Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Tersenyumlah

Tersenyumlah

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Tok..tok..tok..

“Assalamualaikum, calon Ummi…” terdengar suara dari luar. Aku tahu pasti yang datang adalah mas Fatih. Alhamdulillah, setelah 5 bulan pernikahan kami, aku dinyatakan positif hamil oleh dokter. Walaupun usia kehamilanku baru masuk bulan kedua, mas Fatih sudah sering menggodaku dengan sebutan ‘calon ummi’. Aku tak henti-hentinya mengucap syukur pada saat pertama kali dokter mengucapkan selamat atas kehamilanku. Dan mas Fatih, seperti biasa, airmatanya langsung mengucur bak air terjun Sipiso-piso.

“Wa’alaikum salam, calon Abi cengeng…”, kujawab dengan sedikit nada bercanda.

“Tumben cepat pulang, Mas?  Kasian kan teman-teman mas kerja keras sementara mas asyik-asyikkan di rumah.” Celetukku.

“Dik Zaza, -panggilan khusus mas Fatih untukku- tadi mas udah izin koq sama mbak Aini. Lagian, kerja mas juga udah kelar tadi.” Jelasnya.

Aku hanya tersenyum, mas Fatih memang lebih semangat kerja akhir-akhir ini tepatnya semenjak aku dinyatakan positif hamil. Mas Fatih, katanya, selalu rindu sama calon jundi kecil kami juga sama umminya. Gombalnya mas Fatih sepertinya tak kan hilang, habis istrinya hobi digombalin sih. Hehe.

***

“Tidit….tidit….tidit…”, pesan baru di hp mas Fatih.

“Assalamualaikum akh. ‘Afwan, cuma mengingatkan. Antum sekarang ngisi kajian sore ini, kan? Kami tunggu di kampus akh. Kajiannya di gedung Pusat Islam. Jazakumullah.”

Lagi-lagi yang muncul nama ini. Hampir tiap hari ada nama ini di inbox mas Fatih. Kami memang baru menikah 5 bulan dan aku belum mengenal mas Fatih seutuhnya. Gimana tidak, selain baru saja menikah, kami juga selalu disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Mas Fatih yang baru saja menyelesaikan skripsinya sekarang sedang sibuk untuk mempersiapkan wisudanya. Ditambah lagi dengan pekerjaannya.

Sedangkan aku yang baru saja mulai menyusun skripsi, tentu tak jauh berbeda dengan mas Fatih. Kami juga sama-sama aktif di Lembaga Dakwah Kampus yang pastinya menyita banyak waktu. Tapi, hal ini sudah menjadi komitmen awal bahwa kami tidak akan meninggalkan dakwah kampus setelah menikah nanti.

Aku hanya berusaha husnudzon. Mas Fatih memang tipe ikhwan yang pelupa. Wajar kalau dia selalu diingatkan oleh rekannya.

“Mas, sore ini mau ngisi kajian di kampus ya? Za boleh ikut, tak?” Suaraku sedikit memelas. Karena mas Fatih memang sudah dari dulu menawarkan aku untuk ikut ke kampus sekalian untuk silaturahim dengan teman-temannya di sana. Tapi aku selalu menolak dengan alasan yang klasik: sibuk.

“Benar nih, mau ikut?” Mas Fatih lagi-lagi menggodaku dengan tatapan mengejek dan sedikit keheranan. Aku mengangguk pasti.

***

“Assalamualaikum akh. Kajiannya sudah dimulai, antum sudah terlambat. Lewat dari sini saja.”

Seorang akhwat mendekati kami dengan terburu-buru sambil menunjukkan arah jalan untuk mas Fatih. Sekarang, aku tinggal berdua dengan akhwat yang ternyata adalah Iska yang namanya selalu ada di inbox mas Fatih.

“Tenang Za, tidak masalah kalau namanya selalu ada di inbox hp mas Fatih. Asalkan di hati mas Fatih selalu ada Zahra seorang.” Kucoba menghibur diri sendiri yang sekarang mulai disusupi rasa cemburu.

Iska dan aku masuk lewat pintu lain menuju shaf akhwat. Beberapa jam bersama Iska, ternyata membuat rasa cemburuku kian kuat. Iska seorang akhwat yang usianya lebih muda setahun denganku dan  memiliki segudang prestasi. Dia cantik, shalihah, supel dan seperti tidak ada celah dalam dirinya.

Dalam perjalanan pulang, pikiranku tidak lepas dari Iska. Sepertinya, ia sangat mengenal baik orang yang sedang mengendara motor butut kami ini. Ia banyak bercerita tentang mas Fatih atau lebih tepatnya tentang ia dan mas Fatih.

Sesampai di rumah. Azan Maghrib sudah berkumandang. Mas Fatih langsung menuju Masjid yang berjarak kira-kira 100 meter dari kontrakan kami. Tak mau ketinggalan untuk berebut cinta Sang Kekasih, aku juga langsung berwudhu untuk melaksanakan sholat Maghrib di rumah.

Aku tidak boleh berprasangka yang aneh-aneh terhadap mas Fatih. Tekadku seakan membaja dan menancap kuat di hati. Tapi ternyata, sms dari Iska kembali menyambangi inbox suamiku. Runtuhlah bangunan tekad dari baja yang baru menancap dalam hati tadi hanya karena sms ucapan terima kasih dari Iska. Weleh…weleh…. Aku geleng-geleng kepala sendiri.

***

Akhirnya pernyataan itu keluar juga setelah beberapa hari kupendam. “Mas, Za cemburu. Titik.”

Mas Fatih senyum-senyum dengan berjuta rasa. Rasa bangga, mungkin. Karena dicemburuin wanita baik hati. Heran, mungkin. Dengan kalimat simpleku. Atau bingung gak mengerti apa maksud dan tujuanku berkata seperti itu.

“Haah!…. Dasar wanita tak punya pendirian!” Aku membatin untuk diriku sendiri. Aku malu dengan ucapanku barusan. Bagaimana aku menjelaskannya pada mas Fatih?

Mas Fatih mencium keningku dan langsung pergi. Pergi, pergi entah kemana. Bak ditelan bumi. Upssss, salah. Maksudku pergi ke Masjid. Kebetulan azan Isya sudah mulai berkumandang. Kebanyakan mengkonsumsi puisi, yahh. Begini deh jadinya.

Dasar lelaki tak punya sopan santun. Setelah mencium istrinya langsung main pergi ajah, tanpa sepatah kata pula. Aku jadi bingung. Sebenarnya beliau itu ngambek, marah, kesal atau…atau…?

What ever…. Yang penting aku mau shalat dulu. Mau mengadu, minta tolong, dan bersyukur sudah diberikan suami yang aneh. Mau nangis juga. Semualah pokoknya. Semua rasa ini kan kulaporkan pada Sang Pemiliknya.

Anonim yang mengatakkan bahwa wanita susah dimengerti sepertinya tidak berlaku di keluarga kecil ini. Sebaliknya, pria memang susah dimegerti. Ini baru tepat!

Sebulan setelah statement kecemburuan  itu kuproklamirkan, akhirnya mas Fatih mulai mempelajari pernyataanku tersebut. Masa iya, untuk follow up kalimat singkat aja ditunda ampe sebulan. Syukur istrinya shalihah. Sabar menunggu dan bertahan di tengah keanehan sang suami.

“Dik Zaza, kemarin katanya cemburu ya? Cemburu ama siapa? Masmu ini memang benar-benar cakep ya? Masya Allah. Beruntung sekali dik Zaza mendapatkannya.”

“Oalah mas, kemarin? Sebulan yang lalu kali! Cakep-cakep koq pikun.” Kukeluarkan suara paling ketus yang kupunya. Mencoba menutupi rasa maluku di depan mas Fatih. Mas Fatih hanya senyum-senyum menandakan kemenangannya.

“Zaza shalihah cemburu sama siapa?” Kali ini mas Fatih sambil cengengesan.

“Sudah…sudah. Tidak usah dibahas lagi, Mas. Basi tau gak sih, Mas? Masa iya mas gak tau. Siapa lagi kalau bukan Iska.” Aku berkatatanpa henti. Ups, keceplosan merk. Wajahku seketika memerah. Aku malu yang sangat teramat.

Dan mas Fatih membelalakkan mata menandakan keheranannya sambil menghampiriku,  “Za, mas gak salah dengar, kan? Iska?” Dan diapun tertawa lepas.

***

Subuh ini seolah subuh yang paling menyejukkan. Rasanya lega setelah mengeluarkan seluruh isi hati. Walau terkadang kalau teringat, malu rasanya. Bersyukur mas Fatih paham dan tidak memperpanjang cerita.

“Kring…kring…kring….”,

“Kring…kring…kring…:.

Iska? Telpon sepagi ini? Mas Fatih juga tumben belum pulang dari Masjid. Ah Iska, mendengar suara ayumu saja bisa menambah kecemburuanku. Maafkan aku sadaraku, mungkin aku belum lama mengenalmu dan bahkan kita baru bertemu sekali. Tapi walau hanya sekali, bayangmu begitu susah untuk kulepas. Engkau begitu sempurna di mataku. Salahkah aku, jika mencemburuimu?

Kuputuskan sementara waktu untuk menjauh dari dunia kampusnya Mas Fatih. Aku hanya ingin fokus pada calon bayi kami. Mungkin untuk saat ini, inilah yang terbaik.

***

Tidak terasa, kehamilanku sudah memasuki usia 8 bulan. Atas perintah mas Fatih, aku lebih banyak berada di dalam rumah. Ia khawatir kalau aku banyak beraktifitas keluar rumah. Aku bahagia, insya Allah sebentar lagi akan menjadi seorang ibu. Dan sepertinya, mas Fatih juga mengetahui kalau aku sedang menjaga jarak dengan ‘dunianya’. Tapi aku, sekarang aku merinduinya. Aku merindui senyum hangatnya. Aah… Iska. Saudara yang belum lama kukenal itu, apa kabarnya?

“Mas Fatih, mas Fatih,” panggilku dengan hati-hati.

“Mas Fatih, besok mengisi kajian di kampus ya? Iska ada?” Tanyaku dengan nada yang sedikit berat.

“Mmmm, sepertinya tidak. Karena besok kajiannya khusus ikhwan Zaza sayang.” Jawabnya lagi-lagi dengan gaya cengengesan yang nyebelin walau terkadang terlihat lucu juga.

“Mau jumpa Iska? Insya Allah minggu depan adapelatihan. Semua pengurus diwajibkan hadir.” Lanjutnya masih dengan senyum-senyum keheranan.

Dua hari dipelatihan membuatku semakin akrab dengan Iska. Ia sudah seperti adik sendiri bagiku. Dan kecemburuan itu, insya Allah semakin memudar bersama cinta yang tumbuh di antara kami. Inilah ukhuwah yang ikatannya berlandaskan cinta pada Ilahi. Meski baru saling mengenal, tapi berasa sudah saudara dekat.

***

Alhamdulillah, bidadari kami lahir dengan sempurna, kunamai ia ‘Azalia Bunga Al-Fatih’. Ia cantik seperti umminya dan insya Allah juga shalihah. Dan Mas Fatih sekarang tidak hanya suami siaga tapi juga ayah siaga.

“Assalamualaikum….”

Terdengar suara sedikit gaduh dari teras rumah. Aku mengintip dari celah jendela kamar. Kebetulan sedang memandikan Azalia. Ternyata rombongan dari kampus mas Fatih. Ada Iska, akhwat ini selalu menyempatkan diri sesibuk apapun ia.

Teman-teman ikhwan Mas Fatih langsung mengambil posisi di pojok ruang tamu yang beralaskan tikar. Sedangkan yang akhwat tidak sabaran menunggui Azalia. Kupersilahkan mereka masuk ke kamar mungilnya Azalia.

“Sini mbak, biar Iska bantuin.” Tawar Iska melihatku kurang lihai mengganti pakaian Azalia. Karena memang cukup letih, jadi kubiarkan Iska membenahi Azalia. Aku terduduk di pojok ruangan sambil memandangi kelihaian Iska yang bagiku sudah cukup professional.

Tiba-tiba mas Fatih datang sambil membawa minuman untuk para tamu, “Eh Iska, kelihatannya udah cocok tuh.” Ucap mas Fatih spontan yang disambut cie…cie… dari seluruh penghuni ruangan kecil ini. Deg! Serasa ada sesuatu yang menelusup ke hati. Tiba-tiba, aku merasa kembali ‘cemburu’ pada Iska. Ia benar-benar semakin sempurna di mataku. Benarkah bunga-bunga cemburu itu lagi-lagi tumbuh? Spontan mimik wajahku berubah.

“Senyum Zahra, tetap tersenyumlah. Urusan dapur akan diselesaikan setelah semua pada bubar.” Batinku sambil tetap beristighfar menenangkan diri.  Karena kali ini aku benar-benar cemburu.

***

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Alumni Psikologi UMA. Aktivis KAMMI. Bercita-cita jadi Psikolog Anak. Pecinta dunia Traveling, photography, tulis menulis and ODOJers 63.

Lihat Juga

Bukan Mau tapi Siap, Inilah 4 Hal yang Wajib Dilakukan Muslimah Sebelum Menikah

Figure
Organization