Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Tuan tak Lagi Mendengar

Tuan tak Lagi Mendengar

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – Sebuah mobil sedan memasuki halaman pondokan Tuan. Beberapa laki–laki turun dengan menenteng barang bawaan yang cukup banyak. Entah apa isinya. Seperti tumpukan buku–buku yang tebal. Aku tidak tahu. Pakaian mereka rapi. Celana hitam, jas hitam, kemeja putih lengkap dengan dasi. Tuan tergopoh–gopoh menyambut tamu–tamunya. Menyalami mereka dengan hormat satu persatu dan mempersilakan mereka masuk. Sepertinya mereka sudah saling kenal sebelumnya. Mereka berbicara di ruang tamu dengan mimik muka serius. Berbisik–bisik hingga aku tidak dapat mendengar apa yang mereka bicarakan.

Semenjak kedatangan tamu bermobil sedan itu, Tuan mulai sibuk. Tamu–tamu yang lain sering datang. Pakaian mereka sama. Selalu rapi, bersih dan parlente. Tuan pun menjadi sering keluar rumah. Ataukah sebenarnya mereka datang untuk menjemput Tuan? Iya, mungkin begitu. Setiap kali pergi bersama mereka, Tuan menanggalkan pakaian kebesaran yang menjadi ciri khasnya. Sarung, baju koko dan peci. Tuan berpakaian sama seperti orang–orang yang menjemputnya. Aku akui, Tuan tampak gagah memakai pakaian itu. Ditambah lagi dengan sepatu hitam yang mengkilat. Tuan terlihat berwibawa. Tapi … entahlah, aku lebih menyukai Tuan dengan pakaian seperti biasanya. Tuan tampak begitu santun, lembut, dan bersahaja. Siapa pun yang melihat Tuan akan menjadi segan. Kharisma Tuan sebagai “seorang yang dituakan” di daerah ini  terpancar dari air mukanya yang teduh menyejukkan.

“Tuan … adzan sudah berkumandang. Hari ini Tuan mendapatkan giliran mengisi ceramah di masjid Al Anwar,” kataku pada Tuan.

“Aku capek … kamu tidak lihat apa aku baru saja masuk rumah. Sekali–sekali biar Ustadz Maksum yang mengisi ceramah,” jawab Tuan. ”Tadi aku sudah telpon ta’mir masjidnya,” lanjut Tuan.

Aku diam mendengar jawaban Tuan. Mungkin Tuan memang sedang kelelahan dan butuh segera istirahat, pikirku menghibur diri. Tapi bukankah waktu shalat Maghrib tidak lama? Kalau Tuan tidur sekarang, bisa kehabisan waktu. Aku harus mengingatkan Tuan.

“Tuan … apa tidak sebaiknya shalat Maghrib dulu sebelum beristirahat? Nanti keburu habis waktu maghribnya,” kataku sesopan mungkin. Seperti biasanya.

“Ah … cerewet sekali kau ini ….” jawab Tuan dengan sedikit marah. Tuan segera beranjak mengambil air wudhu dan menunaikan shalat Maghrib. Selepas salam, Tuan segera menuju ke kamarnya dan tidur.

Aku merenung di sisi ranjang Tuan. Dulu Tuan tidak seperti ini. Tuan akan tersenyum senang jika aku ingatkan waktunya shalat telah tiba.

Suatu kali ingin tahu Tuan pergi ke mana, dan apa yang Tuan lakukan. Ternyata Tuan menuju ke balai kota. Setiba di sana, suasana sangat ramai. Kerumunan orang berjejal. Foto Tuan hampir memenuhi setiap sudut balai kota. Aku semakin heran, ada apa sebenarnya dengan Tuan?

Tuan keluar dari mobilnya. Orang–orang histeris meneriakkan nama Tuan. Tuan membalas mereka dengan melambaikan tangan seraya menaiki panggung yang sudah tertata rapi saat Tuan datang. Lengkap dengan podium dan pengeras suara. Tuan berbicara dari atas panggung. Suaranya keras menggema, mengalahkan suara ratusan orang di bawahnya. Jauh lebih keras dari pengeras suara di masjid Al Anwar atau di mushalla Al Ikhlas ketika Tuan mengisi ceramah seusai shalat. Entah apa yang Tuan bicarakan, aku tidak mengerti. Tuan berbicara lantang dan berapi–api. Tidak lembut seperti saat mengisi khutbah Jum’at. Saat Tuan selesai berbicara, orang–orang itu berteriak– teriak, “Hidup Tuan …!!  Hidup Tuan …!! Hidup Tuan …!!”

Dulu, sebelum tamu bermobil sedan itu datang, Tuan sangat menyayangi aku. Tuan menempatkan aku dalam sebuah kamar yang nyaman dan sejuk. Tidak terlalu besar, tapi lebih dari cukup untuk ku tinggali. Aku kerasan berada di kamar itu. Ayat–ayat-Nya bertaburan menghiasi dinding yang putih bersih.

Tugasku setiap hari mengingatkan Tuan untuk segera ke masjid ketika adzan memanggil, mengingatkan Tuan jadwal ceramahnya yang padat, hampir ada setiap malam. Aku bangunkan Tuan pada sepertiga malam dan menemaninya dengan setia hingga subuh tiba.

Ketika Tuan dalam kebimbangan, aku memberinya pertimbangan agar Tuan tidak salah jalan. Pernah suatu kali Tuan hendak menyeberang jalan. Tuan mesti buru–buru memberikan ceramah untuk anak–anak SD peserta pondok Ramadhan. Tiba–tiba saja berdiri di sisi Tuan seorang nenek renta yang juga hendak menyeberang. Tuan bimbang, menyeberang sendirian ataukah menyeberang sembari menuntun nenek itu, sedangkan Tuan tidak memiliki banyak waktu. Lalu aku bisikkan di telinganya “Tuan … menuntun nenek itu adalah ibadah. Lalu dengan yakin Tuan menuntun nenek itu. Subhanallah … ketika baru saja Tuan dan nenek itu sampai di seberang, seseorang memanggil Tuan. Ternyata orang itu salah seorang guru yang juga hendak menuju ke sekolah yang Tuan tuju. Tuan kemudian diboncengkan orang itu dengan mengendarai motor. Alhamdulillah, akhirnya Tuan tiba sebelum acara dimulai.

Begitu juga ketika suatu malam Tuan pulang dari mengisi pengajian di luar kota. Tuan naik bus. Ketika seorang wanita di sebelah Tuan turun, dompetnya tertinggal di kursi penumpang. Saat Tuan menyadarinya, wanita itu sudah tidak terlihat lagi. Tuan membuka dompet itu untuk mencari tahu di mana alamat pemiliknya. Ternyata, alamat pemilik dompet itu sudah jauh terlewati. Tuan mesti turun dan naik bus dengan arah yang berlawanan jika ingin mengantar dompet itu. Tuan bimbang, antara di antarkan, dikembalikan besok, ataukah dibiarkan agar dikembalikan oleh orang yang menemukannya lagi. Lalu aku bisikkan di telinga Tuan, “Tuan…turun dan kembalikanlah. Kasihan wanita itu jika yang menemukan dompetnya bukan orang shalih seperti Tuan. Jika Tuan kembalikan besok, wanita itu tidak akan dapat tenang semalaman.” Tanpa menunggu lama, Tuan berdiri dan turun dari bus untuk mengembalikan dompet itu. Hampir satu jam Tuan baru dapat menemukan alamat yang dituju.

Keesokan harinya, sebuah mobil berwarna merah memasuki halaman pondokan Tuan. Dua orang laki–laki yang berada di dalamnya turun dan mengeluarkan mainan anak–anak yang cukup banyak. Ternyata, semua mainan itu dikirim oleh wanita si pemilik dompet. Dia berikan mainan–mainan itu agar dapat Tuan berikan pada anak–anak TPQ didikan Tuan yang kurang mampu, sebagai ucapan terima kasihnya untuk Tuan. Alhamdulillah … berulang kali Tuan berucap syukur.

Kesibukan Tuan semakin menjadi–jadi ketika suatu hari banyak sekali tamu yang datang ke pondokan Tuan. Mereka semua berucap, “Selamat Tuan … Anda terpilih.” Ada juga yang mengatakan, “Selamat Tuan … Anda menjadi pejabat.” Seorang wanita cantik dengan sanggul besar berhiaskan mawar imitasi menyalami Tuan seraya berucap “Selamat Tuan … Anda hebat.” Ups … Tuan mau menyalami wanita itu, biasanya Tuan tidak akan mau melakukan hal itu.

Tuan makin sering keluar rumah, hampir tak pernah pulang kecuali malam telah larut. Ajakanku untuk ke masjid ketika adzan berkumandang Tuan abaikan, “Aku masih rapat, shalat sendiri saja,” atau “Aku capek, aku ngantuk” menjadi jawaban rutin yang aku terima. Membaca Al Qur’an, berdzikir seperti dulu, tak pernah lagi ajakanku Tuan pedulikan.

Pondokan sederhana Tuan pun dirombak menjadi rumah yang megah. Rumah Tuan yang dulu tenggelam termakan zaman menjadi tampak mentereng, bagus dan besar. Halaman depan rumah Tuan dilengkapi dengan pagar besi yang tinggi menjulang. Orang–orang yang biasanya datang untuk meminta petuah Tuan menjadi segan untuk masuk. Ibu–ibu di sekitar rumah Tuan tidak berani lagi memberi Tuan semangkuk kolak pisang atau sepiring ubi rebus seperti dulu sebab makanan Tuan sekarang jauh lebih lezat. Tamu–tamu Tuan pun berganti dengan tamu–tamu yang bermobil dan berdandan.

Suatu hari, Tuan membuatku kaget. Tuan masukkan sekarung uang dalam kamarku.

“Tuan … untuk apa Tuan simpan uang itu?” tanyaku.

“Untuk masa depanku,” jawab Tuan. Aku diam. Aku tidak berani membantah Tuan.

Beberapa waktu kemudian, makin banyak uang yang Tuan simpan di kamarku.

“Tuan … tidakkah sudah cukup uang yang Tuan simpan?” tanyaku.

“Aku belum haji, belum membeli apartemen bagus, mobilku masih kurang satu,” jawab Tuan.

“Toh, masih ada ruang tersisa untukmu bukan?” lanjut Tuan.

Berikutnya sekeranjang emas, perak, dan berlian yang berkilat–kilat Tuan masukkan dalam kamarku.

“Tuan … untuk apa perhiasan–perhiasan ini?” tanyaku.

“Ini titipan istri dan anak perempuanku,” jawab Tuan singkat.

Besoknya lagi Tuan masukkan sebuah kursi yang sangat besar.  Kursi keemasan itu sepertinya begitu empuk, bagian sandarannya menjulang tinggi hingga aku tak dapat melihat di mana ujungnya.

“Tuan … untuk apa kursi itu?” tanyaku.

“Tentu saja untuk kududuki. Semua orang menginginkan kursi empuk dan bagus itu. Kursi yang mendatangkan kehormatan,” jawab Tuan sembari berdecak kagum memandangi kursi itu.

Kamarku semakin terasa sesak. Aku mulai gerah tinggal di dalamnya. Itu belum seberapa sebelum kemudian Tuan memasukkan wanita–wanita itu.

“Tuan … kenapa kau masukkan mereka dalam kamarku? Tidakkah Tuan lihat kamarku sudah penuh dengan uang dan perhiasan?” kataku.

“Aku butuh hiburan. Pekerjaanku membuatku stress. Kau tahu itu…!!” bentak Tuan padaku.

Aku tak mampu lagi berkata–kata. Seperti teriris–iris rasanya. Bagaimana mungkin Tuan menyimpan wanita–wanita itu dalam kamarku? Wanita–wanita yang berpakaian tipis setengah telanjang, yang setiap saat menari–nari, merayu dan menggoda Tuan.

Bukan aku lagi yang Tuan kunjungi ketika Tuan datang, tapi uang dan wanita– wanita itu. Tuan tidak lagi peduli bagaimana keadaanku, bahkan Tuan tidak mencariku ketika aku tidak lagi berada di kamarku. Aku pun pergi karena tidak ada tempat yang tersisa untukku. Aku benar–benar telah terusir…

—-

Suatu kali, aku ingin melihat seperti apa sekarang kamar yang dulu kutinggali. Kamar itu kini penuh dengan tumpukan uang. Wanita–wanita itu juga masih tetap ada di sana, menari–nari memanggil Tuan untuk datang. Hati Tuan menjadi gelap gulita karena tak ada lagi yang menyalakan lentera seperti yang dulu selalu kulakukan. Lentera yang menerangi hati Tuan hingga cahayanya terpancar keluar dari wajah Tuan. Hati Tuan begitu kotor dan penuh noda karena tidak ada lagi yang menghapus noda itu hingga makin hari makin bertambah. Sungguh aku takut, noda itu akan menyebar ke jantung, ke otak, ke paru–paru dan ke seluruh tubuh Tuan hingga membuat Tuan mati perlahan–lahan.

“Tuan … bolehkah aku kembali datang?”

“Tuan … bolehkan aku kembali ke kamarku dan menjaga hatimu seperti dulu?”

Aku berbisik pada Tuan, tapi Tuan tidak mendengarku. Tuan sibuk dengan gempita pestanya yang membuat terlena.

“Tuan … dengarkan aku ….” aku berteriak agar Tuan mendengar.

“Tuan …!!!” aku terus berteriak hingga habis suaraku, hingga aku lemah … dan mati. Namun Tuan tak lagi mendengarkan.…

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis berprofesi sebagai PNS di lingkup Pemkab. Tulungagung Jawa Timur. Menekuni dunia literasi sejak dua tahun terakhir. Tulisannya tergabung dalam 40 antologi, buku solo Love and Live Undercover, Meraup Pahala Kala Haid Tiba, dan Kitab Gang Pitu telah terbit tahun ini. Dua novel Islaminya insya Allah terbit awal tahun 2014. Penulis aktif dalam jaringan kepenulisan Jaringan Pena Ilma Nafia (JPIN)

Lihat Juga

Surat untuk “Tuan yang Dimuliakan”

Figure
Organization