dakwatuna.com – Bik Rah baru memasuki usia lima puluh tahun. Sepertiga bagian hidupnya berada di tanah rantau. Belasan tahun tinggal di Malaysia. Kini, ia lincah kesana-kemari mengambil porsi menjadi asisten rumah tangga ‘part time’ di tempat tinggal beberapa pekerja asing di Kuala Lumpur. Modalnya adalah kejujuran, kerja keras, teliti, disiplin dan berempati -tentunya. Ia sudah beberapa kali menyesali keterlambatan datang untuk bekerja, yang bukan membuat majikan memarahinya, melainkan langsung mencari asisten penggantinya. Sehingga ia menyadari bahwa kedisiplinan amat penting.
Tak ada yang menyangka di balik senyum tipis dan kelincahan bik Rah, semasa awal datang ke Kuala Lumpur dari tanah Jawa, sudah berkali-kali ia ditipu. Ibarat ditikam oleh sobatnya sendiri. Pertama-tama adalah hal klise, agen yang menggratiskan keberangkatannya, sekaligus menjadi rentenir dan mengambil seluruh gajinya selama satu tahun. Bertahan di tahun pertama itu, majikan tempatnya bekerja tak mau memberi izin untuk pindah kerja, menyembunyikan passportnya, bahkan tak memberi makan. Ketika memohon supaya passport dikembalikan, ia malah memperoleh pukulan dan siksaan.
Bik Rah tak putus asa. Pada suatu malam, ia melapor ke kantor polisi. Dan, justru polisi itu memberikannya pekerjaan sebagai khadimat, dengan gaji yang rendah. Bik Rah menjalani tugasnya dengan baik selama berbulan-bulan. Meski gajinya amat minim, namun ia tak tahan dengan pecahnya piring gelas setiap malam akibat pertengkaran suami-istri yang merupakan majikannya itu. Berlari mencari jalan keluar, ia sempat berkenalan dengan pemudi yang kumpul kebo di sini. Ia ditampung sebagai penjaga bayi pasangan muda itu. Aih, betapa banyak pihak yang memanfaatkan dirinya saat dilanda kesempitan. Berkali-kali ia ditipu pula saat akan membuat passport baru. Sebab tak tahu lokasi kedutaan, ia mengandalkan calo.
Bik Rah tak ingin menjadi pengemis. Tak mau mengadu ke pihak kedutaan utusan negerinya. Karena ia berpikir bahwa itu justru akan merepotkan keluarganya yang tengah dibelit kemiskinan. Pil pahit kehidupan ia telan dalam diam. Bik Rah menjadi janda di usia 20-an. Suami pertama menderita kanker akibat kecanduan rokok dan alkohol. Beberapa tahun kemudian, kala ia berjumpa pemuda lain yang meminangnya, ternyata suami kedua hanya merampas seluruh harta hak anak-anak yatimnya. Perih. Suami kedua berlari. Menikah lagi diam-diam di pulau lain dan meninggalkannya yang tengah berperut buncit. Inna Lillahi wa Inna Ilaihi Raji’uun. Maka, amat berat hatinya sewaktu dahulu meninggalkan sang bayi yang baru berusia satu bulan. Bayi itu ditinggalkan demi mengais rezeki menuju negeri jiran.
Bik Rah. Pahit manis kehidupan sudah dikecapnya. Guratan halus di wajah adalah bukti ketegarannya dalam berjuang. “Padahal, rumah saya tak jauh dari gang Dolly. Dulu sering membantu mencuci dan menyetrika di rumah-rumah PSK sana, Bu.” Ujarnya. Tapi ia tak mau merusak diri dengan menjajakan raga seperti wanita lain di sekitarnya. Bik Rah sendiri, pernah mengalami gangguan dan godaan di area tersebut. Di Kuala Lumpur pula, ada oknum petugas yang pernah memeriksa data dirinya. Lalu hampir merampas kehormatannya, dan merampok harta simpanannya. “Bu, meski saya ini bodoh tidak sekolahan, saya tau bahwa mereka jual diri itu dosa. Saya tak mau seperti itu. Anak-anak saya harus sekolah, jangan bodoh seperti ibunya ini.” Demikian Bik Rah amat ingin menyekolahkan anaknya sampai lulus sarjana.
Sewaktu ia bercerita, air mataku mengalir, “Ah, Diri ini masih amat lalai dalam bersyukur,” batinku. Bik Rah memang tak henti-henti menghimbau majikan-majikannya (yang masih berusia lebih muda dari pada dirinya) untuk selalu bersyukur. Cobaan hidupnya lebih keras dibandingkan sang majikan. Bahasa Inggris yang belepotan tak membuatnya sungkan. “Kalau mau maju, kan harus belajar, ya Bu?” Ucapnya mencetuskan alam pikiran, inspirasi perjalanan yang merupakan pelajaran berharga. Satu hal lagi yang disyukurinya, “Anak-anak mau belajar agama dan rajin bersekolah. Meskipun, saya tidak mendampingi mereka di rumah. sSaya harus mencukupi biaya sekolah mereka. Harus sehat. Harus kerja!” Masya Allah.
Kalau isi kantong kita pas-pasan buat makan dan minum hari ini, janganlah menangis dan bersedih hati. Tengoklah isi hati kita, masihkah iman bersemayam di dada? Menangislah diri sebab bersyukur atas kesempatan hidup hari ini. Atas oksigen gratis yang kita nikmati. Atas hidup tenang tanpa utang. Masih banyak saudara kita yang malah kantongnya tak hanya kosong. Melainkan pula berada dalam lilitan utang, tekanan jiwa raga dalam pekerjaan, dan kondisi negeri yang dilanda kemelut lainnya.
Selagi iman di dada, selagi kita masih menjaga shalat lima waktu, selagi lisan masih dapat beristighfar dan melantunkan ayat suci al-Quran, berarti kita sedang menikmati keberkahan hidup. Tak layak kita lalai dalam bersyukur hanya karena menyelip beberapa masalah dalam keseharian ini. Mari optimis dalam meraih ridha-Nya, Barokallahu Fikum.
Wallohu A’lam Bishshowwab.
Redaktur: Pirman
Beri Nilai: