Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Kembang Api di Matamu

Kembang Api di Matamu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi (inet)
Ilustrasi (inet)

dakwatuna.com – Rekaman itu seolah hadir di pelupuk mata, menyesakkan rongga dada, memenuhi isi kepala, meruntuhkan segala dinding keangkuhan dan atas izin-Nya sekonyong-konyong ia hadir menjadi penghuni baru di sanubari; selamat datang penyesalan, semoga hadirmu hadirkan secercah hikmah dari masa silam.

***

“Zah, kamu jangan lupa makan yah, jangan sampai sakit lagi, emangnya enak kalo ketinggalan pelajaran!” begitu bunyi ocehannya lewat sms.

“Iya! Bawel amat sih, aku juga tahu apa yang mesti aku lakukan, memangnya aku anak kecil masih diingatkan!” balasku ketus.

“Iyah maaf zah, aku kan Cuma khawatir” jawabnya dengan sad emoticon yang seketika membuat hatiku jadi tak enak.

Yusuf adalah sahabatku, kami saling mengenal sejak tahun pertama di sekolah menengah kejuruan, tubuhnya tidak terlalu tinggi dan tidak gemuk tapi ia termasuk murid yang cerdas. Sudah dua tahun berturut-turut Ia jadi ketua kelas, mungkin karena ia orang yang bisa dipercaya dan penyabar. Kami memang tidak terlalu akrab kalau bertemu secara langsung, entah kenapa ia selalu bicara padaku seadanya jika bertemu tapi kalau melalui sms ia berubah sangat akrab sekali. Beberapa kali kita sering berbincang lewat telepon, bercerita banyak hingga lupa waktu padahal kita bisa bicara langsung di sekolah dan tidak perlu membuang pulsa. Sudah seminggu ini aku sakit typhus dan dirawat di RS tak jauh dari rumahku, setiap hari Yusuf menjengukku namun tak banyak bicara seperti biasanya tapi kalau ia sudah meninggalkan RS barulah handphone-ku yang berdering menerima sms atau telepon darinya, aneh memang.

Hari ini aku sudah boleh meninggalkan RS karena kondisiku sudah sangat baik tapi aku masih harus beristirahat di rumah dan artinya aku belum diizinkan bersekolah. Aku tak mau menurut kata dokter yang menyuruhku bed rest di rumah untuk beberapa minggu, tapi cukup tiga hari beristirahat besoknya aku nekat bersekolah karena Ujian Nasional sudah di depan mata, aku tak boleh terlena dengan sakit ini.

Seperti biasa aku makan di kantin dengan kawan-kawanku saat istirahat, tapi sejak tadi aku tidak melihat sahabatku si ketua kelas muncul di kantin untuk makan. Aku memperhatikan ibu kantin yang sedang menyajikan mie untuk kami, seketika aku menjadi sangat peka dan merasakan ada seseorang yang sedang memandangku dari jauh, langsung ku lempar pandangan kearah kananku dan kulihat sahabatku langsung menunduk, aku mengira ini sudah menjadi kebiasaannya sejak lama, karena ini bukan pertama kalinya ia memandangku seperti itu.

***

Hari bahagia bagi kami angkatan tahun 2009 pun tiba, kami seangkatan lulus tepat waktu tak ada yang tertinggal dan saatnya menatap masa depan yang menantang kami para lulusan sekolah menengah kejuruan. Lagi-lagi sahabatku yang satu ini membuatku heran, ia cerdas dan mempunyai kesempatan besar untuk kuliah di Perguruan Tinggi Negeri namun ia tak berkeinginan ke sana, justru ia ingin mendapatkan kesuksesan dengan langsung terjun di dunia kerja dan memilih kuliah di Universitas Swasta yang memungkinkan untuk sambil bekerja.

Kami bekerja di tempat yang berbeda tapi sambil kuliah di universitas swasta yang sama, kami sering pulang kuliah bersama dan pada sore ini kami berniat berkunjung ke rumah kawan sekolah dulu, Raisa.

“Eh gue perhatiin kayaknya kalian berdua terus nih ciye ciye kayaknya ada yang modus nih hehe” kata raisa, awalan pembicaraan yang sama sekali tidak aku harapkan.

“Apaan sih sa, kita kan satu kampus jadi wajarlah kalo barengan hehe” sanggahku.

“Ya sudah, ini ngomong-ngomong gak disediain minum nih?” Yusuf menengahi.

“Eh iya gue sampe lupa, sori ya hehe gue bikini dulu minumnya” kata raisa.

Kami mengobrol ngalor ngidul tentang pekerjaan dan kuliah kami masing-masing, raisa temanku yang selalu tampil modis ini kuliah dengan jurusan desain, sejak sekolah dia memang sudah berbakat di bidang desain.

Sepulangnya dari rumah raisa, aku dan Yusuf melewati jalan yang becek dan berbatu, aku yang membonceng di belakang Yusuf agak sedikit khawatir dan benar saja Yusuf kehilangan keseimbangan dan kami pun terjatuh, Yusuf tampak panik dan berusaha menarik tanganku seraya memastikan bahwa aku baik-baik saja. Pakaian dan ranselku berlumuran lumpur, tapi yang aku khawatirkan adalah buku kuliahku yang berhamburan ke lumpur itu, segera kuraih buku itu dan syukur tak ada yang sampai rusak. Raut wajah Yusuf yang biasanya selalu tenang kini berubah, ini pertama kalinya ia terlihat seperti itu. Setengah perjalanan pulang ia menghentikan sepeda motornya, ia turun dari sepeda motornya,  meraih tanganku dan bertanya “ada yang luka ya? Maaf banget ya zah”, “ah gapapa cuma lecet doang” sambil melepaskan tanganku dari genggamannya. Kulihat wajahnya memerah “sori zah, gw gak bermaksud…”, aku hanya diam dan kami melanjutkan perjalanan pulang. Sesampainya di rumah aku bereskan buku-bukuku yang terkena lumpur, ada satu buku yang asing, itu bukan milikku, di halaman depan tertulis nama sahabatku, ah ternyata bukunya tak sengaja kumasukan ke dalam tasku juga.

***

Akibat kesibukan masing-masing kami jarang bertemu, bahkan hampir tidak pernah, bukunya yang ada padaku pun tak sempat aku kembalikan. Sampai tibalah hari kelulusan kami dan menyandang gelar sarjana, tak terasa kerja keras untuk membiayai pendidikan secara mandiri kini sudah mencapai pelabuhan. Acara wisuda kami selesai, suara riuh kini mulai hening, orang-orang yang berkerumun beringsut pergi, tapi aku tetap di sini memenuhi janji pada sahabatku untuk bertemu saat acara selesai. Jejak kakinya terdengar jelas, aku hafal dengan irama jejaknya yang cepat tapi terdengar halus.

“Sudah lama ya nunggunya?” tanyanya.

“Apa yang mau dibahas?” sahutku tak ingin berbasa-basi dengannya.

“Jadi kamu sudah baca buku catatanku?” ia bertanya lagi.

“Gue gak pernah baca buku lo suf, takut ada yang rahasia” jawabku.

“Sebenarnya aku mau kamu baca, makanya aku selipkan di ranselmu waktu itu” jelasnya.

“Apa maksudnya? Untuk apa?” tanyaku.

“Supaya kamu tahu perasaanku yang gak pernah berani aku ungkapkan ke kamu zah, bahwa aku mencintaimu” jawabnya dengan suara melemah, sepersekian detik wajahnya terlihat menjadi memerah, ini pertama kalinya kami terlibat dalam pembicaraan yang serius. Di luar dugaanku, ia tidak menginginkanku menjadi pacarnya, tidak. Kemudian ia sodorkan sebuah surat kepadaku, sekilas kubaca, jantungku berdegup kencang, ini kesekian kalinya aku dibuat takjub oleh sahabatku sendiri! Itu adalah surat yang berisi penerimaan beasiswa untuk melanjutkan S2 di Amerika. Tak mau berbasa-basi, ia merogoh kantung jasnya yang rapi, ia raih kotak merah berisi cincin yang mengkilat memantulkan cahaya lampu Auditorium.

“Zah maukah kau menikah denganku?” dengan mata berbinar ia menyodorkan cincin itu kepadaku. Alamak! Ada apa ini? Aku seperti mimpi.

“Bukankah kamu ingin melanjutkan kuliah? Lalu kenapa kamu melamarku juga di waktu yang sama? Jawabku gugup

“Aku sudah menemui kedua orang tuamu tanpa sepengetahuanmu zah, inilah cara terbaikku untuk perempuan seindah dirimu, bukan untuk menjadikanmu pacar dan membawamu ke jalan keburukan, dan kita akan pergi ke benua yang aku impikan bersama setelah menikah nanti” tegasnya dengan dahi yang mulai berembunkan keringat.

Aku tak tahu harus berkata apa, tapi selama ini hatiku sudah terpenjara pada hati seorang lelaki lain yang tak pernah kuceritakan padanya. Aku menolaknya, tanpa perbincangan dengan Rabb-ku terlebih dahulu, aku merasa keputusanku adalah yang terbaik. Entah sudah berapa lama ia mengurung perasaannya kepadaku, entah sudah berapa kali ia menikam hatinya hanya untuk mencintai aku yang tak pernah mencintainya. Aku jahat, memang. Sudahlah, bukankah hidup itu pilihan?

***

Lamunanku terhenti saat setetes hujan jatuh dari mataku tanpa izin, sedari tadi aku masih memandangi surat Yusuf yang pernah diberikan padaku dulu. Aku merasa sangat bersalah telah mengabaikan secarik surat yang indah ini, betapa ia sudah bersusah memendam perasaannya kepadaku. Terhitung sudah empat tahun sejak kami berpisah, ia merantau ke Amerika, tepatnya di Washington DC, tempat di mana ia merengkuh mimpinya tanpa aku; seseorang yang pernah menjadi harapannya untuk berlayar bersama dalam ikatan suci. Entah apa yang terjadi padaku saat ini, bisakah aku menyebut ini rindu? Mungkin iya.

Sejak aku terbangun, rasanya nyawaku belum juga bersatu dengan raga ini hingga sekarang. Aku tak pernah selesu ini kecuali saat aku membaca email dari Yusuf tempo hari. Setelah membacanya aku merasa bahagia, karena kamu sudah menemukan belahan jiwamu suf, meski terselip rasa yang tak kukenal meski ia adalah seorang yang tak pernah kuduga, yang diam-diam menggantikan aku di hatimu, meski ia adalah seorang Raisa. Aku menyadari kedekatan mereka saat aku lebih sering menerima kabar tentang Yusuf di Amerika dari Raisa, tapi aku tak menyayangkan kedekatan mereka justru berujung ke pelaminan. Aku tahu kau sangat menghargai persahabatan kita, tercermin saat dua tahun yang lalu kau mencoba menghubungiku berkali-kali namun tak kujawab karena kerepotanku sebagai penerjemah. Barangkali saat itu kau ingin mengabarkan ihwal pernikahanmu dengannya, tapi aku tak sempat untuk mengetahuinya suf, aku merasa gagal menjadi seorang sahabat.

Sore ini, rasanya kakiku sangat berat melangkah menuju pantai; tempat di mana aku, Yusuf, dan Raisa bersepakat untuk bertemu kembali. Namun sungguh aku tak punya hati jika masih saja tidak menghiraukan ajakan dari sahabatku dan istrinya, akupun memaksakan diri. Alangkah kagetnya ternyata mereka tidak berdua, ada personil baru dalam kehidupan mereka, malaikat kecil yang mereka beri nama Azizah, sama dengan namaku. Aku mencubitnya halus, lalu ia tertawa malu dan memeluk ayahnya, Yusuf. Kami duduk bersama di antara sore nan cantik dan deburan ombak pantai yang mulai meninggi.

Sekali lagi aku melihat senyum Yusuf dan tatapannya yang lembut, tapi kali ini bukan tersenyum dan menatapku, tapi istrinya. Aku memangku Azizah, sedangkan mereka berdua bersenda gurau seolah tidak menghiraukan kedua Azizah yang duduk di samping mereka. Sungguh, ada perasaan ngilu yang membuatku setengah menggigil saat melihat mereka bercanda. Mungkinkah aku cemburu? Entahlah. Kami memutuskan untuk menginap di sini, di salah satu villa yang kami sewa untuk menikmati indahnya kembang api saat pergantian tahun di pinggir pantai. Saat makan malam, sekonyong-konyong Yusuf menyerangku dengan pertanyaan yang membuat darahku berdesir:

“Jadi bagaimana hubunganmu dengan lelaki yang dulu kau ceritakan padaku zah?” tanyanya dengan senyum khasnya.

“Kami sudah berpisah suf, karena satu hal yang tak bisa kuceritakan padamu dan Raisa” jawabku sambil menahan diriku agar terlihat tegar.

“Ya sudah, namanya juga pacaran, apapun bisa terjadi. Semoga kamu berjodoh dengan laki-laki yang lebih baik darinya dan… dariku juga zah” balasnya dengan nada yang datar.

Perkataannya sampai lesap ke batinku, kamu benar suf, dalam pacaran apapun bisa terjadi. Tapi yang lebih menikam hatiku adalah ketidakyakinanku bahwa aku akan menemukan laki-laki yang lebih baik atau setidaknya yang sebaik dirimu dalam mencintaiku suf. Memang, aku bodoh, aku menyia-nyiakan lelaki shalih nan baik demi mempertahankan lelaki yang tidak sungguh-sungguh mencintaiku. Malam ini kita saksikan lagi kembang api yang cantik, lebih cantik dari beberapa tahun silam saat semua tak sebiru ini, saat aku masih menikmati cintamu yang tersamarkan oleh persahabatan. Kamu merangkul istrimu dan menggendong Azizah kecil, sembari menyaksikan kembang api itu, sedangkan aku, merangkul kehampaan dan menggendong harapan, sembari menyaksikan pantulan kembang api di matamu.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswi Sastra Inggris di Universitas Pamulang, Sedang belajar Menulis, berharap membawa manfaat melalui tulisan.

Lihat Juga

Gaza Eksekusi Mati 3 Orang Mata-Mata Israel

Figure
Organization