Topic
Home / Narasi Islam / Resensi Buku / Menuju Jama’atul Muslimin

Menuju Jama’atul Muslimin

Konten ini adalah kiriman dari pembaca dakwatuna.com. Kirimkan informasi, gagasan, pemikiran, atau pendapat dari Anda dalam bentuk tulisan kepada kami, klik di sini.

Judul Asli: ath-Thariq ila Jama’atil Muslimin
Judul Terjemahan: Menuju Jama’atul Muslimin
Penulis: Hussain bin Muhammad bin Ali Jabir
Penerbit: Robbani Press – Jakarta
Tebal: xix + 429 Halaman; 23,5 cm
ISBN: 979-9078-88-1

Cover buku "Menuju Jama’atul Muslimin".
Cover buku “Menuju Jama’atul Muslimin”.

dakwatuna.com – Puncak kemunduran politik Islam terjadi ketika runtuhnya Khilafah Turki Utsmani tahun 1924 oleh Musthafa Kamal at-Taturk. Setelah itu, kaum muslimin di berbagai belahan bumi semakin terpuruk dan berada di dasar kehancuran. Memang, ketika itu bermunculan aneka harakah Islam dengan semangat kembali mewujudkan kejayaan Islam masa lalu.

Dalam tahap ini, sebagai kaum muslimin, kita harus bersikap aktif dalam berkontribusi demi tercapainya cita-cita bersama kaum muslimin, yaitu tertegaknya Islam di seluruh belahan bumi. Upaya ini, haruslah dicapai dengan sungguh-sungguh karena pekerjaan yang dilakukanpun pekerjaan besar dan ditempuh dalam waktu yang panjang, dalam bilangan waktu yang tak terhingga.

Terkait kehadiran harakah itu, hanyalah salah satu sarana untuk terwujudnya Jama’atul Muslimin yang merupakan kumpulan kaum muslimin yang mempunyai cita-cita dan kehendak mulia dalam menegakkan Islam di seluruh lapis kehidupan. Dalam tahap ini, nama tak lagi penting, apalagi hanya baju kelompok. Karena universalitas Islam, adalah hal utama yang diperjuangkan.

Jama’atul Muslimin sendiri diartikan sebagai sekumpulan ulama’ (ahlul aqdi wal hilli) yang bersepakat untuk mengangkat seorang pemimpin (khalifah) umat, dan umat pun mengikuti mereka. Jama’atul Muslimin ini memiliki kedudukan yang sangat penting dalam tubuh kaum muslimin. Karena dengan adanya jama’atul muslimin, maka hak-hak kaum muslimin untuk hidup damai dan sejahtera bisa terwujudkan. Salah satu hadits yang menunjukkan tentang pentingnya jama’atul muslimin ini adalah sebagaimana disebutkan oleh Umar bin Khaththab dari Jabir Radhiyallahu ‘anhu, “Umar pernah berkhutbah di hadapan manusia, “Barangsiapa di antara kamu menginginkan kenikmatan surga, maka hendaklah ia senantiasa berkomitmen dengan jamaah.”” (Hal 41)

Untuk menuju jama’atul muslimin ini, diperlukan jalan panjang dan perjuangan yang tidak mudah. Hal pertama yang harus dilakukan setelah ikhlas dan ilmu, adalah mengetahui karakteristik umat. Bahwa umat Islam ini memiliki ciri-ciri dan titik di mana kita bisa mempersatukan mereka dalam satu payung. Di antara unsur kesatuan umat ini adalah aqidah, ibadah, adat dan perilaku, sejarah, bahasa, jalan, dustur, dan kesatuan pimpinan. (Hal 64-68)

Selanjutnya, perlu juga dipahami tentang peranan syura (musyawarah) dalam kehidupan kaum muslimin, dimulai dari sejak zaman Rasulullah. Di mana syura dilakukan oleh sebuah majelis ulama’ yang memiliki anggota dengan ciri-ciri, sebagaimana disebutkan oleh Imam Mawardi, yaitu ‘adalah (adil), mempunyai ilmu dan keahlian dalam masalah yang dimusyawarahkan serta cerdas dan bijaksana dalam memilih pendapat. (Hal 95)

Majelis Syura inilah yang kelak menjadi representasi kaum muslimin untuk memilih pemimpin tertinggi kaum muslimin yang banyak diistilahkan dengan imamah, khalifah, amirul mukminin, dan sejenisnya.

Terkait sosok pemimpin tertinggi kaum muslimin ini, ada banyak syarat yang harus dimiliki. Sebagaimana disebutkan dalam al-Ahkam Shulthoniyah, Imam Mawardi menyebutkan 7 syarat seseorang layak menjadi pemimpin kaum muslimin. Yaitu ‘adalah (adil) berikut semua persyaratannya, ilmu yang mengantarkan kepada ijtihad dalam berbagai kasus dan hukum, sehat seluruh panca inderanya, tidak memiliki cacat anggota badan yang bisa menghalangi dirinya dalam gerak dan kerja, mempunyai pandangan yang bisa mengantarkan pada kebijakan untuk masyarakat, mempunyai keberanian dan kegigihan dalam melindungi kawan dan memerangi lawan, berketurunan Quraisy. (hal 119-122). Terkait syarat ketujuh ini, ulama’ kita berbeda pendapat.

Lantas, jalan apa yang seharusnya ditempuh untuk mewujudkan kepemimpinan tertinggi kaum muslimin ini?

Jalan utama yang harus digunakan untuk menuju jama’atul muslimin adalah dengan melakukan dakwah oleh setiap kita. Bahwa dakwah adalah pekerjaan yang bisa dimulai dari diri sendiri, keluarga dan masyarakat secara umum. Dakwah juga bisa dilakukan di semua lini kehidupan. Bukan hanya di masjid, tetapi juga di pasar, kantor pemerintahan, sekolah dan sebagainya. Tentu, dakwah yang dimaksud adalah dakwah terorganisir yang sesuai dengan dakwah Rasulullah. Karena, kata sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib, “Keburukan yang terorganisir dengan rapi lebih baik dari pada kebaikan yang tidak tertata.” Dalam tahap inilah, harakah berperan dalam memberikan pendidikan dan ilmu terstruktur demi terwujudnya jama’atul muslimin ini.

Berikutnya, perlu juga dipahami rambu-rambu yang harus ditempuh dalam menuju jama’atul muslimin. Pertama sebagaimana disebutkan dalam sirah Rasulullah adalah menyebarkan prinsip-prinsip dakwah. Terdiri dari dua jalan utama: kontak pribadi (ittishal fardhi) dan kontak umum (ittishal jama’i). Ittishal jama’i ini terderivasi dalam banyak acara. Misalnya, mengumpulkan banyak orang dalam jamuan makan, kemudian diberi perbincangan tentang dakwah. Cara lain, mengumpulkan manusia di berbagai tempat sembari menyampaikan risalah Allah, pergi ke tempat-tempat pertemuan manusia dan menyampaikan dakwah kepada mereka, pergi  ke berbagai negara dan mengirim surat untuk menyampaikan kalimat-kalimat Allah kepada objek dakwah.

Setelah memperkenalkan dakwah kepada khalayak, rambu kedua yang harus ditempuh adalah pembentukan dakwah. Pembentukan dakwah ini, bisa dilakukan secara sirriyah (diam-diam) ataupun secara umum (‘alaniyah) ataupun gabungan dari kedua tahap pembentukan itu. Selanjutnya, rambu ketiga sesuai dengan dakwah Rasulullah adalah tahap konfrontasi. Dalam tahap ini, ada dua hal yang harus dipahami dengan betul: independensi dan jumlah kader. Independensi ini terkait dengan wilayah yang harus sudah dikuasai oleh jamaah secara umum. Yang meliputi penguasaan secara geografis dan seluruh aktivitas yang ada di dalamnya. Sedangkan terkait jumlah, ada hubungannya juga dengan jumlah tentara dan segala jenis peralatan yang dibutuhkan. Yang penting dicatat, bahwa rambu ketiga ini tidak boleh dilakukan secara serampangan sehingga terjadi mal praktik jihad. Tetapi harus dilakukan atas perintah pimpinan tertinggi dengan mempertimbangkan keputusan majelis syura.

Rambu keempat yang harus diperhatikan selanjutnya adalah membina jamaah secara tersembunyi. Yang dimaksud adalah, tersembunyi dalam pembentukan, bukan pada ajaran dan materi dakwah. Hal ini dimaksudkan agar musuh Islam tidak mengetahui detail kekuatan jamaah sehingga tidak serta merta dipukul ketika kekuatan jamaah masih seumur jagung.

Kelima, bersabar atas gangguan musuh Islam. Sudah menjadi mafhum, bahwa musuh-musuh Islam tidak akan membiarkan Islam dan kaum muslimin menjadi besar sehingga memimpin dunia. Oleh karena hal inilah, maka mereka akan mengerahkan seluruh kemampuan untuk terus merecoki kaum muslimin agar dunia tetap dalam genggaman musuh-musuh Islam ini. Dalam tahap ini pula, kesungguhan dan kekuatan kaum muslimin yang sudah melalui fase pembentukan dibuktikan. Apakah gangguan musuh Islam membuat kaum muslimin semakin kuat atau sebaliknya.

Rambu terakhir dalam mewujudkan jama’atul muslimin adalah menghindari medan pertempuran. Dalam hal ini sirah Rasulullah yang terkait dengan rambu ini adalah peristiwa hijrah Rasulullah. Baik ketika beliau memerintahkan hijrah ke Habasyah, Tha’if ataupun ketika ke Madinah sehingga terwujudnya negara Islam di kota itu.

Berikutnya, di dalam buku ini dijelaskan pula tentang tabiat jalan yang ditempuh dalam mewujudkan jama’atul muslimin. Terakhir, disebutkan pula fase-fase perjuangan mewujudkan kembali pemerintahan Islam global selepas runtuhnya institusi Turki Utsmani tahun 1924 yang meliputi perjuangan infiradhi (individual) dan secara jamaah. Terkait perjuangan jamaah ini, disebutkan empat contoh jamaah yang ada kala itu. Yaitu Jama’ah Anshar as-Sunnah al-Muhammadiyah, Jama’ah Tabligh, Jama’ah Hizbut Tahrir dan Jama’ah Ikhwanul Muslimin. Keempat jamaah ini dijelaskan secara lengkap mulai dari sejarah berdirinya, struktur organisasi, sarana yang dipakai untuk mencapai tujuan, lapangan amal, sumber-sumber jamaah, upaya terpenting yang telah dilakukan oleh jamaah pada masanya, dan pandangan-pandangan tokoh lain (ulama’, cendekiawan, jamaah lain) terkait peran jamaah tersebut.

Insya Allah, jama’atul muslimin yang kita impikan itu, akan segera terwujud. Tetaplah bertahan dan bersiap siagalah

Redaktur: Ardne

Beri Nilai:
1 Star2 Stars3 Stars4 Stars5 Stars (3 votes, average: 5.00 out of 5)
Loading...

Tentang

Penulis, Pedagang dan Pembelajar

Lihat Juga

Bentuk-Bentuk Penyimpangan di Jalan Dakwah (Bagian ke-3: Persoalan Jamaah dan Komitmen (Iltizam))

Figure
Organization