Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Aktivis Islam, Mana Peranmu?

Aktivis Islam, Mana Peranmu?

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)
Ilustrasi (donialsiraj.wordpress.com)

dakwatuna.com – Penyakit moral terus menggerogoti

Korban semakin bergeletakan

Bak radioaktif yang mengalir di udara

Siapa menghirup jatuhlah dia

Obat-obatan berserakan

Rumah sakit sibuk kepalang

Peringatan darurat telah berkumandang

Sementara dokter tak kunjung datang

Degradasi moral tak berwujud

dan tak nampak lebih halus dari benang,

lebih bening dari air

Namun efek jangan ditanya

Nuklir pun tak mampu melawan

Degradasi moral, merupakan topik paling trend sepanjang masa. Ia tak sekedar opini belaka, namun merupakan sebuah fakta. Tak habis-habisnya kalangan pemikir mendiskusikan polemik yang satu ini. Mulai dari kelompok politisi, agamis, lembaga pendidikan, ormas, mahasiswa dan banyak lagi.

Sampai-sampai media massa turut aktif dalam mengangkat masalah ini kepada masyarakat luas. Kucuran keringat mengguyur dahi para pemikir intelektual, hingga muncul berbagai teori pengentasan degradasi moral.

Baik untuk sasaran anak usia dini, remaja, mahasiswa, orang tua hingga teori praktis untuk sasaran universal. Semua telah hadir sebagai solusi-solusi praktis yang tak pernah henti diumumkan oleh media massa nasional.

Namun, ibarat ada obat dan rumah sakit tanpa dokter, maka obat tersebut tidak berarti apa-apa bagi pasien yang membutuhkan, serta rumah sakit hanya manyun diam melihat kegaduhan pasien akibat efek penyakit yang dideritanya.

Ya. Seperti itulah analogi sederahananya. Tatkala berbagai solusi muncul ke permukaan, namun tiada seorang pun yang mengambilnya. Maka sia-sialah kehadiran solusi itu. Dan ketika semua orang menyetujui solusi tersebut, namun tak ada seorang pun yang melaksanakannya, maka tiada gunanya pula antusias itu.

Pertumbuhan zaman yang terus mengalami revolusi menuju dunia modernisasi, telah mencetak banyak produk-produk kasat mata berupa moral, ideologi, pola pikir dan gaya hidup yang beraneka ragam. Revolusi tersebut sedikit demi sedikit telah menghapus tradisi dan budaya masyarakat global yang lama dan usang.

Kemudian menimpahinya dengan tradisi dan budaya baru yang cenderung bersifat racun pembunuh masal. Degradasi moral, adalah salah satu produk revolusi abad ini yang terus mengalami peningkatan produksi hingga menjadi barang obral bahkan gratis untuk dinikmati semua orang manapun. Ia dikemas dengan pernak-pernik menarik yang membalut sekujur lapisan luarnya. Dua hiasan utamanya adalah over-freedom and materialistic (kebebasan tak terkendali dan gaya hidup materialistis).

Sebuah pernak-pernik cantik yang selaras dengan ambisi dan nafsu manusia pada umumnya. Tatkala dua hiasan tersebut telah menarik perhatian seseorang, maka ia akan mengambil dan menyimpannya.

Jika sudah begitu, berarti ia telah ikut mengonsumsi produk yang ada di dalam kemasan tersebut, yakni degradasi moral. Sungguh disayangkan, ketika obat telah tersedia dan rumah sakit sudah siap siaga, namun tiada seorangpun yang bersedia menjadi dokter.

Sebuah realita yang suram dan sangat memprihatinkan. Seperti yang penulis nyatakan sebelumnya, bahwa makalah dan buku tentang penyelesaian masalah degradasi moral telah menumpuk di atas meja. Dimana masing-masing tulisan merupakan buah hasil pemikiran para pakar intelektual di bidang sosial dan masyarakat.

Itu merupakan sepaket obat yang siap dikonsumsi oleh korban-korban degradasi moral. Tak hanya itu, banyak sekali lembaga, organisasi hingga gerakan tim kerja skala kecil turut mendukung pelaksanaan aktualisasi dari teori-teori tersebut menjadi realitas praktis di dalam kehidupan dinamis masyarakat modernis sekarang ini.

Mereka adalah sederet rumah sakit yang siap ambil posisi dalam memfasilitasi kegiatan pengobatan korban-korban degradasi moral. Namun sangat disayangkan, ketika semua itu sudah siap bekerja sesuai perannya masing-masing, justru tim dokter belum hadir dalam agenda kegiatan.

Ya, para pelaku yang menjadi pelaksana pengobatan tak menampakkan diri di hadapan para pasien. Sebagian dari mereka menyatakan dirinya belum siap, sebagian lagi hanya datang dan pergi ke rumah sakit tanpa peran, dan sebagian yang lain kabur menghilang entah kemana.

Wahai aktivis Islam, para pelaksana amar ma’ruf nahi munkar, para pejuang agama Allah, para penegak kebenaran, para pendidik umat awam, para penyampai al-Qur’an dan as-Sunnah, para penyebar eksistensi Islam dan kalian semuanya yang bergerak di rel yang sama, yaitu ad-Dakwatul Islamiyah.

Sungguh, kalian semua adalah tim dokter. Kalian adalah pahlawan yang ditunggu-tunggu kehadirannya. Masyarakat membutuhkan kalian. Ruang pasien telah sesak, sementara rumah sakit telah pesimis, karena menanti kalian yang tak kunjung datang. Sedang di mana kalian? Apa yang sedang kalian kerjakan saat ini? Apakah aktifitas kalian sekarang telah menghapuskan agenda kerja kalian sebagai seorang dokter?

Tegakah kalian yang memiliki potensi menyembuhkan para penderita degradasi moral, namun tidak menggunakan potensi tersebut untuk membantu mereka yang terjangkit wabah masal itu?

Wahai aktivis Islam, camkan dalam hati kalian; meskipun secara lahiriyah mereka tidak membutuhkan kalian bahkan sangat menolak kalian, namun sejatinya dalam hati nurani mereka benar-benar merintih tangis mengharapkan kehadiran kalian.

Jangan pernah melihat perbuatan mereka! Apa yang mereka lakukan adalah efek dari penyakit yang mereka derita. Sebagian mereka memahami, dan sebagian yang lain tidak. Meskipun mereka paham pun, tidak ada yang mengerti harus berbuat apa. Karena penyakit mereka bukan lagi sebatas gejala, namun telah mencapai stadium yang sangat tinggi.

Apakah kalian tega membiarkan hati nurani mereka terus menangis hingga berujung pada keputus-asaan dan pesimistis, dan hati nurani mereka ikut tergerogoti oleh penyakit tersebut sehingga tak ada lagi harapan bisa disembuhkan?

Jika kalian tega melakukan itu, sungguh kalian benar-benar menderita penyakit yang jauh lebih berat dari mereka. Tidak ada yang mampu menyembuhkan penyakit berat kalian tersebut, sungguh tidak ada. Hanya kalian sendiri yang mampu menyembuhkannya, karena kalianlah sang dokter itu.

Wahai aktivis Islam, janganlah duduk diam. Bergabunglah dengan para dokter-dokter lainnya. Dan jadilah pahlawan dalam memberantas degradasi moral yang kian hari terus melilit kehidupan masyarakat. Telah banyak organisasi-organisasi Islam yang siap memfasilitasi kalian untuk melaksanakan misi mulia tersebut.

Apakah kalian masih mengatakan belum siap? Wahai aktivis Islam, mungkinkah ketika seorang dokter dihadapkan kepada pasien yang harus ditangani secara segera dan darurat, lalu sang dokter mengatakan dirinya belum siap?

Masyarakat saat ini sedang terserang penyakit yang kronis dan harus segera ditangani. Sungguh, kalian sedang berada di tengah-tengah kondisi darurat. Masihkah kalian mengatakan belum siap? Lupakan ucapan itu dan mulailah bekerja! Lalu, apakah kalian juga mengatakan, bahwa kalian tidak mampu?

Sungguh, sebenarnya kalian sangat mampu. Hanya saja kalian belum mulai bekerja. Sehingga, kalian tidak mengetahui potensi dan kemampuan kalian. Bukankah tim dokter membutuhkan tim perawat? Dan tidakkah kalian yang merasa belum mampu untuk menjadi sang perawat itu? Kalian akan belajar dari sang dokter dan membantu mereka dengan segenap kemampuan kalian yang terbatas -menurut kalian-.

Sungguh, kontribusi kalian benar-benar sangat diharapkan. Semoga Allah Azza wa Jalla melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, serta membukakan mata hati kalian semua. Aamiin . . . Kami tunggu kehadiran kalian di medan jihad.

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Lihat Juga

Ada Dakwah di Dalam Film End Game?

Figure
Organization