Topic
Home / Narasi Islam / Dakwah / Saya Memilih Mundur, Bolehkah?

Saya Memilih Mundur, Bolehkah?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)
dakwatuna.com – Allah SWT berfirman: “Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk.” (Ali Imran: 103)

Bismillah,

Hari ini izinkan saya kecewa, pada segerombolan oknum yang tangan kanannya tengah menunjuk orang lain yang dituduh mencuri, sedangkan di balik saku kirinya tergenggam barang curian. Atau pada segerombolan oknum yang kalimat dari mulutnya terlafalkan bacaan Al-Quran, tapi di saat yang lain ayat-ayat itu digunakan untuk menyerang saudarinya. Atau pada manusia-manusia yang senantiasa pindah berceramah dari masjid ke masjid, namun ia tak dapat menahan dirinya, dari kata-kata kotor ataupun aktivitas yang tidak bermanfaat.

Hari ini izinkan saya berteriak kecewa, pada segerombolan oknum, yang telah lama berkecimpung di dunia dakwah, namun lebih sering meninggalkan teman di dunia dakwah sendirian. Atau pada barisan-barisan yang berteriak bahwa kita itu satu tubuh, namun tak pernah tahu kondisi tentang saudaranya

Hari ini izinkan saya menunduk pilu, pada kelemahan yang terjadi. Ketika, umat Islam terlalu takut untuk berdialog dengan ilmunya, dan memilih merenung diam dibalik maraknya kebhatilan. Atau pada kondisi umat Islam yang semakin tergerus dengan degradasi moral yang tak terkendalikan yang akhirnya membuat segalanya lebih terlihat abu-abu daripada hitam atau putih.

Hingga mungkin hari ini, saya memutuskan sebuah hal: Saya keluar dari barisan Ini. Kelelahan ini membuat semuanya terasa terpura-pura, lebih terasa seperti ketidaksesuaian dengan idealisme yang telah saya perjuangkan selama ini. Seperti inikah barisan yang disebut barisan dakwah itu? Benarkah saya harus meninggalkan barisan ini?

Seketika semua menjadi hening, detik jam tak lagi terdengar detakannya, alunan murattal Al-Quran tak lagi terdengar, bahkan suara tertawaan manusia di sekitar tak dapat mengalihkan pendengaran dari suara yang hanya bisa saya dengar saat ini: Suara Tangisan. Keluhan atas Kelelahan. Lalu benarkah pilihan ini?

Tidak!!

Secara kemanusiaan mungkin bisa jadi, saya merasa lelah, merasa tertinggal, merasa sendirian. Namun, bukankah Allah telah memberikan pertolongannya lewat manusia-manusia lain yang berada di sekitar? Bukankah Allah telah sedikit demi sedikit membukakan hati kepada saudari-saudari yang lain untuk perlahan demi perlahan ikut membantu dakwah saya? Lalu mengapa saya tidak bersyukur? Allahlah yang akan memberikan pertolongan.

“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pastinya Aku akan menambah nikmat kepada kamu, dan sesungguhnya jika kamu kufur, sesungguhnya azabKu adalah benar-benar pedih. (Ibrahim: 7)

Secara kemanusiaan bisa jadi saya merasa kecewa. Akan tetapi, Hei, untuk apa saya di sini selama ini? Bukankah untuk menegakkan kalimat-Nya? Bukankah takkan pernah saya temukan barisan yang sempurna? Takkan pernah ada barisan yang ideal? Takkan pernah ada.

Mungkin selama ini pemikiran saya yang salah, menganggap mereka adalah malaikat, sehingga saya sering lupa, bahwa mereka adalah manusia, sama seperti saya, yang perlu dinasihati ketika salah, yang perlu didukung ketika benar. Mereka hanyalah manusia yang sama-sama berjuang seperti saya, namun sayalah yang salah kaprah menganggap mereka bak malaikat, tanpa dosa, tanpa celah.

Kemudian saya mengingat kembali, mengapa akhirnya saya bergabung dalam barisan ini. Bukankah dahulu cara-Nya sangat indah dalam mempertemukan saya dengan jalan kebaikan? Bukankah rasa-rasanya itu masih terjadi beberapa hari sebelumnya? Tak dapatkah saya rasakan lagi hawa-hawa ketenangan, aura kesejukan itu? Bukankah sejak saat itu saya selalu punya mimpi yang ingin diwujudkan di manapun saya berada? Tak ingatkah saya mengenai mimpi indah itu? Bukankah saya masih ingin berusaha agar orang-orang dapat merasakan udara ketenangan dan kesejukan atas indahnya Islam? Lalu mengapa hari ini saya harus mundur hanya karena tindakan beberapa oknum saja?

Pun jika saya akhirnya memilih mundur, lalu akan ke manakah saya? Siapakah saya apabila seorang diri? Siapkah saya ketika harus melawan derasnya arus kebhatilan sendirian? Nabi Musa saat berdakwah saja meminta Harun sebagai sahabatnya, lalu dengan siapa saya harus berjuang jika harus sendirian?

Apakah pernah ada jaminan bahwa saya akan lebih baik jika sendirian? Takkan pernah. Yang bersama dalam barisan saja bisa saja mundur dan berguguran, lalu jadi apa saya jika sendirian?

Bergabung dalam jamaah mungkin bukan sebuah kewajiban, namun itu adalah sebuah kebutuhan. Karena saya takkan bisa pernah bertahan dalam kesendirian.

Berjamaah mungkin sering kali menyakitkan, tapi  berjamaah lebih sering memberi kita arti yang mengagumkan mengenai persaudaraan.”

Maka saya akhirnya paham, bahwa meninggalkan barisan bukanlah sebuah solusi pilihan yang sempurna, bisa jadi ia hanyalah sebuah pelarian yang membuat kita menjauhi barisan, membuat kita merasa bahwa kehidupan ini hanyalah memikirkan diri kita sendiri, membiarkan pikiran kita idealis sendirian, membiarkan tindakan kita seidealis pemikiran kita. Bertahan mungkin bukan pilihan yang menyenangkan, namun bisa jadi itu adalah sebuah pilihan yang menguatkan, sebuah pilihan mengenai Kesabaran, Kepasrahan dan Tanggung Jawab.

Dan Katakanlah: “Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan.” (At-Taubah: 105)

Sebagai penutup, izinkan saya menyampaikan pesan singkat dari seseorang yang sangat saya hormati dalam perjalanan dakwah saya hingga hari ini

“Antunna, jangan pernah mengira bahwa cara Allah menyingkirkan orang-orang yang tidak pantas berada di barisan ini adalah dengan memutar balikkan sifat orang itu 180o, karena bisa jadi Allah akan membuat orang tersebut perlahan-perlahan semakin menjauh dengan barisan, dan akhirnya memutuskan sendirian karena merasa dirinya lebih baik sendiri, dan akhirnya ia akan gugur seperti pohon yang tak pernah berbuah, hanya bisa meneduhkan sesaat tanpa ada kebermanfaatan lebih selanjutnya.”

Semoga Allah senantiasa menguatkan kita untuk senantiasa berpegang teguh pada Tali ikatan (Agama) Allah.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (1 votes, average: 1.00 out of 5)
Loading...
Mahasiswi Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN SyaHid Jakarta. Santri di Rumah Qur'an Daarut Tarbiyah. Menciptakan Kebaikan untuk Terwujudnya Peradaban.

Lihat Juga

Poling: 66 Persen Warga Israel Ingin Netanyahu Mundur

Figure
Organization