Topic
Home / Berita / Analisa / Derita Muslim Afrika Tengah

Derita Muslim Afrika Tengah

Ilustrasi. (alazhar-alsharif.gov.eg)
Ilustrasi. (alazhar-alsharif.gov.eg)

dakwatuna.com – Konflik berbau SARA masih terus berkecamuk di Afrika Tengah. Kabar terakhir menyebutkan, ada 19.000 muslim yang kondisinya terancam di ibukota Bangui. Kondisi ini menunjukkan perseteruan antara milisi Seleka dengan milisi Anti-balaka belum juga berakhir, bahkan semakin meluas. Dan PBB maupun Uni Afrika sejauh ini dinilai telah gagal melerai perang sipil yang sudah memanas sejak bulan Desember 2013 lalu.

Berbicara tentang Afrika Tengah tentu tidak bisa dilepaskan dari eks penjajah negeri itu yakni Perancis. Kendati sudah angkat kaki dari Afrika Tengah sejak tahun 1960, Perancis masih memiliki pengaruh kuat di negeri termiskin ketujuh di dunia ini. Pasalnya banyak kekayaan alam yang tersimpan di dalamnya, seperti uranium, berlian, emas dan minyak bumi yang bisa diambil.

Di samping kepentingan SDA, Perancis juga ingin memiliki pengaruh secara politik. Inilah yang menyebabkan mengapa Afrika Tengah tetap sebagai negeri yang dijajah, yang hingga saat ini tidak dapat menentukan masa depannya sendiri. Indikasi itu terlihat ketika kudeta yang disokong oleh kubu oposisi terjadi (24/4/2013), Perancis gusar karena untuk pertama kalinya dalam sejarah ada tokoh muslim yang memimpin pemerintahan di Afrika Tengah.

Setidaknya ada 3 alasan oposisi yang sebagian besarnya adalah muslim melakukan kudeta dari Fransco Buzizi yang sudah menjabat sebagai presiden selama 10 tahun, pertama, ia mengingkari janjinya untuk menggabungkan milisi Seleka ke dalam Kementerian Pertahanan sesuai kesepakatan internasional, Libreville yang melibatkan Chad-Amerika-Perancis , kedua, sikapnya tidak adil dalam memperlakukan umat Islam, diantarnya tidak ada penghormatan terhadap dua hari raya besar Islam, ketiga, menghabiskan dana negara untuk pembangunan gereja dan mempersenjatai milisi Anti-balaka.

Intervensi Perancis

Kecaman keras datang dari dunia internasional paska larinya Buzizi ke Kamerun dan tampuk kekuasaan diambil alih oleh kubu Oposisi yang dipimpin oleh Michael Djotodia bernama asli Muhammad Dhohiya, (24/4/2013). Niat baik Djotodia untuk mengamankan pemerintahan hingga pemilu tahun 2016 sesuai kesepakatan Libreville ternyata tidak ditanggapi positif, yang terjadi justru aksi balas dendam hingga sampai tahap pembersihan etnis muslim.

Entah atas pertimbangan apa PBB kemudian memberikan izin kepada Perancis untuk menangani konflik di Afrika Tengah, hal ini mengundang kecurigaan bahwa misi yang dibawa bukan untuk mengembalikan stabilitas keamanan, namun lebih dalam rangka mengamankan kepentingan Paris terhadap tambang uranium miliknya. Hal ini yang membuat negara tetangganya Bulgaria mengurungkan niatnya membantu Perancis, karena dipahami bahwa negeri Napoleon itu kini sedang dilanda krisis ekonomi, sehingga berkepentingan untuk menyedot sumber kekayaan alam di Afrika Tengah.

Penuturan Ismail Said, salah seorang petinggi umat Islam di Afrika Tengah dalam wawancaranya dengan channel aljazeera mengatakan, pada tanggal 5 Desember 2013 tentara Perancis tiba di Afrika Tengah, kemudian melakukan sweeping senjata terhadap 7000 milisi Seleka. Praktis milisi Oposisi yang terdiri dari 70% muslim dan 30% Kristen ini tidak lagi memiliki senjata untuk mempertahankan diri. Namun yang mengejutkan, razia senjata tersebut tidak diterapkan Perancis terhadap milisi Anti-balaka.

Anti-balaka sendiri merupakan kelompok para penyamun yang identik dengan senjata tajam berupa parang, milisinya diperkuat pula dengan tentara loyalis Buzizi. Mereka memburu kaum muslimin dengan dalih balas dendam, serta merampas harta kekayaan para saudagar muslim di Afrika Tengah

Satu hari paska kehadiran tentara Perancis, meletus pembantaian besar-besaran terhadap kaum muslimin yang masih berlanjut hingga sekarang. Ada beberapa alasan mengapa perang atas nama agama ini sengaja dihembuskan, pertama, mayoritas muslim di Afrika Tengah menguasai pasar ekonomi, mereka adalah para saudagar, termasuk diantarnya pemilik peternakan sapi yang jumlahnya mencapai 60 juta ekor. Kondisi ini membuat kelompok lain iri, bahkan pemerintahan di masa Bouzizi pernah merampas kekayaan umat Islam di tahun 2010 yang kemudian berujung bentrok dan menyebabkan tewasnya ratusan warga muslim.

Kedua, bagi Perancis, Islam yang menguasai pemerintahan itu dinilai membahayakan, sehingga perlu segera dibungkam. Cara yang sama diterapkan Perancis di negara eks jajahannya di Mali, Paris mengirimkan tentaranya dalam jumlah besar untuk menekan perlawanan dari kelompok Islam di sana. Ketiga, kalau sekedar menjual isu kudeta itu hal yang lumrah, karena sejak merdekanya dari Perancis, negeri yang tidak memiliki lautan ini berulang kali melewati drama kudeta. Dengan isu agama ada target wilayah Afrika Tengah dapat dipecah menjadi dua; antara wilayah muslim dan non muslim.

Keempat, sangat mudah bagi Perancis dalam memanfaatkan milisi Anti-balaka. Di samping mereka non muslim, mereka tidak memiliki muatan politis, karena berlatar belakang penyamun dan hanya ingin merampas kekayaan yang dimiliki umat Islam. Dampaknya di samping banyaknya muslim yang terpaksa mengungsi ke negara tetangga, roda perekonomian pun lumpuh total, rakyat Afrika Tengah kini bahkan terancam kelaparan .

Mencari Solusi Bersama

Saat ini sudah ribuan warga muslim yang tewas, 25% dari 4,6 juta total penduduk Afrika Tengah terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga. Perancis memang sudah mendatangkan 2.000 personilnya, Uni Afrika mengerahkan 6.000 personil, namun yang menjadi pertanyaan mengapa pasukan sebesar itu tidak sanggup menyudahi pertikaian? Terakhir Uni Eropa akan mengirim pasukan sebanyak 1.000 personil, padahal dalam prakteknya terlihat jelas, bahwa banyaknya personel tidak memberikan solusi.

Pertama, yang terjadi di lapangan adalah pembiaran pembantaian, karena tidak mungkin ibukota harus bersih dari umat Islam kecuali karena ada pembiaran dari tentara gabungan Internasional terhadap milisi Anti-balaka untuk melakukan pembantaian. Sehingga umat Islam di sana hanya dihadapkan ke dalam dua pilihan; keluar dari Afrika Tengah atau dibunuh oleh milisi Anti-balaka.

Kedua, PBB selaku pihak yang netral seharusnya segera mempertemukan perwakilan dari kedua belah pihak yang bertikai di atas satu meja perundingan. Tujuannya agar terwujud sebuah kesepakatan bersama, mencapai perdamaian dan saling menghormati antar umat beragama, termasuk di dalamnya menentukan masa depan Afrika Tengah.

Ketiga, apapun alasannya, sekalipun minoritas, muslim di Afrika Tengah merupakan saudara mereka. Islam sudah hadir di wilayah itu sejak abad 10 H. dan memiliki andil yang cukup besar dalam memperjuangkan kemerdekaan Afrika Tengah dari tangan penjajah Perancis. Warga Afrika Tengah harus sadar, bahwa kini mereka tengah di adu domba dan berada di dalam pusaran kepentingan pihak yang ingin memecah belah negara mereka. Wallahua’lam bishowab.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Peneliti di Pusat Studi Islam Wasathiyah dan Aktivis Palestina di LSM Asia-Pacific Community For Palestine

Lihat Juga

Imigran Muslim, Akankah Mengubah Wajah Barat di Masa Depan?

Figure
Organization