Topic
Home / Berita / Opini / Wajah Ustadz di Layar Kaca

Wajah Ustadz di Layar Kaca

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Omesh, Presenter Yuk Keep Smile (YKS) saat tampil pada 23/1 (foto: youtube.com)
Omesh, Presenter Yuk Keep Smile (YKS) saat tampil pada 23/1 (foto: youtube.com)

dakwatuna.com – Pada Selasa, 4 Februari 2014, Dakwatuna memuat berita tentang pemain acara YKS yang melecehkan ulama. Dalam berita itu diceritakan, pada acara YKS edisi 23 Januari 2014, Omesh yang tampil di YKS berinisiatif membuat lelucon dengan menirukan penampilan para Ustadz yang sering berdakwah. Mulai dari KH. Abdullah Gymnastiar, Ust. Arifin Ilham, Ust. Maulana hingga Mamah Dedeh.

Sebagai ilustrasi, Omesh berdehem sejenak, lalu menggelengkan kepala seperti orang mau bertinju ”….Ehemm..brrr…hastaghfirulloh..robbal maroya…”. Suaranya dibuat serak – serak basah. Mulutnya menganga lebar – lebar. Namun tujuannya bukan benar – benar melantunkan istighfar. Gaya ini langsung disambut gelak tawa penonton.

Berangkat dari peristiwa ini, umat Islam harus cerdas saat menonton televisi, termasuk program agama Islam. Salah satu faktor aksi pelecehan terhadap ustadz disebabkan ustadz yang ditampilkan di televisi tidak menjaga muru’ahnya. Seorang ustadz adalah tokoh panutan umat yang seharusnya menjaga perilakunya sesuai syariat Islam. Namun tidak jarang ustadz yang tampil di televisi bergaya seperti pelawak. Tulisan ini berusaha mengulas keberadaan ustadz di televisi.

Ustadz di Layar Kaca

Dahulu, seorang ustadz lahir dari tengah-tengah masyarakat melalui proses yang panjang. Biasanya, masyarakat mengenal latar belakang keluarga, pendidikannya dan pergaulannya. Label ustadz diberikan oleh masyarakat kepada orang yang dinilai pantas menerima gelar itu. Seorang bisa dibilang ustaz, kalau ia mampu menjawab persoalan  agama dan taat menjalankan perintah agama. Jika masyarakat menilai hal itu tidak dimilikinya, maka masyarakat akan menolaknya.

Kini, hal itu tidak berlaku lagi. Seseorang bisa saja muncul menjadi seorang ustadz. Masyarakat tidak mengetahui kemampuan ilmunya, apalagi mengetahui latar belakang keluarga dan pergaulannya. Label ustadz itu ditahbiskan oleh televisi bukan masyarakat. Kalau televisi mengatakan seseorang itu ustadz maka masyarakat  juga menerimanya sebagai ustaz.  Fenomena itulah yang terjadi saat ini.

Media massa memang mempunyai kekuatan untuk memaksakan issu atau objek tertentu agar menjadi perhatian audiens. Dalam teori komunikasi massa hal ini dikenal dengan teori Agenda Setting. Kurt Lang dan Gladys Enggel Lang (1959) menulis media massa bisa memaksakan perhatian pada issu-issu tertentu. Media massa secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukkan apa yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat. Hal senada juga disampaikan oleh Funkhouser. Pendapatnya didasarkan penelitian tentang hubungan opini publik dengan isi media massa. Penelitian ini menunjukkan isu-isu yang diberi peringkat tertinggi oleh publik adalah isu-isu yang sering diliput oleh media massa.

Merujuk pada teori ini, penonton televisi akan mengukuhkan seseorang menjadi ustadz jika orang tersebut ditampilkan berulang-ulang. Seseorang bisa saja disulap menjadi ustadz walau masyarakat tidak mengetahui latar belakang pribadinya dan keilmuannya. Sebagai contoh adalah program Cahaya Hati yang ditayangkan oleh ANTV. Program ini menghadirkan seorang mantan pesulap bernama Riza Abu Sofyan sebagai penceramah. Dia adalah seorang pesulap yang pernah mengikuti Reality Show The Master. Mendadak hadir di layar kaca memerankan sosok ustadz dengan menyandang nama Abu Marlo.

Dengan pola siran rekaman (recording), seorang yang tidak paham ilmu agama pun bisa disulap jadi ustadz. Caranya, ustaz televisi itu menghafal mati materi dan cara berceramah. Dengan begitu, penonton akan mempersepsi ustadz televisi itu sangat paham dengan ilmu agama. Tidak lupa, ustadz televisi itu didandani seperti ustadz kebanyakan. Jika terjadi kesalahan, produser program bisa mengedit kesalahan sebelum ditayangkan. Jika program itu disiarkan langsung (live) maka sesi tanya jawab tidak dibuka. Hal ini dilakukan untuk mencegah penonton bertanya diluar materi yang dihafal sang ustadz televisi itu.

Selain ustadz yang ditampilkan tidak jelas asal usul kehidupan dan keilmuannya, bahkan lebih celaka, tausiah itu disiarkan dalam program hiburan yang bertentangan dengan syariat Islam. Contohnya, Ustaz Maulana yang menyampaikan tausiah dalam program YKS TransTV. Hal ini terjadi pada acara YKS 10 Desember  2013.  Pemain wanita yang tampil memakai rok pendek. Mereka juga “berangkulan” dengan pemain pria di hadapan sang ustadz. Padahal kedua hal itu dilarang dalam syariat Islam.

Sementara itu, pada edisi 12 Desember 2013, kehadiran ustadz Maulana diiringi dengan musik dan tarian seorang wanita. Setelah mengucapkan salam, seorang pemain – Wendi – memanggil pemain dengan mengatakan “kok sepi”, lalu musik mengalun. Muncullah wanita memakai rok sebatas lutut menari-nari. Awalnya, wanita itu menari di belakang ustadz kemudian bergerak ke depan. Saat menari, sang ustadz melihat wanita itu sambil bertepuk tangan. Jika ustadz Maulana menyadari fungsi seorang dai, ia pasti tahu kehadirannya akan melegitimasi segala perbuatan yang terjadi dalam acara itu.

Fenomena lain adalah ustadz yang bergaya pelawak. Bercanda saat menyampaikan tausiah tentu tidak salah, tetapi kalau ustadz berlagak pelawak tentu tidak dibenarkan. Hal ini membuat kewibawaan seorang ustaz akan memudar. Hal itu juga dapat dilihat dalam acara YKS. Pada edisi 10 Desember 2013, Wendi tiba-tiba muncul bergaya seorang ustaz.  Ia tampil dengan baju koko dan selempang serta memakai peci hitam. Tidak ketinggalan anting-anting menempel di kedua belah kupingnya. Ustadz Maulana lalu mendekatinya. Ia berkata posisi peci akan menentukan status sosial orang yang memakainya. Lalu ia pun memutar-mutar peci di atas kepala Wendi sembari menyebutkan fungsi sosialnya.

Setelah itu, giliran Wendi yang merubah letak peci sembari menyebutkan posisi itu seperti Si Unyil. Selepas mengubah letak peci, Wendi juga memainkan sal. Ia mengubah-ubah letak sal di tubuhnya sembari menyebutkan fungsi sosialnya. Selesai itu Olga tampil ke depan meminta ustadz Maulana melakonkan hal yang sama. Aksi ini mengundang gelak tawa penonton.

Dalam masyarakat, suatu benda memiliki fungsi dan simbol sosial tertentu. Kita mengetahui peci dan sal merupakan simbol seorang ustaz. Ketika simbol sosial itu dipermainkan maka fungsi sosial yang timbul dari simbol itu akan terlecehkan. Apalagi hal itu dilakukan seorang yang ditokohkan sebagai ustadz.  Kondisi ini diperparah lagi sikap sang ustadz yang ikut tertawa-tawa. Apakah ustaz Maulana menyadari ini atau tidak?

Nah, dampak buruk kehadiran ustadz Maulana pada acara YKS pada bulan Desember 2013 lalu sudah terasa. Tidak menunggu waktu yang lama, hanya berselang sebulan, Omesh dan pemain acara YKS yang lain telah mengolok-olok ustadz pada acara YKS edisi 23 Januari 2013. Sebenarnya bukan hanya ustaz yang diledeki, lebih parah mereka memain-main ucapan istighfar. Kalaupun ustadz Maulana mengkritik acara itu, tentu tidak ada gunanya lagi. Bukankah, ustadz Maulana telah mengeluarkan komentar bahwa dirinya sangat suka menonton acara YKS karena membuat acara itu membuat keluarga berkumpul.

Pertimbangan stasiun televisi membuat sebuah program adalah rating. Kalau ratingnya tinggi maka perusahaan akan beriklan di acara itu. Ketentuan ini juga berlaku dalam acara agama. Jika seorang ustadz yang dinilai punya daya tarik bagi penonton tentu ustadz akan dipakai. Sebaliknya, jika seorang ustadz tidak mampu menyedot penonton maka akan diganti.

Tentu kita masih ingat kasus Aa Gym. Sebelumnya, Aa Gym hadir di berbagai acara telivisi. Sebagai seorang ustadz, Aa Gym mampu membius penonton dengan gaya ceramahnya yang lemah lembut itu. Namun, begitu ia menikah lagi (poligami), televisi mencercanya habis-habisan. Hal itu dilakukan televisi, karena poligami tidak sesuai dengan ideologi pemilik media. Bukankah, kita tahu bahwa isu poligami adalah isu sentral yang digunakan untuk menyerang ajaran Islam. Kita juga mengetahui, media televisi di Indonesia adalah sarana propaganda menyudutkan Islam.

Peringatan Rasulullah

Jauh sebelum peristiwa ini, Rasulullah telah mengingatkan umat agar hati-hati dengan penceramah yang bermunculan.  Dari Abu Dzar, bahwasanya Rasulullah bersabda: Sesungguhnya kalian sekarang ada pada zaman yang banyak ulama (ahli ilmu)nya dan sedikit khutoba’ (penceramah)nya, barangsiapa yang meninggalkan sepersepuluh dari yang ia ketahui maka dia telah tersesat. Dan akan datang suatu zaman ketika itu banyak khutoba’ (penceramah)nya dan sedikit ulama (ahli ilmu)nya, barangsiapa di antara mereka berpegang pada sepersepuluh agamanya maka dia telah selamat. (HR. Imam Ahmad).

Merujuk dari hadits ini, nabi membedakan antara penceramah dengan ulama. Apa yang membedakan ulama dengan orang biasa? Tentu soal ketundukan kepada Allah.  Firman Allah: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun (QS. Al- Fathir – 28).  Oleh karena itu, Ibnu ‘Abbas ra mendefinisikan ulama sebagai “orang yang mengenal Allah dari hamba-hamba-Nya, tidak menyekutukan-Nya, menghalalkan apa yang dihalalkan-Nya, mengharamkan apa yang diharamkan-Nya, menjaga dan yakin bahwa Allah akan menjumpainya dan menghisab amal perbuatannya.”

Berpegang pada hadits ini, umat Islam harus cerdas memilih acara agama Islam di televisi yang layak ditonton dan tidak layak. Paling tidak ada tiga indikator yang bisa dijadikan pijakan. Pertama; acara itu tidak bertentangan dengan Al-Quran dan hadits. Walau merujuk Qur’an dan hadits, tidak tertutup kemungkinan materi yang disampaikan menyimpang. Sebab, tidak sedikit orang yang suka menafsirkan ayat dan hadits menuruti nafsunya tanpa kaidah ilmu tafsir dan ulumul hadits. Karena itu, pastikan materi itu ada dalam Quran atau hadits. Setelah itu, perhatikan keterangan ustadz tersebut merujuk pada ulama kabir dan terkenal di dunia Islam. Jika hal itu tidak terpenuhi, maka besar kemungkinan ustadz yang mengisi acara tidak memiliki ilmu.

Kedua; acara itu tidak mencampurkan baurkan dengan hal yang dilarang syariat. Misalnya, menampilkan wanita yang membuka aurat, menampilkan adegan wanita dan perempuan “berangkulan”, dan sejenisnya. Ketiga; acara itu membuat kita semakin tunduk kepada Allah. Contohnya, terlalu banyak melawak selama acara berlangsung sehingga acara itu mirip acara srimulat. Bercanda saat menyampaikan tausiah, tidaklah dilarang. Bahkan itu bisa dijadikan strategi agar materi yang disampaikan mudah dicerna penonton. Namun bercanda harus proporsional; yaitu tidak menyimpang dari subtansi materi serta tidak berlebih-lebihan dalam bertutur dan berekspresi.

Jika sebuah acara itu memenuhi tiga kriteria itu, maka umat layak menontonnya. Namun jika tidak memenuhi dua persyaratan di atas, maka acara itu tidak layak ditonton. Satu hal lagi, umat Islam harus berupaya mendorong Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menertibkan acara televisi yang bertentangan dengan syariat agama. Caranya, umat harus menyampaikan kritik tertulis kepada KPI. Selain itu, umat Islam juga bisa menulis surat protes ke televisi bersangkutan atau melalui situs jejaring social yang saat ini sangat populer.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumnus Pascasarjana IAIN SU. Dosen STIK "Pembangunan" Medan. Ayah tiga anak ini merupakan seorang pekerja media massa. Semasa kuliah bekerja sebagai reporter freelance harian Waspada (Medan). Setamat kuliah bekerja sebagai reporter di Radio Prapanca Trijaya Network (Medan), hingga menjabat Kordinator Liputan. Saat ini bekerja sebagai producer/ annoucher Radio Sindo Trijaya Medan (MNC Network). Selain bekerja di radio, sejak 2008 mengajar di STIK Pembangunan Medan.

Lihat Juga

Wartawan Olahraga Sebut Dakwah Ustadz Abdul Somad Beringas, FORJIM: Jangan Melampaui Batas!

Figure
Organization