Topic
Home / Berita / Internasional / Afrika / Apa di Balik Ethnic Cleansing di Afrika Tengah?

Apa di Balik Ethnic Cleansing di Afrika Tengah?

Peta Afrika Tengah (media.web.britannica.com)
Peta Afrika Tengah (media.web.britannica.com)

dakwatuna.com – Bangui. Afrika Tengah adalah sebuah republik yang berbatasan dengan Chad di sebelah utara, Sudan di sebelah timur laut, Kongo di sebelah selatan, dan Kamerun di sebelah barat. Afrika Tengah memiliki luas wilayah 620 ribu km, dan berpenduduk 4.4 juta jiwa. Persentase warga Muslimnya antara 20-25%. Mayoritas warga Muslim berdomisili di bagaian utara yang berbatasan dengan Sudan dan Chad. Adapun warga Kristen mencapai 45-50%.

Afrika Tengah adalah jajahan Perancis dari tahun 1889 hingga tahun 1959. Walaupun merdeka, Perancis tetap menganggap wilayah-wilayah jajahannya sebagai wilayah Perancis. Tidak ada negara yang benar-benar merdeka.

Sejak merdeka pada tahun 1959, Afrika Tengah dipimpin oleh pemimpin Kristen. Hingga presiden Francois Bozize yang berkuasa sejak tahun tanggal 15/5/2003 setelah melakukan kudeta militer atas presiden Ange Felix Patasse. Dalam melakukan kudeta, Bozize mengandalkan kekuatan yang berasal dari berbagai ras dan wilayah. Termasuk juga dua suku muslim yang berada di bagian utara yang berdekatan dengan Sudan dan Chad.

Dalam berkuasa, Bozize menggunakan politik “divide et impera” (politik pecah belah), termasuk kepada dua suku muslim yang membantunya dan cukup mempunyai posisi dalam pemerintahan Afrika Tengah, yaitu suku Ronga dan Qola. Sehingga selalu terjadi persaingan dan pertikaian antara kedua suku ini yang mengakibatkan puluhan ribu korban meninggal. Pertikaian itu menjadi kesempatan Bozize untuk tidak memberikan hak-hak mereka, termasuk pembangunan, kekuasaan, dan pembagian hasil alam.

Setelah banyak korban berjatuhan, kedua suku ini akhirnya bisa bersatu, lalu membentuk dua kelompok perlawanan. Mereka melakukan perlawanan kepada pemerintah Bozize yang membuat mereka pecah dan memperlakukan mereka secara diskriminatif dalam politik dan ekonomi. Akhirnya tercapai perdamaian, pemerintah menyatakan siap memenuhi tuntutan-tuntutan mereka.

Namun Bozize tidak menepati janjinya. Pada tahun 2010 terjadi pembantaian terhadap warga Muslim. Ratusan warga Muslim terbunuh, hingga mengharuskan pemerintah Chad untuk mengutus menteri pertahanan untuk menghentikan aksi pembantaian terhadap warga Muslim tersebut.

Pada tanggal 11 Januari 2013, terjadi kesepakatan antara Bozize dan pihak oposisi yang tidak hanya berisi kalangan Muslim saja. Di antara kesepatakan tersebut adalah memberikan jabatan perdana menteri kepada Nicolas Changaa yang merupakan pemimpin partai oposisi terbesar di Afrika Tengah; pemerintahan akan melibatkan semua elemen rakyat hingga 12 bulan; mengadakan pemilu legislatif dan presiden pada tahun 2016; dan Bozize tidak diperkenankan mencalonkan diri lagi dalam pemilu tersebut. Dalam perjanjian tersebut, disepakati juga bahwa Islam akan menjadi agama yang diposisikan sama dengan agama yang lain dalam negara; dan tidak melakukan pembantaian terhadap warga Muslim. Dalam perundingan itu, pihak oposisi diwakili oleh Michel Djotodia yang merupakan seorang Muslim berasal dari suku bagian utara Afrika Tengah.

Namun ternyata pemerintah tidak memenuhi kesepakatan tersebut sehingga terjadilah pertempuran. Dalam pertempuran tersebut, pihak oposisi bersatu dalam sebuah koalisi bernama “Seleka” yang berarti kesepakatan, yaitu kesepakatan untuk sama-sama menggulingkan pemerintah pusat di Bangui.

Pada bulan Maret 2013, Seleka yang kebanyakan berasal dari warga Muslim berhasil menggulingkan Bozize. Pada tanggal 24 Maret, Michel Djotodia diangkat menjadi presiden sementara hingga tanggal 18 Agustus. Djotodia membentuk pemerintahan yang terdiri dari 28 menteri, 14 di antaranya berasal dari kalangan Muslim.

Melihat perkembangan ini, Barat merasa terancam. Kekayaan negara yang biasanya hanya dipegang kalangan Kristen untuk kepentingan kristenisasi, kini berpindah tangan kepada kalangan Muslim. Padahal Afrika Tengah kaya dengan sumber air, berlian, emas, minyak, dan Uranium. Oleh karena itu Perancis langsung bergerak dan mendapatkan wewenang dari PBB untuk melakukan intervensi.

Intervensi Perancis dilakukan dengan cara penuh makar. Pertama, dibentuknya organisasi Anti Balaka yang beranggotakan warga Kristen dan pengikut Bozize. Lalu dengan persetujuan pihak Perancis, Kamerun, dan Sudan Selatan (Kristen), pada tanggal 5 Desember 2013 pagi, dilakukan pembantaian di wilayah Boeing hanya untuk memancing pasukan Djotodia. Ketika pasukannya datang ke wilayah tersebut, milisi-milisi dan bekas pasukan Bozize menyerang istana presiden, radio, dan televisi, mengumumkan telah melakukan kudeta militer dan membentuk pemerintahan yang baru. Perancis  langsung mengakui pemerintahan baru ini.

Kemudian pada tanggal 10 Januari 2014, Perancis dan pasukan Uni Afrika melakukan pelucutan senjata pasukan Seleka yang berjumlah 7 ribu personil. Mereka ditempatkan dalam barak-barak khusus. Sedangkan Djotodia diasingkan ke negara Benin. Oleh karena itu, otomatis warga Muslim tidak lagi mempunyai kekuatan, sehingga ketika milisi-milisi Kristen melakukan aksi balas dendam dan pembantaian, mereka tidak bisa membela diri. Seleka yang diharapkan bisa melindungi telah dilucuti. Dengan demikian Perancis bisa dikatakan terlibat dalam aksi pembantaian warga Muslim tersebut. (msa/dakwatuna/aljazeera)

Redaktur: M Sofwan

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Ketua Studi Informasi Alam Islami (SINAI) periode 2000-2003, Kairo-Mesir

Lihat Juga

Rusia: Turki Maju sejak Erdogan Memimpin

Figure
Organization