Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Ketika Ayat-Ayat Cinta Menjadi Mayat-Mayat Cinta

Ketika Ayat-Ayat Cinta Menjadi Mayat-Mayat Cinta

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com – “Cinta bagai ilham dari langit yang menerobos dada dan bersemayam dalam dada. Dan kini kami akan mati karena asmara yang telah melilit seluruh nurani. Katakanlah padaku, pemuda mana yang bebas dari penyakit cinta?” begitulah Qais berkata.

Kisahnya begitu popular. Qais dan Laila.

Qais ibn Syed Omri yang tergila-gila pada Layla menyempurna menjadi gila. Ayah Layla merasa terhina ketika Qais mengajukan lamaran dengan membanggakan sukunya, dan mengakhirinya dengan kalimat penutup, “Kami yakin Tuan adalah orang yang arif dan bijak. Seorang arif dan bijak tentu tidak akan menolak tawaran berharga ini.” Ayah Layla terbakar emosi. Ia membalas lamaran Qais dengan mengatakan, “Demi Allah, saya tidak ingin orang-orang Arab mengatakan jika aku menikahkan putriku dengan pemuda gila.” Lamaran itu gagal. Qais semakin gila. Bertambah gila lagi saat Layla dinikahkan dengan pemuda lain.

Sedang Romeo, beginilah kesahnya, “Wahai kematian, datanglah cepat kemari! Hisap dan dekap tubuhku yang penuh cinta ini, karena tidak ada sesuatu di depan matahari yang mampu memulihkan kesedihanku.”

Romeo Monteque adalah putra Tuan Besar Monteque yang bermusuhan dengan Tuan Capulet, ayah Juliet. Nama belakang Romeo sangat meresahkan hati Juliet karena ia tahu dua musuh besar tidak akan pernah bersatu. Namun bagaimana lagi jika hati terlanjur cinta mati? Kata orang tahi kucing pun rasa coklat. Mungkin karena itu pula Romeo nekad menenggak racun demi menyusul Juliet yang dikiranya telah mati. Begitu pula Juliet yang tak segan menancapkan pisau ke tubuhnya demi menyusul sang kekasih.

Mengapa kisah cinta sejati senantiasa menyuguhkan tragedi memilukan? Cinta serupa seorang “majikan” yang dengan tega mencambuk “budak-budaknya” tanpa ampun. Cinta seolah begitu kejam, tak peduli meski darah telah mengucur-ngucur membasahi permadani kehidupan. Jika cinta sejati, mengapa melemahkan hati?  Jika cinta sejati, mengapa ayat-ayat cinta disulihnya menjadi mayat-mayat cinta?

Suatu hari, Salman al Farisi meminta bantuan Abu Darda untuk melamar gadis pujaannya dari Bani Laits. Salman jatuh hati pada sang gadis pujaan. Sesampai di rumah yang dituju, Abu Darda menyampaikan maksud kedatangan mereka seraya menceritakan kelebihan dan jasa-jasa Salman. Tapi apa jawaban orang tua gadis itu? “Kami tidak ingin menikahkan anak kami dengan Salman. Justru kami ingin menikahkannya denganmu.”

Salman manusia biasa. Ia merasa bagai disambar geledek. Betapa hancur hatinya. Tapi secepat kilat ia mampu menguasai diri, dan dengan tangan terbuka memberikan mahar yang dibawanya untuk pernikahan Abu Darda. Bahkan ketika Abu Darda mengatakan bahwa ia malu terhadap dirinya, Salman malah menjawab, “Aku yang seharusnya lebih malu kepadamu karena telah berani melamar wanita itu, padahal Allah sudah menentukannya untukmu.”

Cinta Salman adalah cinta yang dilandasi iman. Cintanya pada gadis pujaan tak sebesar cinta-Nya pada Allah, hingga kerelaan terhadap takdir-Nya menjadikannya lapang untuk ikhlas mengantar sang gadis pada pamannya.

Sementara Bilal bin Rabah memberikan pelajaran berharga untuk senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Bilal, sang pemilik suara emas berkata saat meminang seorang wanita pujaannya dari kabilah Khaulan, “Jika pinangan kami Anda terima, kami ucapkan alhamdulillah. Jika pinangan kami Anda tolak, maka kami ucapkan Allahu akbar.”

Alangkah tegarnya seorang Bilal. Hatinya lapang menerima ketetapan Allah atas pinangannya. Ia sadar manusia hanya berikhtiar, sementara Allahlah penentu segalanya. Bisa jadi penolakan adalah jalan pensucian jiwa dari kezhaliman diri sendiri,  bisa jadi penolakan adalah jalan untuk mencapai kematangan, kemantaban, dan kebersihan niat. Dan bisa jadi penolakan adalah cara Allah untuk mengangkat derajat.

Kisah lain datang dari seorang wanita muslimah yang datang kepada laki-laki shalih bernama Abu Utsman An Naisaburi. Wanita itu berkata, “Wahai Abu Usman, sungguh aku mencintaimu. Aku memohon atas nama Allah, agar sudilah kiranya engkau menikahiku.”Abu Utsman diam sekilas. Hatinya bergemuruh. Tak disangkanya seorang wanita yang tak ia kenal tiba-tiba menyatakan cinta dan meminta dinikahinya. Abu Usman diam sekilas. Sejenak ia tak tahu harus memberi keputusan bagaimana. Sebagai seorang lajang, ia musti membuat keputusan besar yang menyangkut hidup dan separuh agamanya. Selama ini keluarganya menghendaki dirinya segera menikah, namun masih ia kesampingkan. Dan dihadapannya, berdiri seorang perempuan yang dengan jujur mengakui perasaan hatinya.

Abu Utsman pun menikah dengan perempuan itu. Mereka hidup bahagia, hingga lima belas tahun kemudian si istri meninggal dunia. Dan barulah terungkap sebuah rahasia yang membuat dada berdesir. Setelah kematian si istri, Abu Utsman berkata, “Ketika perempuan itu datang kepadaku, barulah aku tahu kalau matanya juling dan wajahnya sangat jelek dan buruk. Namun, ketulusan cintanya padaku telah mencegahku keluar dari kamar. Aku pun terus duduk dan menyambutnya tanpa sedikit pun mengekspresikan rasa benci dan marah. Semua demi menjaga perasaannya. Walaupun aku bagai berada di atas panggang api kemarahan dan kebencian,”

Lalu lanjutnya berkisah, “Begitulah kulalui lima belas tahun dari hidupku bersamanya hingga dia meninggal. Maka, tiada amal yang paling kuharapkan pahalanya di akhirat, selain masa-masa lima belas tahun dari kesabaran dan kesetiaanku menjaga perasaannya dan ketulusan cintanya.”

Alangkah indah kisah cinta suami istri ini. Meski cinta tak benar-benar ada dalam benak Abu Utsman, namun berbekal keshalihan yang ia miliki, ia tetap mampu bersikap sebagai suami yang baik. Cinta Abu Utsman pada Allah, mengalahkan ketidakcintaannya pada sang istri. Masya Allah … Ketidakcintaan yang dilandasi iman saja mampu membahagiakan, apalagi kecintaan.

Saudaraku, cinta yang menjadikan pelakunya menjadi mayat-mayat cinta, bukanlah cinta sejati. Tak ada kamus putus asa, apalagi bunuh diri dalam cinta sejati. Cinta sejati adalah cinta yang berujung pangkal pada Allah semata. Apapun yang terjadi, cinta sejati menguatkan jiwa karena ia dilandasi iman dan takwa.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Penulis berprofesi sebagai PNS di lingkup Pemkab. Tulungagung Jawa Timur. Menekuni dunia literasi sejak dua tahun terakhir. Tulisannya tergabung dalam 40 antologi, buku solo Love and Live Undercover, Meraup Pahala Kala Haid Tiba, dan Kitab Gang Pitu telah terbit tahun ini. Dua novel Islaminya insya Allah terbit awal tahun 2014. Penulis aktif dalam jaringan kepenulisan Jaringan Pena Ilma Nafia (JPIN)

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization