Topic
Home / Pemuda / Cerpen / Kita tak Selamanya Sama

Kita tak Selamanya Sama

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.
Ilustrasi. (Foto: turnlol.com / Ilda D. Garcia)
Ilustrasi. (Foto: turnlol.com / Ilda D. Garcia)

dakwatuna.com – Esok adalah hari pertama kalinya aku kembali bertemu dengan sembilan sahabatku. Rencananya kami akan berlibur selama tiga hari, tapi sepertinya hanya bertemu di kafe biasa yang sering jadi tempat favorit kami. Sayangnya Karin masih berada di London, dia belum bisa pulang ke Indonesia. Jadilah esok hanya aku dan delapan sisanya. Banyak yang berubah pada Karin, dia agak alim. Entah bergaul dengan siapa di sana, tapi dia lebih bahagia sejak putus dari kekasihnya. Syukurlah. Semoga esok menyenangkan.

***

Jam 1 siang di kafe. Aku sudah di sana dan memesan tempat untuk kami sebanyak sembilan orang. Mereka datang terlambat, batinku. Ah entahlah sepertinya aku mulai tak menyukai keterlambatan. Padahal sebenarnya saat SMA, kami sering sama-sama terlambat. Tapi ini lain, menurutku.

Tak lama kemudian mereka datang dua ronde. Pertama Putri, Vina dan Alvin. Mereka kelihatannya naik mobil. Pertemuan kami belum terasa hangat. Kedatangan mereka mulai meramaikan, seperti biasa Putri dan Vina cipika cipiki denganku. Tidak dengan Alvin, kami hanya ber-tosan ria. Mereka bertiga kelihatan berbeda.  Kuperhatikan dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan barang mewah dan brand mahal. Aku senang sebab Putri masih mengenakan kerudungnya selepas lulus SMA. Sama denganku, kerudungnya memang masih tipis.

“Udah lama Mik?” tanya Alvin sambil menarik bangku lalu duduk.

“Lumayan, sepuluh menit kira-kira. Macet ya Al?”

Alvin nyengir. “Nggak.” Sambil garuk kepala. “Guenya yang kelamaan mandi. Hehehe.” Lanjutnya dengan wajah konyol.

Selepas itu mereka bertiga bermain dengan gadget masing-masing. Mereka benar-benar berubah. Obrolan mereka bertiga pun arahnya aku tak pahami. Aku agak sedih. Tapi masih ada lima orang lagi yang belum datang. Aku mengira perubahan berapa derajat pun sangatlah wajar, aku memang harus bisa menerima kalau jarak memungkinkan satu atau semua di antara kita ini bergaul dengan siapa saja. Kita juga sulit sekali menjaga persahabatan ini.

“Mikaaaaaaaaaa!” seru Aldy. Lelaki berkumis tipis dan mengenakan celana jeans biru itu berlari kecil ke arah meja kami. Ku sambut dia dengan tos, sama seperti Alvin. Dia datang bersama Arga dan Dido. Menyusul di belakang mereka, Zahra. Rupanya Fika tak bisa datang, dia benar-benar sibuk dengan kuliahnya. Dia mengabari kami siang itu juga.

“Kalian apa kabar? Dy? Ga? Do?” tatapku bergantian pada tiga lelaki yang penampilannya tak berubah. Masih sesederhana saat SMA.

“Alhamdulillah, baik. Lo gimana Mik? Ikut apa lo di kampus? Lo kan suka ikut organisasi.” Jawab Arga.

Aku hanya bisa tersenyum. “Belom ikut apa-apa, nanti tingkat dua baru bisa ikut. Gue mau masuk BEM.” Kataku malu malu.

Detik berikutnya aku tertarik berlama-lama menatap Zahra yang sedang mengobrol dengan Aldy. Gadis itu sahabatku, dia tampak sangat berbeda dengan dirinya ketika SMA. Perempuan tomboy itu hari ini—di depanku—mengenakan rok jeans panjang tentu dengan atasan berlengan panjang. Dan, oh kini dia mengenakan kaos kaki! Aku keheranan. Kerudungnya juga tidak sama lagi dengan aku dan Putri. Dia melapis kerudungnya, panjang kain dari bahunya sejengkal. Sempurna menutupi dada. Cantik sekali dia.

“Ra, kayaknya ada yang berubah dari lo.” Celetuk Vina. Ditaruhnya iPad mini di meja, kini matanya tertuju pada Zahra. Tidak hanya Vina, kami semua tertuju pada Zahra.

Zahra tersenyum. “Berubah gimana maksudnya Vin?”

“Dulu lo kan kerudungnya kayak gue. Sekarang kok nggak?” sambar Putri.

“Pakai rok juga. Nggak ribet, Ra?” selaku.

Zahra terlihat tenang saja. Kemudian katanya, “Ternyata lebih nyaman begini. Nggak ada yang ganggu.” Sederhana memang. Dia juga kelihatan nyaman saja dengan pakaiannya.

“Tapi lo nggak ikutan aliran sesat gitu kan Ra? Lo nggak abis dicuci otak kan? Hati-hati lo kena jaringan teroris gitu gitu?” kata Aldy tiba-tiba.

Zahra tertawa kecil. “Kalian ini. Ya nggaklah, gue nggak merasa kena hal-hal yang lo bilang kok Aldy. Gue juga nggak ribet, Mika. Putri, kalau cuma satu helai rambut gue kelihatan. Sama aja kayak nggak pakai kerudung.” Tuturnya.

Kami saling berpandang lalu tertawa.

“Subhanallah ya.” Kata Arga. “Eh Ra, sekarang gue udah lumayan loh. Nih lihat…” Arga menyodorkan ponselnya pada Zahra. Dilihat sebentar saja kemudian Zahra tersenyum dan mengopernya padaku. Di sana tertera target harian Arga, dimulai dengan shalat tahajjud. Aku tertegur. Apa yang berubah padaku?

“Keren, Ga. Keren.” Zahra sumringah sambil mengacungkan jempolnya.

“Guys, sebentar ya. Gue ada telepon.” Kata Alvin yang lantas pergi.

“Sejak kapan kalau ada telepon dia pergi? Kayak orang penting aja.” Dido mengerutkan keningnya.

“Pacarnya telepon itu.” Kata Aldy.

“Hah? Pacar?” aku terkejut mendengar perkataan Aldy barusan. Setahuku Alvin sudah agak terisi ruhaninya, sejak memfollow akun beberapa ustadz di twitter. Kok sekarang? Semua berbeda. Ya, kini semua berbeda. Berbeda.

Aku tahu Zahra melihatku dan mengerti saat aku terkejut tadi.

“Aldy juga udah punya pacar sekarang. Arga balikan sama Dila.” Sambar Putri. “Lo doang yang nggak ada pacar, Mik. Hahaha.” Tawanya meledek.

Zahra ikut tertawa. “Parah lo Put. Haha. Tapi kalian kalau mau punya pacar silakan aja, nggak usah gara-gara gue nggak mau pacaran kalian jadi terbebani.”

Zahra mengingatkanku pada persahabatan ini saat masih SMA. Kami semua rombongan jomblo yang sakit hati. Setiap hari agenda kami seolah pengobatan hati, kegiatannya mencari hal hal positif yang menyenangkan. Zahra paling kuat di antara kami bersepuluh. Mulanya dia yang paling patah hati. Sebab orang yang ditaksirnya meninggal karena kecelakaan sebelum mereka sempat ada kata jadian. Aku tak tahu apa yang membuatnya berubah, sejak kuliah dia berubah perlahan. Dan saat ini dia sudah total.

Suasana agak hening. Tak ada yang bicara.

“Lo kalau mau pacaran lagi ya nggak apa, Mik. Nggak usah sok nemenin gue ngejomblo, santai aja. Haha.” Tambah Zahra lagi. Matanya agak berkaca-kaca, aku tahu ada kecewa tersirat di wajahnya. “Gue jomblo bukan buat kalian kok.” Senyumnya mengembang. Sementara yang lain mulai terenyuh. Dido tak banyak komentar, sejak datang tadi dia agak pendiam. Tak sering melucu seperti dulu. Seperti ada sesuatu yang sama yang membuat Dido dan Zahra berubah, terlihat lebih halus dan alim.

“Persahabatan terhenti ketika udah nggak ada lagi yang dibagi di antara kita. Nggak ada lagi yang di ceritakan ke kita dan nggak ada lagi perhatian dari semua di dalam kita. Gue nggak tau, apa yang membuat kita semua berubah. Wajar kok kalau semua berubah. Gue bukan lo dan lo bukan gue. Gue juga nggak ngerti apa kita masih bisa dibilang bersahabat. Setelah nggak ada komunikasi intens…” akhirnya kalimat itu terucap dari mulutku.

“Ya terus lo maunya gimana Mik?” Vina agak sewot.

“Bukan tentang maunya Mika, Vin.” Arga ikut bicara. “Ini tentang kita.”

Alvin kembali ke tengah tengah kami dengan tatapan bingung. Nggak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.

“Udah, nggak usah diperpanjang. Kita siang ini mau reuni kan? Mau makan kan?” kata Dido.

“Gue tau Mik, lo kecewa. Lo merasa ditinggal. Gue juga, jujur aja. Tapi meskipun ditinggal, kita nggak boleh meninggalkan yang lain kan? Kalau gue berubah menurut kalian, sebenarnya gue berharap kalian juga lebih baik. Kalau memang nggak bisa atau belum bisa, ya mungkin iman gue benar-benar di tingkat paling rendah. Gue terima kok kalau kalian semua jauh dan menjauh. Nggak nyaman lagi sama kita yang dulu bersepuluh, jadi hanya main yang butuh butuh aja. Nggak apa.” Tutup Zahra dengan senyum.

Kurasa Zahra benar, tapi kini aku tak bisa bicara lagi. Sepertinya aku harus belajar banyak dari Zahra.

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (No Ratings Yet)
Loading...
Mahasiswi Politeknik Negeri Jakarta, Jurusan Teknik Grafika Penerbitan. Sulung dari 5 bersaudara ini memiliki motivasi yang tinggi dalam menulis. Modal utama menulisnya adalah rasa. Pernah bercita-cita menjadi dokter. Sedang berusaha membersihkan partikel tidak penting di hidupnya dan ingin sekali membahagiakan orang tua.

Lihat Juga

Berdiri Bersamamu

Figure
Organization