Topic
Home / Narasi Islam / Artikel Lepas / Sebab Aku Mencintaimu Melebihi Jiwa Ragaku

Sebab Aku Mencintaimu Melebihi Jiwa Ragaku

Ilustrasi (wallpapermixs.blogspot.com)
Ilustrasi (wallpapermixs.blogspot.com)

dakwatuna.com – Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam kepada hamba dan rasul-Nya, Muhammad Salallahu alaihi wassalam dan ahli keluarganya. Ama ba’du.

Terus terang, aku tidak dapat berlaku netral dalam menulis tentangmu, ya Rasulullah sebab aku mencintaimu melebihi jiwa ragaku. Aku telah terpenjara dalam cinta untukmu, maka apakah mungkin aku berteriak sementara lidahku kelu dalam mengagumimu. Keterpesonaanku padamu, ya Rasulullah, adalah Abu Bakar yang membiarkan seekor kala jengking menggigitnya semata agar engkau tak terjaga dari tidurmu. Abu Bakar sadar, perjalanan dakwahmu sangatlah berat, namun engkau tetap memilih untuk terus membawa obor dakwah itu. Ya Rasulullah, engkau tak mau meminta Allah untuk membinasakan masyarakat penentangmu semata karena engkau adalah rahmat cinta bagi alam semesta ini. Bukankah Abu Bakar juga pernah berkata, “ketika al-musthafa berada di hadapanku, kupandangi pesonanya dari ujung kaki ke kepala. Tahukah kalian apa yang menjelma? Cinta!”

Sebab aku mencintaimu melebihi jiwa ragaku, maka aku tidak akan berkomitmen untuk berlaku netral. Aku tidak sedang berbicara tentang seorang raja yang menaklukkan rakyatnya dengan pedang dan cambuknya, dan – dengan itu – ia menakut-nakuti setiap orang dengan kekuasaan dan otoriterenisme-nya, tetapi aku tengah berbicara tentang seorang yang ma’sum, bebas dari dosa yang Allah telah lapangkan dadanya, dihapuskan semua rasa kebenciannya dan dimuliakan kedudukannya.

Aku juga tidak diwajibkan untuk bersikap tidak netral karena aku tidak sedang berbicara tentang tokoh penyair yang terkenal, pengkhotbah yang pandai mengobral, penceramah yang ulung, filsuf yang agung, novelis yang pandai mengkhayal atau saudagar dan pedagang yang kaya raya, tetapi aku tengah berbicara tentang khatamun nabiyyin (penutup segala kenabian), yang diturunkan padanya wahyu, dan datang padanya malaikat Jibril.

Nabi yang telah sampai ke sidratul muntaha, memiliki keistimewaan untuk memberi syafaat kelak dengan posisinya yang sangat tinggi, terpuji, dan berjumpa dengannya menjadi impian setiap orang. Bagaimana mungkin aku harus berlaku netral? Apakah kalian ingin aku menahan emosi ini, untuk sekadar membatasi keterkaguman dan ketertarikanku yang telah dipancangkan ke lubuk hati ini sementara aku tengah menulis tentang orang yang sangat aku cintai, dan orang itu adalah orang yang paling mulia? Sekali lagi aku katakan tidak!

Sebab cintaku padamu laksana wanita Anshar yang bertanya tentangmu setelah perang Uhud. Dikisahkan, saat perang Uhud, banyak di antara sahabat Rasulullah yang terbunuh. Rasulullah sendiri terluka parah, bahkan beredar rumor bahwa beliau gugur dalam perang itu. Kabar itu mengejutkan para wanita muslimah di Madinah dan banyak di antara mereka yang keluar dari rumah, untuk mencari berita yang sebenarnya. Seorang wanita Anshar melihat seseorang datang dari medan Uhud.

Wanita itu mendekati laki-laki tersebut dan menanyakan kabar Rasulullah. Karena laki-laki itu mengetahui bahwa Rasulullah dalam keadaan aman dan dia tidak sangsi lagi akan keselamatan beliau, ia menjawab, “Bu, ayah Anda tewas dalam perang.” Betapa menyedihkan berita itu! Ia terhenyak tetapi wanita Anshar itu cepat menguasai diri, dan bertanya lagi, “Bagaimana nasib Rasulullah? Apakah beliau masih hidup?” Lagi-lagi, lelaki itu tidak menjawab pertanyaan wanita Anshar itu dan malah berkata, “Saudara Anda juga terbunuh.” Berita duka yang kedua kalinya! Tetapi wanita Anshar itu cepat tersadar dari kesedihannya dan ia mengulangi pertanyaannya. Lagi-lagi laki-laki itu menjawab, “Suami Anda juga gugur dalam perang.” Berita duka yang ketiga kalinya!

Wanita itu tetap tegar menerima berita itu dan dengan suara pilu ia berkata, “Aku tidak ingin menanyakan siapa di antara anggota keluarga yang terbunuh dan siapa yang masih hidup. Aku tidak menginginkan informasi itu sekarang. Tolonglah katakana kepada kami bagaimana nasib Rasulullah?” Laki-laki itu menjawab, “Rasulullah dalam keadaan aman.” Raut muka wanita Anshar itu sumringah, berseri-seri. “Pengorbanan (keluargaku) tidak hilang sia-sia,” kata wanita Anshar itu terharu.

Sebab, aku mencintaimu melebihi jiwa ragaku, maka aku berusaha menulis tentang seorang yang menjadi tauladan, imam dan pemimpinku dalam setiap detail kehidupan ini. Ketika shalat, aku ingat dengannya. Sebab, dia berkata, “Shalatlah kalian seperti yang kalian telah melihat saat aku shalat”. Saat aku menunaikan ibadah haji, aku ingat dia, sebab dia berpesan, “Ambillah dariku cara manasik kalian”. Bahkan, pada setiap detik kehidupan, aku mengingatnya karena dia mengatakan “Barangsiapa yang menghindar dari (sunnah)ku, maka dia bukan bagian dariku.”

Kemudian Allah swt mengingatkan umat manusia dalam firman-Nya:

Sesungguhnya, telah ada pada diri Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah. (QS Al-Ahzab 21)

Referensiku dalam menulis tentangmu, ya Rasulullah, adalah daftar cinta yang tersimpan di lubuk hati ini, dan sumber inspirasiku adalah kumpulan kekagumanku yang tersusun rapi dalam arsip ingatanku. Maka, aku seperti tengah menulis dengan mengerahkan seluruh saraf tubuh ini, guratan hati ini, dan tinta yang kugunakan seakan darah dan air mataku sendiri.

Karena itulah, aku mengerti mengapa masyarakat Madinah menyambutmu dengan syair cinta dan bait rindu yang dianyam kain beludru ketaatan padamu.

طلع البدر علينا (*) من ثنية الوداع

وجب الشكر علينا (*) ما داع لله دعا

أيها المبعوث فينا (*) جئت بالامر المطاع

أنت غوثنا جميعا (*) يا مجمل الطباع

Telah datang bulan purnama bagi kita dari lembah Tsaniyah
Wajib bersyukur atas kita, atas apa yang telah Allah (kabulkan) segala doa
Wahai yang diutus pada kami, engkau datang membawa tuntunan yang benar
Engkaulah penolong kami semua, wahai (rasul) yang memiliki perilaku menyenangkan.

Semua itu, ya Rasulullah, sebab aku mencintaimu melebihi jiwa ragaku. Wallahu’alam bis shawab.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Menyelesaikan pendidikan dasar di Pondok Pesantren Attaqwa, Bekasi. Lalu melanjutkan studi ke International Islamic University, Pakistan. Kini, dosen di Fakultas Hukum Universitas Djuanda, Bogor. Email: [email protected] Salam Inayatullah Hasyim

Lihat Juga

Semusim Cinta, Ajang Menambah Ilmu dan Silaturahim Akbar WNI Muslimah Se-Korea Selatan

Figure
Organization