Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Mengurung Rindu

Mengurung Rindu

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (inet)
Ilustrasi. (inet)

dakwatuna.com

Saya percaya semuanya akan terlatih

Seperti dirimu dulu, yang terlatih memenjarakan asa

Maka, perjuangan ini, pasti membuatmu mahir mengurung rindu

Murni pandangi lagi kertas itu. Sebuah kertas putih seukuran KTP. Di sisinya ada bekas sobekan. Sangat kentara kalau kertas itu diambil dengan tergesa atau…terpaksa. Belum lagi tulisannya yang pudar karena terkena air. Entah air apa. Terlalu banyak air yang dilihatnya ketika sebuah tangan menyodorkan kertas mungil itu. Air becek yang membasahi sandalnya, air hujan yang jatuh dari balik payungnya bahkan air mata yang turut berderai. Tangan itupun, tak luput dari air hujan yang turun begitu deras kala itu. Meski si empunya kertas berusaha melindungi kertas tersebut.

Dan kali ini, de javu. Perasaan itu kembali hadir. Kertas yang sama juga menemani. Meski tak seputih dulu. Bukan. Bukan dulu. Bagi Murni kata “dulu” terdengar sangat lama. Maka, bukan kosakata itu yang tepat untuk penggambaran kondisinya. Baginya, tiga tahun itu bukan dulu atau lalu. Tapi, baru. Ya…baru tiga tahun. Tepatnya dua tahun tiga ratus enam puluh hari.

Ah…benarkah sudah selama itu? Lalu, mengapa hingga kini rasanya ia belum begitu mahir…mengurung rindu? Untuk orang tuanya yang wafat tiga tahun lalu, ia memang sudah sangat mahir. Sebab, merengkuh mereka memang sudah tidak mungkin lagi. Maka, mengurung rindu dalam doa menjadi pemenang secara aklamasi. Tak ada pilihan lain. Kalaupun ada, itu hanya sampai pada berziarah ke kubur saja.

Tapi mengurung rindu selama dua tahun tiga ratus enam puluh hari hingga waktu yang tak dapat dipastikan, apakah ia bisa? Bukankah kata yang tepat untuk kondisinya adalah “dulu” bukan “baru”?  Kenapa tak dibuangnya saja tulisan itu? Kenapa harus disimpannya sedemikian lama? Toh tulisan itu ditujukan padanya agar ia bisa tegar hidup sebatang kara. Tanpa orang tua. Artinya, dia sudah mahir.

Pemberi tulisan itu bukan bermaksud agar Murni bisa kompromi dengan kondisinya, enam hari kemudian. Menghilang tanpa kabar. Ah ya…sebelumnya memang ada kabar. Pemberi tulisan itu, seorang pria berrahang kukuh, pergi dalam tugasnya untuk memberi kabar ke dua anaknya bahwa ia sudah menemukan ibu untuk dua putranya di Luwuk sana. Sebuah ibukota Kabupaten yang berjarak sekitar 600 km dari kota Palu, ibu kota Sulawesi Tengah.

Murni masih bisa mengingat dengan jelas, warna merah wajahnya dari pantulan cermin. Berkali-kali ia meyakinkan diri di depan cerminnya, bahwa ia akan melakukan proses ta’aruf. Dipandanginya lagi wajahnya, sungguh bukan wajah yang biasa-biasa saja. Lesung pipit dan bibirnya yang merah bak bunga mawar meski tanpa polesan lipstick menjadi anugerah alami yang dibawanya sejak lama. Walau guratan di sekitar matanya tak bisa berbohong akan kuantitas umurnya yang tak lagi sedikit. Umurnya sudah empat puluh tahun ketika itu.

Murni sadar bagi mayoritas orang di sekelilingnya menganggap, jika ia menikah maka itu suatu keajaiban. Tapi, sedikit pun ia tak pernah pesimis. Meski guratan keriput mulai menguras sedikit demi sedikit kulit kencangnya. Hingga Seorang sahabatnya mengabarkan berita bahagia yang hampir tak dapat ia percaya. Seorang pria berniat melakukan prosesi ta’aruf dengannya. Umurnya memang dua tahun lebih muda darinya dan pria itu seorang…duda.

“Suamiku bertemu dengannya di masjid Al-firdaus. Teman lamanya waktu masih tinggal di Palu. Sekarang so kerja di Banggai. Begitu tahu status resminya dan bincang panjang lebar, suamiku langsung menawarkan anti. Alhamdulillah, ukh. Dia bersedia. Insya Allah hanif, ukh. Info hanifnya bukan hanya dari suamiku loh tapi dari kakaknya juga. Kakaknya, akhwat kok eh ummahat maksudnya. Mau ya, ukh?”

Itu kalimat panjang yang masih bisa diingat oleh Murni dalam percakapan melalui telepon. Meski awalnya tak menyangka, ia akhirnya memberanikan diri untuk melakukan proses awal menuju pernikahan itu. Istikharah yang ia lakukan, meyakinkan dirinya untuk mencobanya. Ta’aruf.

Namun, musibah itu datang tanpa permisi. Orang tuanya kecelakaan. Keduanya meninggal. Tepat di hari ia akan melakukan proses perkenalan itu. Bumi seakan runtuh menindih tubuhnya. Ia serasa tak berpijak di bumi lagi. Tapi, bukan Murni namanya jika ia tak mampu menguasai diri. Disapu-sapunya dadanya sambil beristigfar berkali-kali.

Semua panganan yang sudah sedia di ruang tamu, disingkirkan ke dapur. Karpet panjang di gelar. Rumah yang telah ia bersihkan bahkan diberinya pengharum ruangan rupanya bukan untuk prosesi mendebarkan itu. Namun, untuk menyambut jenazah kedua orang tuanya. Keluarga pemuda yang sudah kadung bertamupun akhirnya menjadi pelayat yang membantu menyingkirkan sofa di dalam rumah.

Murni tak lagi peduli dengan rombongan pertama yang datang ke rumahnya. Rombongan yang akan melakukan proses ta’aruf itu. Ia hanya peduli pada jenazah dua orang yang sangat dikasihinya dan terbaring kaku di ruang tamu. Ia tak meraung. Tak juga mengiba. Ia dapat menahan semua itu. Apalagi agamanya melarang hal seperti itu. Namun, air matanya tak dapat ditahannya. Ia menangis dalam diam.

Hingga di pemakaman yang diguyur hujan itu, sebuah tangan tiba-tiba muncul dari balik payungnya. Bukan menyodorkannya tisu untuk melap air matanya. Tapi sebuah kertas. Kertas yang dijaganya hingga kini. Ia memang tak pernah melihat wajah orang yang memberikannya kertas. Fokus matanya enggan beralih pada tanah makam yang basah. Meski belakangan ia tahu, bahwa tangan itu milik pria yang berniat melakukan proses ta’aruf dengannya.

Tapi, mengapa ia tak kunjung kembali? Mengapa ia begitu sulit dihubungi? Bahkan keluarganya menjadi sulit pula dihubungi?

Murni menghela nafasnya. Ia menatap pantulan wajahnya di cermin. Dia masih juga cantik. Untuk perempuan seumurannya, ia bahkan luar biasa cantik. Tapi, gurat keriput itu…oh, dia tak muda lagi. Dibuangnya kertas itu pada tong sampah di sebelah meja riasnya.

Kamu harus realistis, Murni. Katanya membatin.

Matanya beralih pada ponselnya. Sebuah pesan masuk dari sahabatnya. Tak langsung dibacanya. Ia memilih membaringkan tubuhnya di tempat tidurnya. Setelahnya, ia baru membaca pesan pendek itu.

Aslkm,ukh. Tamrin baru saja menghubungi suamiku. Dia menanyakanmu dan…menanyakan ada tidaknya peluang untuk melakukan proses ta’aruf yang tertunda lama itu.Ternyata dia sakit. Hampir setahun ia bolak balik rumah sakit.dan setahun belakangan ia tengah mengumpulkan uang untuk menikah.Saat ini dia di Makassar.Ah, pokoknya lengkapnya nanti kuceritakan pas kita bertemu.Bagaimana?

Murni membelalakkan matanya. Tamrin? Tamrin yang itukah? Pria itukah? Sakit? Makassar? Peluang? Ta’aruf? Beragam tanya mencuat seketika di kepalanya. Ya Rabb…kejutan apa ini? Pria itu sakit selama ini. Dan sudah berada semakin jauh dari tempatnya tinggal di Palu. Berada di Makassar, selama dua tahun tiga ratus enam puluh hari. Tanpa kabar karena sakit dan kini bertanya tentang peluang.

Cepat Murni bangkit dan menyongsong tempat sampahnya. Kertas itu masih ada. Kertas yang baru beberapa menit lalu dicampakkannya. Dipandanginya lama kertas tersebut. Kertas itu, peluang yang baru disudahinya. Dan pesan pendek sahabatnya membuatnya memungut kembali peluang itu.

Tapi, benarkah sikapnya?

Murni meraih telepon genggamnya. Perlahan namun pasti, ia mengetik sebuah pesan untuk sahabatnya.

Ya. Saya ke rumahmu. Skrg.

Keterangan:

So: sudah

Pas: setelah

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...

Tentang

Lulusan jurusan Ilmu Komunikasi di Universitas Tadulako yang juga pernah menjadi pengurus KAMMI Daerah Sulawesi Tengah periode 2011-2013. Pecinta makanan pedas yang mencintai dunia menulis sejak bangku sekola dasar.

Lihat Juga

Meraih Kesuksesan Dengan Kejujuran (Refleksi Nilai Kehidupan)

Figure
Organization