Topic
Home / Berita / Analisa / Konferensi Jenewa II dan Impian Perdamaian Suriah

Konferensi Jenewa II dan Impian Perdamaian Suriah

Ilustrasi - Peta Suriah (inet)
Ilustrasi – Peta Suriah (inet)

dakwatuna.com – Dalam pertemuan Komunike 2012 bertemakan Solusi untuk Konflik Suriah di Jenewa tanggal 30 Juni 2012 lalu, menghasilkan ide pembentukan pemerintahan transisi di Suriah yang diisi oleh perwakilan masing-masing kelompok yang bertikai, baik dari rezim Assad maupun Oposisi Suriah. Pemerintahan sementara ini kemudian diharapkan dapat menyelenggarakan pemilu dalam waktu dekat. Adapun nasib Basyar Assad, akan ditentukan oleh rakyat Suriah sendiri. Dengan kata lain, Assad tidak akan disertakan di dalam pemerintahan transisi maupun dalam pencapresan pemilu mendatang.

Konferensi yang kala itu diikuti oleh 5 negara anggota tetap DK PBB serta beberapa negara Timur Tengah berakhir buntu; alasannya adalah pertama, dua negara berpengaruh yang berada di dalam anggota tetap DK PBB; Rusia dan Cina menolak ide dibentuknya pemerintahan transisi tersebut. Dengan pertimbangan, usulan dari Utusan Internasional, Kofi Annan yang didukung oleh Amerika ini tidak memposisikan Basyar Assad sebagai pihak yang dilibatkan dalam pembentukan pemerintahan transisi. Dan lebih “menggantungkan” nasib Assad kepada rakyat Suriah. Sebagai negara yang selama ini dikenal sebagai pendukung rezim Assad, usulan tersebut tentu ditolak mentah-mentah.

Kedua, perlu kajian mendalam mengusulkan tercapainya pemerintahan transisi bersama dari kubu Oposisi yang menyatu dengan kubu rezim Assad yang selama ini tela membantai sanak keluarga mereka. Karena dalam kondisi perang seperti ini, pihak rezim Assad harusnya bertanggung jawab di Pengadilan Internasional, karena telah melakukan kejahatan kemanusiaan di Suriah dengan korban tewas lebih dari seratus ribu jiwa. Dengan melakukan kerjasama dengan kubu rezim dikhawatirkan ke depannya tidak akan mampu menyeret pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap pembantaian selama ini ke Pengadilan Internasional.

Dua tahun berselang, kini Amerika dan Rusia menggagas kembali Konferensi Jenewa lanjutan, mencarikan solusi untuk konflik Suriah yang sudah berlangsung kurang lebih selama 3 tahun. Konferensi yang digelar pada tanggal 22 Januari 2014 di Jenewa, Swiss ini membawa misi besar, yakni menghadirkan kubu Oposisi Suriah dan pihak Rezim Assad dalam satu meja perundingan.

Tidak adanya jaminan konferensi ini akan memberikan solusi, menyebabkan timbulnya perbedaan pendapat di internal Koalisi Nasional Suriah; payung organisasi Oposisi Suriah yang berpusat di Istanbul, Turki. Mereka berbeda pendapat dalam menentukan sikap, antara mengirimkan delegasi atau memboikot konferensi ini. Namun hasil voting di kubu Oposisi menunjukkan mayoritas mereka sepakat ikut serta dalam Konferensi Jenewa. Ancaman dari Amerika dan Inggris sepertinya juga menjadi pertimbangan mereka. Karena kedua negara berpengaruh ini mengancam tidak akan mendukung kubu Oposisi baik materi maupun non-materi jika mereka menolak hadir dalam konferensi Jenewa II.

Konferensi Jenewa Hadirkan Solusi?

Kubu Oposisi terbelah. Mereka tidak bulat memberikan dukungan Koalisi Nasional Suriah untuk turut serta dalam Konferensi Jenewa II. Bahkan tidak sedikit dari faksi Oposisi yang berada di bawah National Coalition for Syrian Revolutionary and Opposition Forces (NCS RO) ini kemudian memisahkan diri. Sikap ini dapat dimaklumi dengan beberapa alasan. Pertama, perundingan damai yang diajukan oleh DK PBB akan berujung kepada opsi Pemerintahan Transisi yang melibatkan kedua belah pihak. Sedangkan pihak Oposisi memiliki syarat mutlak, bahwa pemerintahan Suriah ke depan harus bersih dari rezim Assad. Dengan kata lain rezim Assad harus dijatuhkan terlebih dahulu. Ini akan menjadi pilihan berat bagi DK PBB sendiri, terutama bagi Rusia dan Cina. Kalau permintaan mundurnya Assad dari kursi kepresidenan tidak dikabulkan, maka pertemuan tersebut dinilai sia-sia belaka.

Basyar Assad sendiri dalam sebuah wawancara terbaru dengan Kantor Berita Perancis (AFP) pada hari Ahad, (19/1/2014) di Damaskus menegaskan, bahwa dirinya akan tetap mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilu mendatang, dan ia sangat yakin peluang itu sangat terbuka lebar. Pernyataan ini memberikan sinyal kuat bahwa rezim Assad tidak akan membiarkan Oposisi dengan mudah menggulingkan pemerintahannya. Lebih jauh Assad dalam kesempatan itu menyatakan, bahwa pihak Oposisi baginya adalah agen-agen asing yang menarik pasukan dari luar Suriah dengan mendapat sokongan negara Barat, Turki dan Saudi Arabia. Alasan ini yang membuat Assad membenarkan adanya bantuan militer dari tentara Syiah Hizbullah Lebanon terhadap pemerintahannya guna mengusir kekuatan asing yang kemudian ia sebut sebagai teroris.

Kedua, dengan menuruti permintaan pihak asing dalam hal ini pilihan dalam konferensi tersebut, secara tidak langsung telah menyebabkan Oposisi berada dalam permainan pihak luar, dalam hal ini Amerika dan sekutunya. Dengan demikian Oposisi Suriah tidak dapat menentukan nasib dari negerinya sendiri, baik untuk pilihan menggulingkan rezim Assad maupun masa depan Suriah sepeninggalan Assad. Dan tidak ada sejarahnya penawaran yang diberikan Amerika bernilai cuma-cuma, selalu ada konsekuensi dari bantuan mereka.

Ketiga, tidak adanya keseriusan dari pihak DK PBB dalam mengatasi permasalahan kemanusiaan yang terjadi di Suriah. Ribuan tawanan baik anak kecil maupun perempuan dibiarkan masih tertawan di penjara-penjara rezim Assad dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Bahkan dunia internasional-pun masih ragu menempatkan Assad dan tentaranya sebagai pihak yang harus bertanggung jawab terhadap pembunuhan sadis sipil Suriah yang berlangsung sejak awal meletusnya Revolusi pada bulan Maret 2011 hingga sekarang.

Ketidaktegasan inilah yang memberikan sinyal adanya perlindungan terhadap rezim Assad, sehingga kelak hukum internasional-pun akan sulit menyentuhnya. Membiarkan Assad berkuasa sama saja dengan memperpanjang penderitaan rakyat Suriah. Sedangkan Assad dengan tegas menyatakan tidak akan lari dari Suriah, dan siap mempertahankan kekuasaannya apapun resiko yang harus ia hadapi.

Keempat, Kalau pun pemilu yang diusulkan oleh DK PBB atas kesepakatan kedua belah pihak baik rezim maupun Oposisi nampaknya akan sulit dilakukan. Mengingat Suriah sepertinya akan menutup diri dari kehadiran pihak luar untuk melakukan pantauan pemilu, dengan kata lain penyelenggaraan pemilu akan sangat mudah dimanipulasi oleh rezim, Basyar Assad sendiri bisa jadi masuk ke dalam bursa capres. Hal ini memungkinkan karena baik Rusia dan Cina, terlebih lagi Iran mensyaratkan Assad tetap dengan hak-haknya. Yakni tidak diturunkan dari posisinya sebagai presiden dan berhak menyalonkan diri dalam pilpres mendatang. Sedangkan kubu Oposisi apabila mengikuti pemilu bersama dengan kubu rezim dikhawatirkan akan sangat mudah terpecah belah, mereka akan sulit dalam mengajukan calon tunggal. Perpecahan ini akan menggembosi suara Oposisi dan Assad berpotensi besar terpilih kembali memimpin Suriah dengan dalih suara mayoritas melalui pemilu yang demokratis.

Menyetujui opsi pemilu tanpa lebih dulu menumbangkan atau minimal tidak menyertakan rezim Assad dalam pemilihan akan menjadi opsi yang suram bagi Oposisi. Maka tak salah jika misi besar yang dibawa oleh delegasi Oposisi dalam Konferensi Jenewa kali ini adalah melengserkan Asad terlebih dahulu dari kursi kepresidenan sebelum beralih ke pembicaraan selanjutnya.

Pertanyaan yang sekaligus menjadi harapan sekarang adalah: Akankah Rusia dan Cina, atau bahkan Iran rela melepaskan posisi Basyar Assad dari kursi presiden Suriah sebagai solusi perdamaian di sana, mengingat Assad dan rezim sudah sangat lemah sehingga memaksanya bergantung kepada pihak luar, baik dari segi persenjata maupun tentara, seperti dari Hizbullah Lebanon, Iran ataupun Rusia? Kalau pihak-pihak yang selama ini berambisi mempertahankan rezim Assad di Suriah melepaskan campur tangannya, maka bukan mustahil pertumpahan darah akan segera berakhir dan dendam di antara kedua belah pihak yang bertikai dapat segera terhapuskan. Sehingga perdamaian bukan lagi menjadi mimpi belaka bagi warga Suriah, namun terwujud dalam kenyataan. Dan Konferensi Perdamaian yang digelar ini bukan sekadar pertemuan biasa, namun menghasilkan solusi perdamaian yang hakiki demi terwujudnya Suriah baru. Semoga.

Redaktur: Samin Barkah

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Alumnus Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir. Peneliti di Pusat Studi Islam Wasathiyah dan Aktivis Palestina di LSM Asia-Pacific Community For Palestine

Lihat Juga

Erdogan Bantah Turki Berniat Kuasai Wilayah Negara Lain

Figure
Organization