di atas awang-awang. Belum lagi orang tuanya, pasti mereka orang yang berpunya dari keluarga yang kaya raya. Dari lingkungan yang berpendidikan tinggi selangit.”  

Ia mulai membanding-bandingkan dengan dirinya sendiri, ”Sedang aku petani kampung yang makan saja harus bekerja sangat keras dan apa adanya. Sehari puasa sehari baru bisa berbuka. Aku bisa kuliah saja karena prihatin dengan banyak puasa Senin-Kamis bahkan puasa Daud karena harus menabung untuk biaya kuliah dan ujian setiap semesternya. Tinggalku pun di masjid. Selain ingin lebih dekat dengan Rabbku, yang lebih mendasar adalah demi alasan ekonomi”.

Kebimbangannya mulai tumbuh kembali, membuncah memenuhi relung sanubari. Memaksa mengundurkan langkah dan niatnya demi menjaga harga diri saat nanti tidak diterima pinangan terhadap pujaan hati. Ini bak langit dan bumi, tak mungkin bisa bersatu.

Sekali lagi, ia mengadu pada Ilahi, shalat istikhoroh pun ia jalani kembali. Meminta petunjuk dan memohon pertolongan Ilahi Rabbi, “Ya Allah… jodoh, rezeki dan matiku telah pasti. Jika memang dia jodohku, dekatkan. Dan jika bukan, jauhkan ya Allah.” Ia mengiba. Cucur air matanya meleleh tak tertahankan. Menetes membasahi sajadah yang kelak akan menjadi saksi di hadapan Tuhan.

Hari ta’aruf pun tiba. Jarak yang membentang antara negrinya dan negri tetangga tak menjadi penghalang niat suci melaksanakan ibadah sunnah nabi. Mereka sepakat akan berkenalan lewat dunia maya. Skype yang sudah terpasang segera diaktifkan. Didampingi sang murobbi masing-masing mereka saling berbincang. Dan memang kebaikan tidak mungkin tanpa ujian. Kemuliaan pasti melewati sebuah hambatan. Skype yang diharapkan bisa terlihat wajah lawan bicara pun tak sesuai harapan.

Kini, ia bak telpon biasa yang hanya terdengar suara lawan bicara dari kejauhan. Gambarnya tak tampak sehingga tak bisa melihat siapa dan seperti apa orang yang bicara di seberang sana? Sempat ada kekecewaan di sini. Apakah ta’aruf ini harus diulang lagi? Karena ini belum standar sesuai aturan. Tapi tsiqohnya kepada jodoh yang telah tertulis tetap kuat tertancap. “Bagaimana akhi? Antum belum saling melihat wajahnya. Apa perlu diulang lagi ta’arufnya?” Tanya murabbi memberi solusi. Dengan sangat tegas tanpa ragu dia berucap, “Cukup!” Ia segera bertanya dengan sangat singkat, ”Apakah proses bisa dilanjutkan?” Tanyanya ingin segera mengetahui jawaban akhwat di seberang sana.

Proses pun sampai perkenalan pada orang tua. Dia beranikan untuk membuat janji akan secepatnya bersilaturahim ke rumah orang tua akhwat yang tidak dekat jaraknya. Sama-sama satu negri namun membentang jarak antara timur dan barat. Ini pun berat baginya karena ia sedang dihadapkan dengan pendaftaran wisuda pasca sarjananya yang tidak kecil biayanya.

Sempat terlintas dalam pikirnya menunda jadwal wisuda. Demi mendahulukan biaya untuk persiapan meminang dan walimahnya. Namun sekali lagi, jodoh, rezeki dan mati telah tercatat dalam tinta Lauhul Mahfudz nan tinggi. Ia yakin dengan janji Allah yang akan membuka kran rezeki saat menikah benar-benar demi Ilahi. Demi menjalankan separuh din ini. Demi menjaga kehormatan dan harga diri. Demi Nabi, demi menjaga generasi. Melahirkan para pejuang pada waktunya nanti. Ia tadabburi ayat “In Yakuunuu Fuqoroa Yughnihumullah Min Fadhlih.” (Q.s. an-Nur: 32),jika mereka miskin maka Allah akan menjadikan mereka kaya dengan kelebihan Allah.

“Wes daftar wisuda?” Dia membaca sms dari kawan seperjuangan, saat sama-sama kuliyah di S2 yang telah lama menunggu kuota wisuda terpenuhi. Dulu mereka berdua sering berjanji akan wisuda bersama nantinya. Berat ia mengetik sms balasannya, tapi tetap yakin dengan janji Allah bahwa rezeki telah pasti! “Nuqud masih kurang. Nunggu ada rezeki dari Allah lagi,“ Ia mengiba pada Allah sambil membalas sms. “Kesuwen”, (baca: kelamaan) sms kembali masuk ke hp bututnya. “Allah membagi rezeki tidak pake lama. Setiap saat. Sabar saja Insya Allah nanti ada waktunya,” ia meyakinkan.

Allah memberi bukti. Mereka benar-benar menikah. Sekalipun istrinya lebih mulia dibanding dirinya. Ilmunya tinggi tak tergapai. Kecantikannya menawan tak terbandingkan. Keshalihannya tak terbantahkan. Namun, jarak bagai langit dan bumi dapat bersatu manakala mereka hanya mencari ridha dan cinta Ilahi. Tak ada halangan berarti dalam proses yang berjalan.

Dan kini, mereka hidup bahagia bersama. Mengarungi samudra kehidupan luas dengan bahtera rumah tangga yang kokoh. Ombang-ambing badai yang menerjang tak berarti bagi bahtera yang terus berlayar sampai ke muaranya. Keharmonisan kian lama kian terasa. Kini mereka telah diberikan anugrah dan amanah Allah dengan tujuh penghafal al-Qur’an di rumahnya. Setiap menjelang shalat fardu terdengar sayup indah merdu al-Qur’an menggema.  Tidak ada masalah berarti dalam kebahagiaan bersama keluarga. Mereka saling melengkapi saling menyayangi. Kini, dia telah menyelesaikan program doktoralnya dari Universitas Islam Malaya. Sedang istrinya lebih dulu menyelesaikan program doktoralnya di salah satu universitas di Negri Samba. Mereka telah menemukan jodoh yang Allah janjikan. Mereka telah menikmati rezeki yang Allah siapkan. Dan kelak mereka akan kembali ke pangkuan Allah dengan mendapat sambutan

“Ya Ayyatuhan Nafsul Muthmainnah.
Irji’i  Ila Rabbiki Raadhiyatam Mardhiyyah.
Fadkhuli Fii ’Ibaadi. Wadkhuli Jannatii…”

“Wahai jiwa yang tenang…
Kembalillah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha dan diridhai-Nya.
Maka masuklah ke dalam golongan hamba-hamba-Ku.
Dan masuklah ke dalam surga-Ku.”

(Q.s. al-Fajr: 27-30)

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah Surakarta, aktif di beberapa kajian keislaman, pembinaan remaja dan kepemudaan di kota Solo.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization