Topic
Home / Konsultasi / Konsultasi Agama / Puasa Qadha Untuk Mayit

Puasa Qadha Untuk Mayit

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
ilustrasi (inet)
ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Assalamu ‘alaikum wr wb. Apakah seorang yang sudah meninggal namun masih memiliki utang puasa, wajib dibayar oleh ahli warisnya? (Dari 082346913xxx)

Jawaban:

Wa ‘alaikum salam wa rahmatullah wa barakatuh. Bismillah wal hamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa man waalah, wa ba’d:

Kepada Sdr. Penanya, semoga Allah merahmati Anda….

Masalah ini, diperselisihkan para imam kaum muslimin. Mayoritas mereka mengatakan tidak wajib atas keluarga si mayit (ahli warisnya) berpuasa atas nama di mayit, tetapi yang wajib bagi mereka adalah membayarkan fidyahnya. Sebagian lain mengatakan boleh bahkan sunah.

Pihak Yang Melarang

Berikut ini keterangan Khadimus Sunnah, Asy-Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah dalam kitab Fiqhus Sunnah:

أجمع العلماء على أن من مات – وعليه فوائت من الصلاة – فإن وليه لا يصلي عنه، هو ولا غيره، وكذلك من عجز عن الصيام لا يصوم عنه أحد أثناء حياته. فإن مات وعليه صيام وكان قد تمكن من صيامه قبل موته فقد اختلف الفقهاء في حكمه.

فذهب جمهور العلماء، منهم أبو حنيفة، ومالك، والمشهور عن الشافعي إلى أن وليه لا يصوم عنه ويطعم عنه مدا، عن كل يوم

Para ulama telah ijma’ (sepakat) bahwasanya orang yang wafat – dan dia memiliki kewajiban shalat yang telah luput darinya- maka baik wali atau orang lain tidak boleh melakukan shalat atas namanya untuk mengganti yang luput itu. Begitu pula orang yang tidak mampu berpuasa, tidak boleh seseorang berpuasa untuknya ketika dia masih hidup. Jika dia sudah wafat, dan dia masih ada beban puasa sebelum wafatnya, maka para ahli fiqih berbeda pendapat tentang hukumnya.

Mayoritas ulama berpendapat, di antaranya Abu Hanifah, Malik, dan yang masyhur (terkenal) dari Asy-Syafi’i, bahwasanya wali orang tersebut tidaklah berpuasa atasnya, tetapi hanyalah memberikan makan setiap hari sebanyak satu mud, sebanyak jumlah hari yang dia tinggalkan itu. (Fiqhus Sunnah, 1/471)

Pihak Yang Membolehkan

Namun, ulama lain berpendapat bolehnya keluarga si mayit berpuasa atas namanya. Mereka berdalil sesuai hadits berikut ini.

Dari ’Aisyah radhiallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صِيَامٌ صَامَ عَنْهُ وَلِيُّهُ

Barang siapa yang wafat sedangkan dia masih mempunyai kewajiban berpuasa, maka hendaknya walinya berpuasa atas namanya. (HR. Bukhari No.1952, Muslim, 153/1147)

Hadits ini begitu tegas dan jelas, bahwa justru Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan keluarga si mayit berpuasa atas namanya. Ini menunjukkan kuatnya pendapat yang membolehkannya, bahkan menganjurkannya. Inilah pendapat yang mukhtar (pilihan) dari kalangan Syafi’iyah (pengikut Imam Asy-Syafi’i), walau yang masyhur (terkenal) dari Imam Asy-Syafi’inya adalah tidak boleh, sebagaimana penjelasan sebelumnya.

Syaikh Sayyid Sabiq rahimahullah menerangkan:

والمذهب المختار عند الشافعية: أنه يستحب لوليه أن يصوم عنه، ويبرأ به الميت، ولا يحتاج إلى طعام عنه. والمراد بالولي، القريب، سواء كان عصبة، أو وارثا، أو غيرهما. ولو صام أجنبي عنه، صح، إن كان بإذن الولي، وإلا فإنه لا يصح.

Pendapat yang dipilih menurut kalangan Syafi’iyah adalah bahwa menjadi hal yang disukai bagi wali-nya itu untuk berpuasa atas namanya, yang dengan itu mayit menjadi terbebas dari kewajibannya dan tidak perlu lagi memberikan makanan (fidyah).

Yang dimaksud dengan wali adalah kerabat dekatnya, baik sebagai ‘ashabah, atau ahli waris yang biasa, atau selain keduanya. Bahkan seandainya orang lain yang melakukan, itu juga sah jika mendapatkan izin dari walinya, jika tidak mendapatkan izin maka tidak sah. (Ibid)

Imam An-Nawawi Rahimahullah merinci pendapat Syafi’iyah sebagai berikut:

اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيمَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ صَوْمٌ وَاجِبٌ مِنْ رَمَضَانَ أَوْ قَضَاءٌ أَوْ نَذْرٌ أَوْ غَيْرُهُ هَلْ يُقْضَى عَنْهُ وَلِلشَّافِعِيِّ فِي الْمَسْأَلَةِ قَوْلَانِ مَشْهُورَانِ أَشْهَرُهُمَا لَا يُصَامُ عَنْهُ وَلَا يَصِحُّ عَنْ مَيِّتٍ صَوْمٌ أَصْلًا وَالثَّانِي يُسْتَحَبُّ لِوَلِيِّهِ أَنْ يَصُومَ عَنْهُ وَيَصِحُّ صَوْمُهُ عَنْهُ وَيَبْرَأُ بِهِ الْمَيِّتُ وَلَا يَحْتَاجُ إِلَى إِطْعَامٍ عَنْهُ

Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang wafat dan masih ada kewajiban puasa baginya, baik Ramadhan, qadha, nadzar, atau selainnya. Apakah boleh diqadhakan untuknya? Dalam masalah ini, ada dua pendapat terkenal dari Asy-Syafi’i, yang paling masyhur adalah Pertama, dia tidak boleh berpuasa atas nama si mayit, dan itu sama sekali tidak sah atas nama mayit. Kedua, disunahkan bagi walinya itu untuk berpuasa atas namanya, yang dengan itu mayit menjadi terbebas dari kewajibannya dan tidak perlu lagi memberikan makanan. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/25)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah menerangkan, bahwa ini juga merupakan pendapat para Ahli Hadits, dan Imam Asy-Syafi’i dalam Qaul Qadim (pendapat lama), sebagaimana Al Baihaqi menceritakan dalam Al Ma’rifah. Ini juga pendapat Abu Tsaur dan para ahli hadits golongan Syafi’iyah, dan Al Baihaqi menceritakan dalam Al Khilafiyat bahwa masalah ini telah pasti dari Ahli Hadits bahwa mereka tidak ada beda pendapat tentang shahihnya hadits tersebut dan kewajiban mengamalkannya. (Fathul Bari, 4/193)

Koreksi Pihak Yang Melarang Untuk Pihak Yang Membolehkan

Namun…, pihak yang melarang yakni mayoritas ulama, menjelaskan bahwa “puasa” yang dimaksud dalam hadits di atas adalah puasa nadzar, bukan puasa Ramadhan. Artinya, jika ada orang yang bernadzar dengan puasa lalu dia wafat sebelum menjalankan nadzarnya itu, maka walinya hendak berpuasa atas namanya. Itulah maksud dari hadits tersebut, dan ini sekaligus koreksi buat kalangan yang membolehkannya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan:

وَقَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْجَدِيدِ وَمَالِكٌ وَأَبُو حَنِيفَةَ لَا يُصَامُ عَنِ الْمَيِّتِ وَقَالَ اللَّيْثُ وَأَحْمَدُ وَإِسْحَاقُ وَأَبُو عُبَيْدٍ لَا يُصَامُ عَنْهُ إِلَّا النَّذْرُ

Berkata Imam Asy-Syafi’i dalam Al-Jadid (pendapat baru), Malik, dan Abu Hanifah, bahwa tidak ada puasa untuk mayit. Berkata Al-Laits, Ahmad, Ishaq, Abu ‘Ubaid, tidak ada puasa bagi mayit kecuali puasa nadzar. (Ibid)

 

Tanggapan Pihak Yang Membolehkan

Pihak yang membolehkan memiliki dalil lain, dan dalil ini sangat kuat menunjukkan kebolehan tersebut, dan menunjukkan puasa Ramadhan, bukan cuma puasa nadzar.

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma mengatakan:

جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ شَهْرٍ، أَفَأَقْضِيهِ عَنْهَا؟ قَالَ: ” نَعَمْ، قَالَ: فَدَيْنُ اللَّهِ أَحَقُّ أَنْ يُقْضَى “

Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dia berkata: “Wahai Rasulullah sesungguhnya ibuku wafat, dan dia masih ada kewajiban satu bulan berpuasa, apakah saya mesti mengqadhakan untuknya?” Beliau bersabda: “Ya.” Lalu bersabda: “Utang kepada Allah lebih pantas lagi untuk ditunaikan.” (HR. Bukhari No. 1953, Muslim, 154/1148)

Menurut pihak yang membolehkan, hadits in begitu jelas membolehkannya, bahkan menganjurkannya. Puasa yang dimaksud pun pastilah puasa Ramadhan, hal itu ditunjukkan oleh kalimat: wa ‘alaiha shaumu syahr – dia masih ada kewajiban satu bulan berpuasa. Lagi pula tidak lazim dan tidak biasa nadzar puasa hingga satu bulan, maka maksud “satu bulan” di sini adalah puasa Ramadhan.

Oleh karenanya, dengan penuh keyakinan Imam An-Nawawi Rahimahullah mengatakan tentang kebolehannya:

وَهَذَا الْقَوْلُ هُوَ الصَّحِيحُ الْمُخْتَارُ الَّذِي نَعْتَقِدُهُ وَهُوَ الَّذِي صَحَّحَهُ مُحَقِّقُو أَصْحَابِنَا الْجَامِعُونَ بَيْنَ الْفِقْهِ وَالْحَدِيثِ لِهَذِهِ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الصَّرِيحَةِ

Inilah pendapat yang shahih lagi terpilih yang kami meyakininya, dan telah dibenarkan oleh para peneliti dari kalangan sahabat-sahabat kami (Syafi’iyah), yang telah melakukan penelitian terhadap hadits yang shahih dan begitu jelas ini, baik ahli fiqih dan ahli haditsnya. (Al-Minhaj, 8/25)

 

Puasa Nadzar si Mayit Juga Boleh Dilakukan oleh Keluarganya

Bab ini pun juga benar adanya. Bahwa boleh dan sah bagi seorang anggota keluarga yang berpuasa untuk puasa yang dinadzarkan si mayit dan dia belum sempat menjalankannya. Hal ini dengan jelas diperintahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits berikut.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, katanya:

 جَاءَتِ امْرَأَةٌ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ، إِنَّ أُمِّي مَاتَتْ وَعَلَيْهَا صَوْمُ نَذْرٍ، أَفَأَصُومُ عَنْهَا؟ قَالَ: «أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ فَقَضَيْتِيهِ، أَكَانَ يُؤَدِّي ذَلِكِ عَنْهَا؟» قَالَتْ: نَعَمْ، قَالَ: «فَصُومِي عَنْ أُمِّكِ»

Datang seorang wanita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dia berkata: “Wahai Rasulullah, ibuku wafat dan dia ada kewajiban puasa nadzar, apakah aku boleh berpuasa untuknya?” Nabi menjawab: “Apa pendapatmu jika ibumu memiliki utang dan kamu membayarnya, apakah itu bisa melunaskan kewajibannya?” Dia menjawab: “Ya.” Nabi bersabda: “Maka berpuasalah untuk ibumu.” (HR. Muslim, 156/1148)

Demikian. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa shahbihi ajmain. Wallahu a’lam.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Lahir di Jakarta, Juni 1978. Alumni S1 Sastra Arab UI Depok (1996 - 2000). Pengajar di Bimbingan Konsultasi Belajar Nurul Fikri sejak tahun 1999, dan seorang muballigh. Juga pengisi majelis ta'lim di beberapa masjid, dan perkantoran. Pernah juga tugas dakwah di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat, selama dua tahun. Tinggal di Depok, Jawa Barat.

Lihat Juga

Yakesma Babel Ajak Anak Yatim dan Dhuafa Shopping Bareng

Figure
Organization