dakwatuna.com – Bismillah wal hamdulillah. Rasanya belum lama mendengar berita seorang anak asuh kami yang harus mulai kemoteraphy. Dalam hitungan hari, sobatku yang merupakan sukarelawan pendidik anak-anak dengan kondisi penyakit kronis mengabarkan bahwa dua orang “malaikat” kecil (pejuang kanker) pun telah meninggalkan kami menuju ke pangkuan Rabb semesta alam. Innalillahi wa Inna Ilaihi Raji’uun.
Saat yang tepat, mengembun mata ini memperhatikan bait-bait sebuah puisi dari Buya Hamka, dalam satu tajuk Nikmat Hidup. Terharu karena barisan kata itu seolah merupakan isi hati diri sendiri.
Hanya dua tempat bertanya
pertama Tuhan kedua hati,
Dari mulai hidup sampai pun mati
timbangan insan tidaklah sama,
Hanya sekali singgah ke alam
sesudah mati tak balik lagi,
Baru rang tahu siapa diri
setelah tidur di kubur kelam,
Wahai diriku teruslah maju
di tengah jalan janganlah berhenti,
Sebelum ajal, janganlah mati
keridhaan Allah, itulah tuju,
…
Ingatanku melompat ke sana ke mari, tersenyum mengenang masa kecil, dan jutaan momen kehidupan. Betapa beruntungnya diri menjadi muslimah, semua kejadian bertabur hikmah-Nya. Sejenak, tatkala mengingat Kota Krakow dengan ‘keluarga muslim kita’ yang senantiasa bersilaturrahim jarak jauh, ternyata pintu rumahku diketuk oleh seorang tetangga. Alhamdulillah, jiranku ingin berbagi masakan, sejenis sup dengan laksa, komplet dengan irisan ayam dan taburan bawang goreng. Masya Allah. Padahal, baru saja seorang teman dari jauh menyempatkan datang dengan membawa kue yang lezat. Duhai Allah, betapa deras limpahan nikmat-Mu ini.
Satu sobat shalihat memenuhi ruang hatiku pula. Ia mengantarkanku ke rumah usai mengaji. Padahal, jarak tempat mengaji sangat dekat. Biasanya aku hanya berjalan kaki. Namun, penampakan apartemen dengan jalan yang berbukit-bukit, kalau berada di jalur pulang, memang seolah mendaki bukit. Puluhan teman biasanya sibuk bertanya, “Yooook, ikut sama aku sampai ke depan.” Seraya membuka jendela mobil mereka. Kakiku menolak, lisanku berkata lembut, “Enakan jalan kaki, sist. Olahraga, hehehe.” Dan “konvoi” roda empat itu berlalu satu-persatu seraya saling melambaikan tangan.
Tetapi tawaran dari satu sobat shalihat itu, tak dapat lagi kutolak. Karena ternyata, ia akan mampir ke rumah jiranku. “Bareng aja, yoook! Aku kan mau ke blok itu juga.” Masya Allah, lincah nian dirinya. Semenit saja, aku sudah berada di depan pintu rumah. Dan nebeng singkat itu kami saling melempar doa. Begitu tenang jiwa. Betapa beruntung dapat mengenal dirinya. Alhamdulillah, “Orang baik akan berada dalam lingkungan sahabat-sahabat yang baik, yang shaleh akan dipertemukan Allah dengan teman-teman nan shaleh pula. Begitu pun sebaliknya, Dear.” Sejak dulu, dua sistersku di Poland sering mengatakan hal itu.
Mungkin bagi banyak orang, “Ah, gitu doang! Biasa aja lah.” Namun, tidak bagiku. Rasanya belum pernah diriku tidak berbarengan teman sepulang dari suatu acara atau menghadiri majelis taklim. Kalau jam kerja, saat suamiku di kantor dan tak bisa mengantar atau menjemput, maka begitu banyak saudariku yang bisa diandalkan untuk barengan pergi dan pulang ke tempat majelis tersebut. Kurasakan hal ini sebagai anugerah besar. Secuil waktu nebeng itu adalah wujud tanda cinta, melekatkan hati, bentuk empati dan praktek dari majelis ilmu yang diikuti. Allahu Yaa Kariim, “Semoga mobil yang ditebengi ini, pemiliknya, keluarganya, usaha-usaha, cita-cita dan hari-harinya kian berada dalam keberkahan-Mu di dunia dan akhirat, aamiin.” Ruang hati hamba sering berbisik demikian.
Sama seperti seorang penjaga toko di sebelah apartemen sewaktu kami di Kuwait tahun lalu. Berkali-kali ia mengucapkan terima kasih, padahal ‘hanya’ gara-gara sulungku mengantarkan makanan kecil dan minuman dingin buatnya. “Belum pernah ada anak shaleh yang sebaik dirimu, yang mau turun ke kedai ini, padahal cuaca sangat panas. Terima kasih karena memberikan minuman kepadaku.” Ucapnya kepada ananda kami.
Alangkah indahnya Islam dan adab kaum muslimin. Semoga kita selalu bersama menjadi pembelajar, belajar menjadi baik, selalu terus semangat belajar, dan berjumpa sahabat-sahabat baik pula yang dapat berbagi ilmu serta mendekap ukhuwah dalam kecintaan pada-Nya, aamiin.
Dan malam ini, Aku masih berkeringat. Rasanya sungguh malu kepada-Nya. Begitu bertubi-tubi kenikmatan dilimpahkan-Nya, sementara ucapan syukurku tak sampai setitik air. Bayangkanlah teman-teman, kemarin dan kemarin lusa, serta minggu lalu, aku tak diperbolehkan membayar menu pesanan makanan. Pedagang langganan dan seorang sahabat menggratiskannya dengan ucapan, “Gak usah dibayar. Halal. Udah, Dear.” (Waduh, kok begitu? Kenapa, oh kenapa sohib-sohib ini baik sekali? Hal itu berkecamuk dalam pikiranku.)
Malam ini, keringat tanda surprised itu hadir. Karena seorang bunda shalihat (lagi-lagi) menghadiahkan banyak sekali makanan dan minuman. Ya Allah, padahal tadi maksudku adalah membeli. Ternyata tidak diperbolehkan membayar, malah digratiskan. Timbangan insan tidaklah sama. Adakah timbangan amal hamba terlalu sedikit, jikalau hidup bertabur kenikmatan? Hamba takut kalau tiada sisa untuk kubawa sampai Hari Perhitungan kelak.
Timbangan insan tidaklah sama. Membaca ulang kalimat itu bagaikan bersanding dengan kutipan makna ayat-Nya yang dijadikan papan iklan pengingat masyarakat jika terbiasa berkendaraan melewati jalur ke arah PWTC-Kuala Lumpur (yang kulewati setiap pagi). Ada sebuah himbauan untuk senantiasa berinfaq, sedekah dan membayar zakat. Papan iklan pemberi motivasi untuk rajin bersedekah.
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah maha luas (karunia-Nya) lagi maha mengetahui.” (Q.s. al-Baqarah:261) Masya Allah.
Subhanallah Walhamdulillah. Merenungi nikmat hidup, hanya menuju keridhaan-Mu, duhai Allah. Saudara-saudariku ternyata menyadari bahwa Ramadhan kian dekat. Rasa takjub akan ketulusan-ketulusan mereka adalah pesona jiwa dalam mengobati kerinduan pada Ramadhan. Semoga kita berkesempatan menjumpai Ramadhan tahun ini. Dan dapat memanfaatkan waktu nan tersisa untuk meraih Ramadhan terbaik dengan optimal, aamiin yaa Allah. Wallahu A’lam.
Redaktur: Pirman
Beri Nilai: