Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Dia, Kusebut Pembunuh!

Dia, Kusebut Pembunuh!

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

 

Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – “Hentikan! Please! Yang kamu lakukan begitu menyiksaku!” teriakanku tiada guna, karena kamu pun tetap dengan kebiasaanmu, asyik bermain-main dengannya, bersama menyiksaku.

Haruskah aku putus asa atas itu? Karena sudah sangat lelah dalam siksaan kalian. Seringkali aku muak tiada daya dengan kelakuanmu yang seolah memanjakanku, tapi diam-diam akhirnya menyiksaku demi kepuasanmu bersamanya. Awalnya aku berbaik sangka padamu. Mungkin kamu sedang khilaf, tak menyadari bahwa tindakanmu itu perlahan mampu melumpuhkanku, dengan siksaan yang serupa memanjakan. Seringkali kudengar kembaranku berusaha menyadarkanmu dengan ragam peringatan. Tapi kamu hanya terbatuk-batuk menanggapinya, kemudian sama sekali tak menggubris. Bersikap apatis! Ternyata aku telah keliru menilaimu. Kamu memang tak mau tahu bahwa tindakanmu itu menyiksa kami.

“Tolong hentikan tindakanmu, sekarang juga! Kumohon!!” aku protes lagi dalam ketersiksaan rasa, jiwa, dan raga. Tapi kamu makin asyik tak mau terusik, tetap sibuk dengannya demi kesenanganmu sendiri. Dan sesekali kamu mencumbunya, membuat matanya yang merah semakin menyala.

“Hei! Percuma kamu berteriak. Dia tak akan peduli padamu. Hahaha” satu suara menyadarkanku. Kuperhatikan ia tengah bercandu denganmu. Kenikmatan yang ia tawarkan seolah telah menjalari tubuhmu, menghipnosismu untuk ketagihan bermanja-manja dengannya.

Kucoba melebarkan pandangan dalam kegelapan, berusaha menangkap sosok bersuara itu dalam pandangan. Matanya merah menyala.

“Hai! Biadab sekali kau menjadikannya kecanduan! Memanjakannya sama saja kau menyiksaku.” teriakku padanya.

“Ya, aku juga merasakan perih dan sakitnya. Lihat tubuhku ini! Aku ingin mati saja agar penderitaan kita berakhir.” satu suara lagi berteriak dari sisi kananku. Setelah mengerjapkan mata berkali-kali barulah kutangkap sosoknya, ia kembaranku. Astaga! Ngeri sekali aku melihat keadaannya. Mendadak aku ingin muntah menatap badannya yang penuh luka dan menghitam karena lebam.

“Tak perlu meminta mati, hai Kembar! Perlahan tapi pasti, nanti habis juga detak nafas kalian.” kini sosok pertama tadi kembali bersuara. Cadas.

“Justru kami tak mau mati perlahan! Menderita dalam siksaan dan rayuan maut yang menggerayangi setiap saat. Segera lebih baik. Agar ia pun mati bersama kami!” sanggahku geram.

Hening, tak ada lagi jawaban darinya. Mungkin masing-masing telah lelah, seperti aku dan kembaranku yang sekarang terengah-engah bernafas.

“Errrgggh!” aku mengerang kencang, berharap kamu iba pada kami. Kamu mulai terbatuk-batuk menanggapi erangan kami, dan benar kali ini kamu peduli. Terbukti kamu mengurungkan diri untuk berangkat kerja. Sedikit membantumu untuk beristirahat di rumah, kan? Setidaknya menghentikanmu untuk bermanjaan dengan dia yang kehadirannya selalu menyiksa kami. Aku senang atas kepedulianmu kali ini. Terima kasih.

 

“Errrgggh!” kembaranku pun mengerang, lebih kencang dariku. Erangannya sungguh terdengar sangat menyayat hati, menahan nyeri luka-luka dari siksaanmu yang lalu. Perih yang kami rasakan semakin hebat, “Apa ini tanda ajal mendekat?” batinku.

Bahkan kulihat kembaranku di sisi kanan memuntahkan darah ke tanganmu. Dalam kepanikan, kulihat kamu cemas, tergesa-gesa menghubungi sebuah nomor. Sementara kami masih berjuang menahan sakit masing-masing yang semakin hebat.

Dalam hitungan menit, kulihat seorang lelaki berkaca mata dan berjas putih bersih datang memasuki kamarmu. Setelah menyapamu, ia lalu membuka tas, kemudian memeriksa denyut nadiku dan kembaranku, “Beruntung masih sempat untuk diselamatkan sebelum semakin parah.” Ucapnya dalam kewibawaan di depanmu.

“Hah? Kami selamat?!” mendadak kaget kami mendengarnya. Nyeri dan sakit yang tadi terasa sangat hebat mulai mereda. Kamu pun bersyukur atas keselamatan kami. Dan kulihat kamu berterima kasih pada laki-laki berkaca mata yang telah memeriksa keadaan kami.

Ah! Di sisi lain keselamatan ini justru menjadi bad news. Kenapa kami tidak mati saja bersamamu hai laki-laki kejam?! Agar selesai siksaanmu terhadap kami. Kecuali jika kamu insaf, bertaubat untuk tidak menyiksa kami lagi.

Laki-laki berkaca mata itu pergi setelah meninggalkan resep dan petuah-petuah bijaknya. Sempat kudengar di antaranya agar kamu menjaga kami, juga memperhatikan kondisi dirimu. Kulihat kamu mengangguk patuh.

Beberapa hari berlalu penuh kebahagiaan, begitupun dengan kembaranku. Dia si mata merah yang biasanya hadir bermanja-manja dan bercumbu denganmu pun tak kelihatan batang hidungnya. Apa kamu sudah meninggalkannya? Jika iya, kami sangat bahagia. Itu artinya kamu mulai sadar, bahwa dia memang tak baik untukmu. Bahkan berbahaya. Bisa saja ia membunuhmu perlahan, seperti yang ia lakukan pada kaummu yang dia buat kecanduan terlebih dulu.

***

Untuk beberapa hari masa pemulihan, jujur kuakui merasa sangat bahagia. Pun kembaranku. Kamu begitu perhatian, sungguh-sungguh mempedulikan keadaan kami. Bahkan rutin memberikan obat pada kami sesuai jadwal. Baik sangkaku hadir kembali, nurani dan akal sehatmu kembali berfungsi, kamu benar-benar telah insafkah? Suatu keberuntungan ketika kami diberi kesempatan untuk bisa bernafas lega dan menghirup udara segar pekarangan rumah. Kamu pun nyaman, bukan? Aku ingin seperti ini seterusnya. Diperlakukan dengan kasih sayang.

Seperti pagi ini, ketika kamu duduk bersantai di tepi kolam ikan, kulihat kamu tersenyum sambil melempar beberapa genggam pakan. Ikan-ikan berlarian, berebutan untuk mendapat bagian. Tapi seketika matamu melirik ke arah meja di teras.

“Hah? Dia lagi! Sejak kapan dia berada di situ?” aku tercengang mendapatinya.

Kulihat kamu menghampiri sambil tersenyum padanya tak menghiraukan aku. Perlahan tapi pasti kamu menjamahnya. Kemudian menyiksaku lagi, juga kembaranku.

“Kami belum benar-benar pulih, hentikan siksaan ini! Kumohon! Aku ingin tetap sehat mendampingimu sampai tua. Hentikan!” aku berteriak agar kau kembali sadar.

“Kurasa sudah cukup masa pemulihannya.” Gumammu seraya bekerja sama dengannya untuk menyiksa kami kembali, tanpa ampun demi kesenangan kalian.

“Oh God! Ternyata aku keliru lagi dalam menilainya. Dia memang biadab. Hilang kepercayaanku padanya.” rintihku dalam siksaan yang kembali kuterima.

Aku sangat kecewa, sekaligus heran denganmu yang rela merogoh kocek mahal-mahal untuk membayar dokter demi menyelamatkan kami, jika kemudian kembali kamu rampas kebebasan kami untuk bernafas. Pandai sekali kamu bersandiwara di hadapan dokter hari itu. Seolah benar-benar mengkhawatirkan keselamatan kami. Tapi ternyata kembali menyiksa kami sebelum benar-benar pulih. Sementara di dalam keseharian justru seharusnya kamulah yang paling bertanggung jawab atas keselamatan kami. Tak sadarkah? Bahwa lumpuh dan matinya kami kelak, lumpuh pula denyut nafas kehidupanmu?!

Dalam isak tangis menahan siksaanmu, aku masih bisa mengenang ketika kita masih akrab bersahabat, saling menjaga dan melindungi satu sama lain. Ingatkah kamu? Belasan tahun kita telah bersama, karena aku selalu mendampingimu sejak kecil. Bahkan sejak kamu lahir.

Tak jauh berbeda dengan kembaranku, ia pun terisak, mengenang masa-masa sehat kita bersama. Ah, itu dulu! Sebelum kamu berubah bengis dan kerap menyiksaku tanpa ampun. Bahkan seolah ada kenikmatan tersendiri ketika kamu dengan kejamnya menyiksa kami. Entah dari mana kamu belajar kekejaman itu. Tapi yang jelas kuingat, sejak si mata merah hadir dalam kehidupanmu. Seingatku sejak usiamu baru beranjak dewasa dan berawal dari coba-coba.

Perlahan aku mulai merasa bahwa kamu hanya memanfaatkan dan kembaranku untuk kehidupanmu. Kusadari keramahanmu telah hilang terkikis keegoisan, kerap menyiksa kami ketika si mata merah hadir. Bahkan sehari beberapa kali kalian lakukan. Semakin lama semakin kejam, hingga kami sering merintih menahan perih.

Seringkali kami meratap hingga berteriak minta ampun. Berharap kamu hentikan penyiksaan, tapi kalian, kamu dan si mata merah seakan dungu. Yang dipedulikan hanya kesenangan dan kepuasan batin sendiri. Dan itu berlanjut hingga bertahun-tahun. Sungguh kami ingin mati saja, agar berakhir pula penyiksaan terhadap kami, berakhir pula kehidupanmu!

***

“Sebenarnya aku ingin berhenti. Tapi susah sekali.” tuturmu suatu siang pada seorang kawan di sebuah kafe.

“Kalau niatmu kuat, kamu pasti bisa, Bro! Sayangi dirimu, jangan jadi pecandu! Nggak harus langsung berhenti, pelan-pelan dulu dikurangi!” jawab kawanmu di seberang meja. Aku dan kembaranku setuju sekali dengan pendapatnya. Sangat berharap kamu akan melakukannya demi kesehatan kami, juga kesehatanmu pastinya.

Melihat raut mukamu, seolah begitu menyesal telah menyiksa kami. Ingat beberapa waktu lalu selama kamu sibuk memperhatikan kondisi kami, kamu fokus pada kesembuhan kami. Aku bersyukur karena parahnya sakit kami kemarin ternyata justru membuka pintu kebebasan untukku juga kembaranku. Ah, ternyata kamu memang masih punya hati yang bijak dan memiliki akal sehat. Setelah bertahun-tahun bagai tak punya nurani menyiksa kami.

***

Lagi-lagi aku keliru. Kamu memang susah untuk berubah. Dan habis sudah kepercayaanku padamu! Kamu tak akan pernah bisa berubah, selama niat berubahmu masih berubah-ubah. Labil. Terbukti kamu mengulangi penyiksaan itu terhadap kami. Bahkan belasan kali untuk hari ini.

“Errrrrrgggghhhh!” eranganku bersahutan dengan erangan saudara kembarku. Kami bersama-sama memuntahkan darah. Sesak sekali kami bernafas. Dalam sakit dan nyeri yang hebat, masih bisa kulihat badanmu gemetar dalam kepanikan, pucat dalam keterkejutan.

Ibumu tak kalah panik ketika memergokimu turut mengerang di kamar. Memanggilmu dan memintamu membuka mata. Hai, kamu kesakitan jugakah sampai pingsan? Tak lama kemudian Ibumu keluar, tergesa-gesa mengubungi sebuah nomor.

Dalam hitungan menit kudengar dengingan sirine ambulans, suasana semakin riuh dalam perjalanan menuju rumah sakit.

Ah, mungkin ini sudah saatnya. Tiba masa yang telah lama kami nantikan. Saat di mana kami akan terlepas dari siksamu. Bebas dari rasa nyeri dan sakit yang kerap mendera. Kami akan bebas merdeka. Dan kamu tidak bisa berkutik lagi untuk menyiksa kami. Semoga saja.

Inikah kerinduan pada malaikat maut untuk segera menjemput? Saksikanlah betapa siksamu membuat kami lebih memilih jemputan Izrail sebagai hal terindah. Tentu! Berbanding kesembuhan kami yang akan membuka kesempatan untukmu menyiksa lagi!

Bermacam peralatan canggih terpasang di sana-sini. Selang infus telah tertancap di pergelangan tanganmu. Sepertinya percuma, karena kurasa semakin dekat takdir kematian. Sudahlah! Kita memang akan mati bersama. Kepintaran para medis tak akan mampu menghentikan tugas Izrail mengantarkan maut.

Detak kehidupanku semakin melemah, kamu pun hanya bisa memejamkan mata di ranjang pesakitanmu. Puaskah kamu dengan akibat dari penyiksaanmu terhadapku di saat-saat yang lalu? Bahagiakah dengan kematianku nanti? Atau justru akan berteriak histeris, menangis meratap penuh penyesalan?

Ah! Kamu tak kan bisa menjawab pertanyaanku. Percuma kubertanya menceracau. Kematianku pasti hanya akan kamu sikapi dengan diam. Tak kan ada reaksi darimu. Karena akulah detak nafasmu. Tanpaku kamu tak kan bernafas hidup. Kita akan mati bersama. Kau, aku, serta kembaranku. Kini kusadari mengapa kamu begitu panik saat aku dan kembaranku sekarat. Karena saat kami berhenti bernafas, berarti berhenti juga pernafasanmu. Berhenti juga seluruh organ tubuhmu dari fungsinya. Tapi mengapa ketika aku peringatkan kamu dengan sakitku atas siksaanmu, kamu tak menggubrisnya? Tetap menyiksaku dengan mencekoki 4000 bahan kimia dalam tubuh si mata merah yang kian melumpuhkanku?

Ah! Sudahlah. Aku sudah terlalu lelah menjalani hidup dalam siksaanmu atas hadirnya si mata merah. Izrail akan datang mengakhiri penderitaan kita, tenanglah. Semoga kematian ini akan terkabarkan pada mereka yang memiliki kebiasaan sama sepertimu, merokok! Dan memberi mereka pelajaran agar lebih sayang pada kaumku yang juga terdapat dalam tubuh mereka. Ya! Aku dan kembaranku. Sepasang paru-paru. Dan si mata merah, rokok yang meracuni kami.

Menanti detik-detik bebasnya kami dari rasa sakit, aku ingin bertanya sekali lagi. Siapakah yang pembunuh? Kamu atau si mata merah?!

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Muslimah yang ingin & berusaha menjadi lebih baik, Faqirah yang mempunyai semangat belajar tinggi, dan gadis jawa sederhana yang ingin bermanfa'at untuk sesama. Salaam Ukhuwah fiiLlaah, biLlaah, waliLlaah :)

Lihat Juga

Israel Pernah Berusaha Bunuh Penanggung Jawab Proyek Nuklir Iran

Figure
Organization