Topic
Home / Narasi Islam / Sosial / Selera dan Media Massa

Selera dan Media Massa

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Selera sinonimnya adalah kehendak, citarasa, kegemaran atau kesukaan. Selera setiap orang selalu berbeda. Sulit ditemukan sekumpulan orang yang memiliki selera yang sama. Bisa saja, mereka memiliki selera yang sama pada satu hal tapi berbeda dalam hal lain. Contohnya, kumpulkanlah beberapa orang penimum kopi. Pasti mereka tidak sama dalam meracik kopi itu. Ada orang yang suka manis, ada pula yang suka rasa pahit.

Dalam satu keluarga saja, masing-masing anggota keluarga memiliki selera yang berbeda-beda. Contohnya selera makan. Andai kata, dalam sebuah keluarga terdapat 5 orang anggota keluarga. Ayah, ibu dan tiga orang anak. Tidak semua anggota keluarga itu suka gulai ikan. Ada seorang anak yang suka ayam goreng. Akhirnya, si ibu harus membuat gulai ikan dan menggoreng ayam.

Cerita tentang ibu rumah tangga yang harus memasak beberapa jenis makanan sudah menjadi cerita biasa. Tidak ada yang bisa disalahkan dalam kasus ini. Si Ibu tidak bisa mengajukan keberatan kepada seorang anggota keluarga yang punya selera makan berbeda.

Selera dan Budaya

Selera ini dipengaruhi oleh budaya yang melingkupi seseorang. Budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, hirarki dan agama. Budaya juga berkenaan dengan sifat-sifat dari objek-objek materi yang memainkan peran penting dalam kehidupan sehari-hari. Dalam suatu masyarakat, kita mengenal subkultur. Istilah ini menunjukkan sekelompok orang yang memiliki corak kebudayaan berbeda dengan kelompok masyarakat lainnya.

Perbedaan budaya menyebabkan masing-masing orang memliki  merespon sesuatu yang hadir kepadanya dengan cara yang berbeda. Hal itu disebabkan sistem nilai yang melekat dalam kebudayaan itu. Sistem nilai itu membuat anggota masyarakat berbeda menilai sesuatu objek. Bahkan, perilakunya akan berbeda antara satu subkultur dengan subkultur yang lainnya. Contoh; seorang Melayu Muslim akan menolak jika disuguhkan semangkuk sup daging babi. Bahkan mungkin saja bisa sampai muntah-muntah. Sebaliknya, seorang Batak Kristen sangat menyukai makanan itu.

Tidak sebatas makanan, menilai suatu yang indah dipandang atau enak didengar juga berbeda. Contohnya, memaknai lukisan di badan (tatoo). Seorang muslim, menilai tatoo sebagai gambar yang jelek karena membuat tatoo dilarang dalam ajaran Islam. Sebaliknya, pada kebudayaan tertentu memandang tatoo sebagai gambar yang elok. Penyebabnya nilai yang mereka anut berbeda. Akibatnya, nilai suatu barang berbeda satu dengan lainnya.

Dalam tinjauan kebudayaan, selera itu tidak ada yang benar atau salah. Selera itu sangat individualis dan melekat secara inheren dalam diri seorang manusia. Pada kenyataannya, suatu subkultur berusaha mendominasi subkultur yang lain. Proses dominasi ini dilakukan dengan menanamkan sistem nilai yang mengatur pola kehidupan. Perubahan sistem nilai ini pada akhirnya akan merubah corak hidup anggota subkultur tersebut.

Contohnya begini. Suatu subkultur menilai seruling sebagai alat musik yang tidak boleh dipakai dalam kehidupan. Penyebabnya, nilai dianut melarang hal itu. Sistem nilai ini kemudian kalah dengan sistem nilai subkultur yang lain. Akibatnya, anggota subkultur yang kalah ini membolehkan bermain seruling.

Sistem nilai ini tidak sebatas mengatur boleh atau dilarang. Sistem nilai ini juga menentukan tinggi rendahnya suatu subkultur dengan subkultur lainnya. Contohnya; minum kopi di warung kopi Aceh pinggir jalan tentu berbeda minum kopi di Starbuck. Orang yang minum kopi di Starbuck akan merasa lebih terhormat dibandingkan minum kopi di kedai Aceh pinggir jalan.

Dalam buku Political Branding and Public Relations, Silih Agung Wasesa menulis blind test yang dilakukan untuk menguji brand Cocacola dan Pepsi. Sejumlah orang disajikan Cocacola dan Pepsi dalam gelas tanpa merek. Konsumen mengaku lebih menyukai Pepsi. Tetapi  begitu gelasnya diganti dengan gelas pakai merek, konsumen merasa Cocacola lebih enak. Ini menunjukkan Cocacola memiliki nilai psikologis lebih kuat dibanding Pepsi.

Peran Media Massa

            Proses penguasaan subkultur terhadap subkultur lain terjadi dalam dua bentuk. Pertama; invasi (perang). Suatu subkultur yang kalah perang biasanya dipaksa menganut sistem nilai yang dipakai subkultur yang menang. Ketika sistem nilai itu berganti, maka terjadilah proses perubahan budaya. Pola hidup yang bertentangan dengan sistem nilai kelompok berkuasa akan diberangus.

Kedua; proses hegemoni. Cara ini lebih lembut dibandingkan cara pertama.  Istilah hegemoni dicetuskan oleh Antonio Gramsci. Istilah ini menunjuk pada proses penguasaan satu kelas terhadap kelas lain dengan cara mengkerangkakan pemikiran, salah satunya merobah sistem nilai yang dianut. Hegemoni melibatkan media massa sebagai sarana penyampai pesan. Dalam literatur politik Islam, hegemoni bisa disinonimkan dengan ghawzul fikri (perang pemikiran)

Caranya; subkultur itu menguasai seluruh media media massa. Pesan yang dimuat dalam media massa itu disetting untuk merubah sistem nilai. Anggota subkultur itu tidak punya alternatif memilih media massa yang lain. Lambat laun  anggota subkultur itu akan merubah sistem nilai yang dijadikan pegangan berprilaku. Ujung-ujungnya, pola hidup masyarakat subkultur itu berubah.

Dalam beberapa kasus, terjadi akulturasi budaya (penggabungan dua budaya). Proses akulturasi ini menciptakan sebuah kebudayaan baru dan berbeda dengan kebudayaan dua subkultur yang berakulturasi itu. Contoh; Islam mewajibkan perempuan memakai kerudung hingga menutupi dada. Namun kebudayaan lain, seperti pakaian ketat,  masuk kedalam masyarakat Muslim. Akibatnya, lahirlah pola berhijab yang baru. Kepala tertutup tetapi bagian dada dan tubuh lainnya tetap menonjol karena dibalut pakaian ketat.

Selintas hal ini biasa saja dan tidak menimbulkan dampak apapun. Namun di sisi lain, hal ini adalah bentuk penguasaan satu subkultur terhadap subkultur lainnya. Kondisi terparah adalah ketika subkultur itu memandang subkultur lain lebih baik dari kebudayaanya. Pada titik inilah, masyarakat subkultur itu akan mengikuti apa saja kemauan dari subkultur  yang dinilainya hebat itu.

Kondisi inilah yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini. Orang-orang Indonesia mulai meninggalkan kebudayaannya. Dalam kebudayaan Melayu misalnya; saat pesta para tamu dijamu di meja makan yang disediakan. Beragam menu khas Melayu disajikan. Tapi kini itu telah berubah menjadi bentuk prasmanan. Jenis hiburan yang sajikan biasanya lagu Melayu yang diiringi tarian Serampang Dua Belas. Penyanyi dan penari memakai pakaian khas Melayu. Kini hiburan musik disajikan oleh grup keyboard yang melantunkan lagu Barat atau Dangutan. Tariannya berganti jadi joget Caisar. Penyanyi dan penarinya pun tidak lagi memakai baju teluk belanga, tapi memakai pakaian minim dan ketat.

Sayangnya, orang Melayu menilainya tayangan murahan itu sebagai sesuatu yang indah dan hebat dibanding Serampang Dua Belas. Pasalnya, penyanyi dan penari seronok seperti itulah yang mereka tonton di TV setiap hari. Mereka menilai apapun yang hadir di TV sebagai suatu yang hebat dan berkualitas. Maka, selera pun berubah. Sampai kapan ini terjadi? Entahlah…

Redaktur: Pirman

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumnus Pascasarjana IAIN SU. Dosen STIK "Pembangunan" Medan. Ayah tiga anak ini merupakan seorang pekerja media massa. Semasa kuliah bekerja sebagai reporter freelance harian Waspada (Medan). Setamat kuliah bekerja sebagai reporter di Radio Prapanca Trijaya Network (Medan), hingga menjabat Kordinator Liputan. Saat ini bekerja sebagai producer/ annoucher Radio Sindo Trijaya Medan (MNC Network). Selain bekerja di radio, sejak 2008 mengajar di STIK Pembangunan Medan.

Lihat Juga

Menjadi Calon Ibu Peradaban yang Bijak dalam Penggunaan Media Sosial

Figure
Organization